Sabtu, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 15 April 2017 12:09 wib
8.675 views
Sekali Lagi, Muslim Memilih Pemimpin Non-Muslim Haram! (Bagian-1)
CATATAN UNTUK HASIL BAHTSUL MASAIL GP ANSOR TENTANG KEPEMIMPINAN NON-MUSLIM
Oleh: Zaqy Dafa
Persoalan kepemimpinan non-Muslim masih menjadi polemik hingga sekarang ini. Perdebatan tentang topik tersebut seakan tidak ada habisnya. Meski ini merupakan masalah klasik yang telah dijawab para ulama berabad-abad silam, namun akhir-akhir ini masalah tersebut kembali mencuat dan membuat masyarakat Indonesia ‘panas’. Padahal, jauh sebelumnya rakyat Indonesia tidak begitu mempermasalahkan dan memperbincangkan hal tersebut. Selain itu, ulama salaf sudah menegaskan berkali-kali dalam kitab-kitab mereka bahwa Muslim memilih pemimpin non-Muslim hukumnya haram secara mutlak.
Yang baru, GP Ansor menyelanggarakan Bahtsul Masail atau musyawarah hukum Islam yang lagu-lagi mengangkat tema tentang kepemimpinan non-Muslim. Seakan tidak mau mencukupkan diri dengan fatwa MUI bahwa Muslim memilih pimpinan non-Muslim adalah haram, bahtsul masail GP Ansor yang dilaksanakan pada 11-12 Maret 2017 ini membuat keputusan bahwa memilih pemimpin non-Muslim bagi Muslim adalah boleh.
Dengan tidak mengurangi hormat ta’zhim kami kepada para kyai yang mengikuti acara tersebut, akan tetapi banyak pula ulama dan kyai yang setelah mengetahui hasil keputusan Bahtsul Masail tersebut lalu memberikan penolakan dengan berbagai dalil dan argumentasi.
Salah satu tokoh kyai yang menolak adalah KH. Muhammad Najih Maimoen, putra dari Hadlratus Syaikh Maimoen Zubair Sarang. Dalam blog resmi Ribath Darusshohihain asuhan beliau, Syaikhina Muhammad Najih mengaku keputusan bahtsul masail GP Ansor tersebut sangat menyakiti hati beliau, terlebih mereka mencatut nama guru beliau Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki sebagai dalil pembolehan Muslim memilih pimpinan non-Muslim. (lihat: https://ribathdeha.wordpress.com/2017/03/18/terkait-keputusan-bahtsul-masail-gp-ansor-ini-tanggapan-kiai-najih/)
Selain itu, salah satu pesantren yang menolak keputusan tersebut adalah PP Al-Anwar Sarang yang diasuh oleh Hadlratus Syaikh Maimoen Zubair. Dalam surat keputusan yang resmi dirilis oleh kepengurusan PP Al-Anwar, disebutkan bahwa PP-Anwar berlepas dari dan tidak bertanggung jawab dunia dan akhirat atas keputusan bahtsul masail GP Ansor tersebut, dan keputusan itu tidak terkait sama sekali dengan PP Al-Anwar. (lihat: http://ppalanwar.com/index.php/news/869/15/Pernyataan-Resmi-PP-Al-Anwar-I-Terkait-Hasil-Halaqoh-Bahsul-Masail-Pimpinan-Pusat-GP-Ansor.html)
Pondok pesantren Sarang lain yang pengasuhnya masih satu keluarga dengan KH. Maimoen Zubair, Ma’had al-‘Ulum al-Syar’iyyah (PP MUS), juga menyatakan sikap yang sama. KH. Muhammad Sa’id Abdurrahim selaku pengasuh PP MUS menyatakan, “Keputusan Bahtsul Masail GP Ansor bisa melunturkan ghiroh Islamiyyah umat Islam. Jika mereka mengeluarkan hukum yang nyleneh dan kurang sesuai, maka keputusannya akan kami bahas lagi dalam musyawarah kami. Agar mereka tidak mudah untuk mengeluarkan hukum,” tegas beliau. (http://ppmus.com/penambahan-asilah-mk-51-pp-mus-terkait-hasil-bahtsul-masail-terbaru-gp-anshor/)
KH. Abdurrahman Navis LC MHI, Direktur Aswaja Center Jawa Timur, kaget mendengar kiai-kiai muda di GP Ansor menggelar Bahtsul Masail tentang pemimpin non-muslim. Padahal, apa yang dibahas GP Ansor itu sudah diputuskan dalam Muktamar XXX NU di PP Lirboyo, Kediri, Jawa Timur pada 21-27 Nopember 1999. “Seharusnya GP Ansor patuh terhadap hasil Muktamar XXX NU di PP Lirboyo,” demikian disampaikan KH Abdurrahman Navis LC MHI, pengasuh rubrik Tanya Jawab keislaman di Koran Duta Masyarakat, kepada duta.co Senin (13/03/2017). (lihat: http://www.nugarislurus.com/2017/03/fitnah-bm-ansor-bolehkan-pilih-non-muslim-dianggap-lawan-muktamar-dan-seruan-rais-amm.html)
Setelah bahtsul masail tersebut, beberapa kyai dan ulama muda lainnya juga melakukan bahtsul masail yang memutuskan untuk menegaskan kembali haramnya memilih pemimpin non-Muslim. (lihat: http://www.nugarislurus.com/2017/03/tanggapi-bm-ansor-markas-aswaja-bahas-solusi-fiqh-hukum-memilih-pemimpin-non-muslim.html)
Masyarakat yang membaca tulisan di medsos berkaitan dengan masalah ini banyak yang mempertanyakan bagaimana keputusan bahtsul masail GP Ansor tersebut secara utuh. Karena itu, dalam artikel ini penulis akan menyebutkan poin-poin penting dari keputusan bahtsul masail GP Ansor tersebut yang kami ambil dari blog resmi Ribath Darusshohihain asuhan KH. Muhammad Najih Maimoen (link: lihat: https://ribathdeha.wordpress.com/2017/03/18/terkait-keputusan-bahtsul-masail-gp-ansor-ini-tanggapan-kiai-najih/) serta memberikan sedikit analisa terhadap argumen-argumen yang digunakan. Kami melakukan ini sama sekali bukan berniat menggurui, menyombongkan diri, atau mengeruhkan suasana, tapi semata untuk menguatkan keputusan beberapa kyai dan pesantren salaf yang teguh memegang hukum Fiqh yang benar bahwa Muslim memilih non-Muslim sebagai pemimpin hukumnya haram mutlak. Kami tetaplah santri yang ingin mendapatkan ilmu manfaat dan barakah dari para masyayikh kami.
Indonesia adalah Darul Islam
Dalam hasil keputusan bahtsul masail GP Ansor, disebutkan bahwa Indonesia bukanlah darul Islam atau wilayah Islam yang wajib melaksanakan Syari’ah Islam. Disebutkan:
“Jika merujuk pada kitab klasik, tidak ditemukan kesamaan konteks dengan kondisi Indonesia sebagai negara bangsa. Dengan melihat:
- Definisi darul islam
- Definisi darul harbi
- Definisi darul Baghyi
- Non muslim di Indonesia tidak masuk dalam kategori harbi dkk.
- Indonesia bukan darul islam, bukan darul harbi” (hlm. 3)
Tanggapan: Menurut kami sangat disayangkan, keputusan GP Ansor tersebut kembali mengulang argumen bahwa Indonesia bukanlah darul Islam yang selalu diulang-ulang oleh kalangan liberal sebagai dalil untuk tidak menerapkan Syari’ah Islam atau menolak hukum Islam. Selain itu, mengatakan bahwa klasifikasi darul Islam-darul harbi-darul baghyi sudah tidak sesuai konteks keindonesiaan merupakan anggapan yang merendahkan kitab salaf, menunjukkan tidak adanya analisa mendalam, dan tidak “kontekstualis”. Padahal, orang-orang di Nahdlatul Ulama yang selama ini giat berbicara tentang “kontekstualisasi kitab kuning”, namun lain ucapan lain perbuatan.
Padahal, Muktamar NU ke-11 tahun 1935 menegaskan bahwa Indonesia adalah darul Islam (negara Islam), meskipun saat itu dikuasai oleh kerajaan Kristen Hindia Belanda. Keputusan ini didasarkan pada pernyataan Sayyid Abdurrahman Ba’alawi dalam Bughyah al-Mustarsyidin yang menyatakan Tanah Jawa adalah negara Islam karena pernah dikuasai oleh pemerintahan Islam dan mampu bertahan dari imperialisme pemerintahan non-Muslim selama berabad-abad.
(مسألة : ي) : كل محل قدر مسلم ساكن به على الامتناع من الحربيين في زمن من الأزمان يصير دار إسلام ، تجري عليه أحكامه في ذلك الزمان وما بعده ، وإن انقطع امتناع المسلمين باستيلاء الكفار عليهم ومنعهم من دخوله وإخراجهم منه ، وحينئذ فتسميته دار حرب صورة لا حكماً ، فعلم أن أرض بتاوي بل وغالب أرض جاوة دار إسلام لاستيلاء المسلمين عليها سابقاً قبل الكفار.
(Soal): Setiap daerah dimana Muslim tinggal disitu dan mampu menolak serangan non-Muslim dalam zaman tertentu, maka daerah tersebut menjadi dar al-Islam (negara Islam) yang berlaku hukum-hukum Islam di dalamnya pada zaman tersebut dan zaman-zaman sesudahnya, meskipun pertahanan kaum Muslimin di sana terputus sebab mereka dikuasai non-Muslim, dilarang masuk kesana, dan diusir dari tanah tersebut. Pada saat itu maka daerah tersebut dinamai dar al-harb (daerah perang) namun hanya secara formalitas bukan secara hukum. Maka dipahami bahwa tanah Betawi bahkan kebanyakan daerah Jawa merupakan negara Islam karena kaum Muslimin telah berkuasa sebelum datangnya non-Muslim. (Sayyid Abdurrahman Ba’alawi, Bughyah al-Mustarsyidin, hlm. 541)
Jika mau menelaah keterangan Bughyah al-Mustarsyidin lebih lanjut, Sayyid Ba’alawi sendiri menegaskan bahwa umat Islam diperintahkan untuk melengserkan calon wakil rakyat non-Muslim yang membangkang dari ketaatan imam yang Muslim, tidak wajib taat kepadanya, BAHKAN TIDAK BOLEH MEMILIHNYA DALAM KEADAAN TIDAK DARURAT. (Bughyah al-Mustarsyidin, hlm. 527)
Ulama-ulama lain juga memberikan peringatan keras agar tidak memilih non-Muslim sebagai pemimpin umat Islam. Syihabuddin al-Qalyubi memperingatkan, “HARAM bagi imam mengangkat pimpinan yang bukan ahlinya padahal masih ada yang ahli, HARAM pula menerimanya sebagai pemimpin dan tidak diterima pengangkatannya!” (Syihabuddin al-Qalyubi, al-Hasyiyah ‘ala Syarh al-Mahalli, juz 4 hlm. 294) Ibn Hajar al-Haitami menulis, “Apabila ada seorang pemimpin menjadi kafir dan merubah aturan Syari’ah atau berbuat bid’ah, maka dia telah KELUAR dari kepemimpinannya dan gugur kewajiban menaatinya, wajib bagi kaum Muslimin bersikap dan melengserkannya lalu mengangkat imam yang adil.” (Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, juz 38 hlm. 185)
Jadi, jika GP Ansor menolak Indonesia sebagai negara Islam dan menolak kepemimpinan non-Muslim, maka berarti telah menolak dan menentang keputusan ulama dan kyai-kyai sepuh yang telah berjasa besar memerdekakan NKRI tercinta ini. Bersambung. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!