Ahad, 26 Jumadil Awwal 1446 H / 30 Oktober 2016 22:04 wib
5.229 views
Praktik Pengawasan Syariah di Negara Anggota OKI
Oleh : Mirna Siti Marlina
(Mahasiswi STEI SEBI semester 7)
Salah satu penyebab terjadinya krisis sektor keuangan syariah di negara-negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yaitu kurangnya sistem tata kelola yang efektif. Dengan adanya krisis lembaga keuangan syariah dimasa lalu, mendorong setiap negara untuk merubah dengan sistem tata kelola yang lebih baik. Tata kelola syariah memeberikan nilai tambah untuk konsep tata kelola yang sudah ada. Lembaga keuangan syariah (IFI) harus memastikan apakah mereka beroperasi sesuai dengan peraturan islam. Ketidak patuhan syariah berdampak pada turunnya kredibilitas masyarakat dan reputasi lembaga keuangan syariah (IFI).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Garas dan Pierce tahun 2010 menyebutkan bahwa Pengawasan syariah merupakan komponen penting dari struktur tata kelola lembaga keuangan syariah (IFI). Masuknya dewan pengawas syariah (SB) kedalam struktur tata kelola internal lembaga tidak diragukan lagi, mengingat kebutuhan akan pengawasan syariah yang komprehensif sangatlah penting untuk mempromosikan industri pengembangan dan kinerja keuangan islam di mata masyarakat muslim dunia. Tujuan adanya pengawasan syariah sendiri untuk memastikan IFI menjalakan aktivitasnya sesuai denga prinsip – prinsip syariah.
Rihab Grassa (2015) yang meneliti sistem tata kelola syariah dari 25 negara yang tergabung dalam anggota OKI menyebutkan bahwa Sebagian besar negara – negara yang tergabung dalam organisasi OKI telah mengembangakan kerangka kerja sistem tata kelola syariah sendiri. Bahkan beberapa negara sudah mengembangkan kerangka regulasi yang komprehensif, yang mengatur praktek pengawasan syariah baik di tingkat nasional ataupun institusional, Tetapi ada juga negara – negara OKI yang tidak memiliki kerangka pengawasan syariah.
Praktik pengawasan syariah di negara yang tidak memiliki kerangka pengawasan syariah seperti negara Saudi Arabia, Turki, Tunisia, Libian, Mesir, Maroko, Thailand dan Kazakhstan tata kelola syariah di serahkan kepada lembaga keuangan syariahnya. Negara tidak ikut campur dalam pembentukan tata kelola syariah, akan tetapi setiap lembaga keuangan syariah harus menjalankan fungsinya sesuai dengan prinsip – prinsip islam.
Negara yang otoritas syariah lebih tinggi ditingkat nasional seperti negara Malaysia, Qatar, Palestina, Bahrain, UAE, Kwait, Jordan Pakistan, Nigeria, Brunei, Bangladesh dan Indonesia. Dalam kasus malaysia, Bank Negara Malaysia (BNM) bertanggung jawab untuk memberikan nasihat tentang hal yang berkaitan dengan perbankan syariah, asuransi syariah atau area keuangan Islam lainnya yang diawasi dan diatur oleh BNM. Sedangkan di Indonesia sendiri Pengawasan syariah untuk tingkat nasional dilakukan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia ( DSN-MUI) yang bertanggung jawab untuk mengeluarkan putusanSyariahpada produk yang ditawarkan oleh Lembaga keuangan syariah.
Otoritas Syariah di tingkat Institusi, dengan tujuan utama praktek tata kelola syariah mempromosikan efektivitas sistem pengawasan syariah di lembaga keuangan syariah (IFI), banyak pihak berwenang di negara-negara OKI menetapkan bahwa setiap lembaga syariah harus memiliki dewan pengawas syariah independen yang terdiri dari para sarjana Syariah untuk memberikan saran yang berkaitan dengan hal-hal syariah. Indonesia memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang diwajibkan oleh hukum, diangkat melalui RUPS dan direkomendasikan oleh MUI dengan jumlah minimal dua orang dan maksimal lima orang disetiap lembaga keuangan syariah (IFI) dengan kualifikasi wajib yaitu menguasai fiqh muamalah, perbankan dan keuangan. Contoh lain yaitu di negara Qatar, pada Qatar Central Bank dewan pengawas syariah diangkat oleh dewan direksi bank dan disahkan pada saat rapat umum, dengan jumlah minimal dua orang pada setiap lembaga keuangan syariah.
Pada negara-negara yang tergabung dalam OKI memiliki praktik pengawasan syariah yang berbeda, ada yang memiliki otoritas syariah nasional dan ada juga yang sebatas otoritas syariah pada tingkat lembaga saja seperti Syria, Oman, Yaman, Libya, dan Irak. Bahkan ada juga negara yang memiliki otoritas syariah keduanya. Otoritas syariah nasional perlu memainkan peran yang lebih penting dalam memantau dan memastikan praktek tata kelola perbankan islam telah bekerja dengan baik. Namun, hanya beberapa negara yang memiliki otoritas syariah di tingkat nasional. Peran dan tanggung jawab otoritas syariah nasional berbeda antar negara. Di beberapa negara, otoritas syariah yang lebih tinggi memiliki wewenang untuk membuat kerangka tata kelola syariah dan merumuskan kebijakan nasional dan peraturan untuk industri.
Di negara lain, otoritas syariah yang lebih tinggi hanya bertindak apabila terjadi konflik pendapat mengenai putusan syariah antara ahli syariah di tingkat lembaga. Semua bentuk praktik pengawasan syariah tersebut adalah upaya setiap negara untuk menumbuh kembangkan industri keuangan islam dikancah dunia. [syahid/voa-islam.com]
Referensi utama :
Rihab Grassa , (2015),"Shariah supervisory systems in Islamic finance institutions across the OICmember countries", Journal of Financial Regulation and Compliance, Vol. 23 Iss 2 pp. 135 - 160
Referensi tambahan :
Garas, S.N. and Pierce, C. (2010), “Shari’a supervision of Islamic financial institutions”, Journal ofFinancial Regulation and Compliance, Vol. 18 No. 4, pp. 386-407.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!