Rabu, 26 Jumadil Awwal 1446 H / 23 November 2016 22:09 wib
6.586 views
Buruk Penguasa, Rakyat Dibelah
(Pelajaran Pasca Aksi 411 di Istana Negara)
Oleh: Hanif Kristianto (Analis Politik dan Media)
Tampaknya harapan dan cita-cita umat Islam pasca aksi bela Islam kedua, 4 November 2016, terus diuji. Atraksi dan manuver penguasa begitu pongah dan menunjukan wujud aslinya. Pertemuan demi pertemuan, hingga perubahan konstelasi politik berubah begitu cepat. Sampai-sampai isu hukum penista quran dan agama, lambat laun hilang esensinya. Berganti topik penyerangan kepada pelaku sejarah 4 November 2016. Terlebih lagi adalah menyerang Islam dengan isu kebhinekaan dan radikalisme. Isu terorisme pun dimunculkan. Ulama’ diundang demi meredam dan memberi suasana sejuk kepada umatnya.
Satu hal yang dilupakan oleh penguasa adalah siapa penyebab gaduh di negeri ini? Sudahkah penguasa saat ini yang telah diberikan mandat oleh rakyat mengurusi rakyatnya? Jangan-jangan biang dari ketidakstabilan di negeri ini karena segelintir elit yang memelintir alasan demi rakyat untuk mencapai syahwat keduniawian? Bisa pula rakyat ini dijadikan tumbal di antara perebutan kepentingan Barat dan Timur di bumi pertiwi ini.
Buruk Penguasa
Kuasa Allah jualah yang telah membuka hijab keburukan penerapan sistem politik yang salah di negeri ini. Kepentingan menjadi tujuan utama. Jargon demi kepentingan bangsa serasa manis di bibir saja. Praktiknya, kepentingan bangsa selalu dikorbankan demi kepentingan penjajah. Tak dapat dipungkiri keburukan penguasa ini coba ditambal dengan suatu pencitraan. Seolah berdaulat. Padahal dirinya menuju sekarat.
Bela negara yang menjadi proyek kementrian pertahanan dilempar di tengah rakyat. Ormas-ormas hingga rakyat diajak bela negara. Harus disadarai sesungguhnya Negara telah lupa memberikan perlindungan terhadap rakyatnya. Ini bukti seolah penguasa sudah tidak lagi mampu menghadapi beragam problem, sehingga harus melibatkan rakyat. Hal ini menjadikan bahwa negara sesungguhnya telah kalah dan tak berdaya menghadapi beragam hegemoni percaturan politik dunia.
Aneh memang, ketika rakyat menuntut dipenuhi hajat hidupnya, negara terkesan abai dan tidak hadir. Kebijakan demi kebijakan dibuat demi menjerat rakyat yang sudah melarat. Kebodohan politik dan ketidakpekaan rakyat dimanfaatkan penguasa untuk semakin mengokohkan kepentingannya. Isu nasionalisme dilempar tatkala penguasa sudah kehilangan amunisi demi meraih simpati. Aksi 411 yang menuntut keadilan dan akan dilanjutkan pada edisi ketiga saja sudah dicurigai ditunggangi aktor politik untuk melengserkan penguasa. Penguasa nampaknya lupa bahwa suprastruktur masih loyal kepadanya.
Di sisi lain, buruknya penguasa ini mendahulukan egoisme semata. Tatkala namanya dihinakan, perintah yang keluar adalah segera tangkap pelakunya. Sementara itu mereka lupa, tatkala agama dan kitabnya dinistakan tak terbesit untuk membela dan menangkap pelakunya. Anomali ini terus akan ditemui dalam rezim demokrasi. Pasca aksi 411, negera malah sibuk mencari dalang provokator. Kepolisian masih saja terasa berat untuk menegakan neraca keadilan. Justru tuntutan umat aksi bela islam 411 seolah diabaikan begitu saja. Umat diminta sabar. Mampukah penguasa itu menunjukan kebenaran antara ucapan dan tindakannya?
Rakyat Dibelah
Bukanya rakyat dibela, justru rakyat dibelah dalam beragam isu yang diciptakan penguasa. Hal yang paling menonjol pasca aksi 411 adalah kelambanan penguasa untuk merespon tuntutan rakyat. Penguasa malahan membelah dan mengkotak-kotakan rakyat. Di sisi lain, pendukung buta penguasa menutup mata dan beraninya di dunia maya.
Manuver politik penguasa dengan mendatangi militer, kepolisian, dan ulama sudah bisa dibaca. Ada tugas yang siap dilaksanakan bagi ketiganya. Tiada lain, penguasa inginnya menguji keloyalan ketiganya. Masihkah setia? Atau ingin menurunkan penguasa dari tahta yang ada? Membaca perilaku ketiga unsur tadi tak dapat dipahami sekedar melihat yang di hadapan mata. Harus diungkap apa makna di balik sebuah peristiwa. Sementara gelombang tuntutan pasca aksi 411, lambat laun akan sirna, jika tidak dikawal dengan kesadaran politik dan ideologis.
Demi meredam reaksi keras rakyat atas tuntutan ini, berikut pembagian tugasnya:
1) Militer
Pemilik kekuatan di negeri ini adalah militer dengan tiga matranya. Militer adalah alat negara dengan presiden sebagai panglima tertingginya. Sesungguhnya kalangan militer menyadari beragam bahaya yang menyerang negeri ini. Apa daya, penguasa masih menikmatinya. Karena itu, militer pun mendekat dengan hati kepada rakyat agar tak gaduh dan terjadi kudeta berdarah.
Militer saat ini disiapkan untuk peduli kepada segala lapisan rakyat. Berawal dari persoalan pertanian, pembangunan desa, sosialisasi proxy war, hingga mengajak kalangan aktivis mahasiswa untuk tetap kritis. Ibaratkan militer adalah raksasa. Badannya kuat, namun jika tidak ditopang dengan kesadaran ideologis dan politis yang tepat, sama halnya akan menjatuhkan dirinya kepada kontrol penjajah. Mengingat saat ini dalam konstelasi politik global semua menjalankan perannya. Siapa menjadi apa?
Rakyat memang saat ini menaruh simpati pada militer. Hal ini tidak bisa terlepas dari kenangan rakyat semasa dipimpin kalangan militer. Tak tik dan strategi dimiliki mereka. Sementara kalangan sipil terkadang dijadikan ‘petugas’ untuk kepentingan partai dan kelompoknya. Jargon militer saat ini adalah ‘Bersama Rakyat TNI Kuat’. Jargon itu harus segera dibedah maknanya. Jangan sampai rakyat dikorbankan dalam beragam hegemoni dalam kepentingan militer. Tugas militer saat ini adalah meraih SIMPATI.
2) Kepolisian
Sorotan tajam kepada kepolisian dalam beberapa tahun ini kian menguat. Penegakan hukum di tubuh kepolisian belumlah teruji untuk mengatasi. Buruknya pelayanan, pungutan liar, hingga dugaan korupsi pun dialamatkan ke institusi ini. Demi membangun citra diri, polisi ingin menyolidkan barisannya.
Puja-puji diberikan penguasa kepada kepolisian karena berhasil mengamankan aksi 411. Dorongan kepada polisi diarahkan untuk lebih bersikap manusiawi. Kenaikan pangkat bagi pejabat pun akhirnya diraih. Penguasa nampaknya berhasil meningkatkan taraf citra polisi. Kunjungannya ke kepolisian kian diapresiasi dan menyerukan untuk membangun negeri dan menjaga NKRI.
Pasca aksi 411, sorotan ini akan terus diarahkan kepada kepolisian. Keadilan dan kepastian hukum diuji demi menangkap dan menghukum penista agama. Sayangnya di tengah tuntutan rakyat itu, polisi malah melakukan aksi koboi yang bukan esensi. Provokator ditangkapi. Aktivis mahasiswa didatangi dan dibawa ke kepolisian. Suatu gaya mirip orde baru dalam rangka pembungkaman. Polisi juga disibukan dengan saling lapor orang-orang yang semakin mengaburkan esensi aksi 411. Lantas, siapa di antara umat ini yang peduli jika tidak ada yang memonitor tuntutan keadilan dan kepastian hukum? Bahkan umat pun dibuat bingung dengan beragam sabotase dan informasi liar terkait manuver kepolisian.
3) Ulama
Penguasa paham umat Islam di Indonesia telah terpolarisasi. Kekuatan kanan dan kiri senantiasa dimainkan untuk melihat siapa yang loyal dan siapa yang vokal? Umat Islam mayoritas di negeri ini memang patuhnya pada petuah ulama’, bukan kepada penguasa. Karena itu, ulama’ dan tokoh keagamaan menjadi tameng dan stempel penguasa dalam mencari dukungan kembali dari rakyat.
Justru aksi yang ditunjukan penguasa saat ini terasa pecah-belahnya. Memuji yang satu dan menginjak yang lain. Menemui dan mengundang yang satu, menyingkir dan nyinyir kepada yang lain. Membuka pintu istana negara bagi yang satu, dan menutup bagi yang lain.
Seruan penguasa kepada ulama’ dan tokoh agama justru mengajaknya untuk memerangi radikalisme, terorisme, dan mendinginkan suasana. Bela negara menjadi isu utama untuk membelokkan ghiroh ulama dalam membela agamanya. Hal yang harus dimiliki ulama’ dan tokoh agama saat ini adalah kesadaran politik dan ideologis. Tanpa kedua kesadaran itu, sampai kiamat pun ulama’ hanya dijadikan stempel penguasa yang sejatinya mengabaikan ulama’ agar penguasa kembali kepada Allah dan Rasul-Nya.
Tugas ulama’ dan tokoh agama di hadapan penguasa tidak boleh lembek dan membebek. Gunakan lisan untuk menyampaiakan yang haq agar penguasa hanya taat pada Allah dan Rasul-Nya. Serta penguasa hanya loyal kepada Allah dan rasul-Nya. Ulama’ dan tokoh agama harus menasehati penguasa jangan membuat pecah belah dan persatuan umat di Indonesia.
Oleh karena itu, bagi rakyat di negeri ini kesadaran demi kesadaran harus segera ditingkatkan. Jangan mudah terkecoh dengan manuver politik penguasa yang sesungguhnya lari dari kenyataan yang ada. Rakyatlah pemilik sebenarnya kekuasaan. Maka tuntutan untuk ganti rezim dan ganti sistem sesungguhnya mudah. Karena sesungguhnya penguasa saat ini tidak lagi ditopang rakyat. Mereka menjalankan kekuasaan sebagaimana laba-laba yang jaringnya mudah robek dan terkoyak. Sadar dan bangkitlah! [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!