Sabtu, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 15 April 2017 18:16 wib
8.956 views
Sekali Lagi, Muslim Memilih Pemimpin Non-Muslim Haram! (Bagian-2)
CATATAN UNTUK HASIL BAHTSUL MASAIL GP ANSOR TENTANG KEPEMIMPINAN NON-MUSLIM
Oleh: Zaqy Dafa
Muslim Indonesia Terikat dengan Konstitusi
Dalam makalah bahtsul masail GP Ansor juga disebutkan:
“Sebagai bagian dari warga negara, umat Islam terikat dengan konstitusi (yang telah diterima sebagai kaidah berbangsa dan bernegara), dan sebagai Muslim pada ranah pribadi, Umat Islam berpedoman pada ajaran agamanya. Jika terjadi produk hukum NKRI bertentangan dengan ajaran agama, maka ketaatan Muslim hanya pada tataran lahir, bukan secara substantif. (UUD 45 Pasal 2 ayat 1)” (hlm. 3)
Tanggapan: Sebenarnya menggunakan pasal ini untuk menolak hukum haram memilih pemimpin non-Muslim adalah sangat bermasalah. Pertama, jika yang dimaksud oleh GP Ansor adalah hukum konstitusi ini bisa menghapus hukum Fiqh yang ada di kitab salaf tersebut, maka hal tersebut sangat keliru dan menunjukkan kedangkalan terhadap sistem pembuatan hukum Fiqh. Bagaimana, hukum Islam tidak dapat terhapus karena hukum konstitusi.
Kedua, jika yang dimaksud adalah Muslim tetap wajib melaksanakan Syari’ah meskipun tidak ditunjukkan secara zhahir dengan cara memasukkan Syari’ah dalam hukum positif negara atau semacamnya, lalu mengapa GP Ansor ngotot untuk menolak hukum haram memilih pemimpin non-Muslim yang memang begitu banyak termaktub dalam kitab-kitab salaf? Secara personal, umat Islam tetap wajib melaksanakan hukum Syari’ah meski tidak didukung oleh konstitusi negara.
Apalagi, pelaksanaan Syari’ah bagi umat Islam dilindungi oleh konstitusi negara. Contohnya:
- UUD 1945 Pasal 28E ayat (1): hak dan kebebasan untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.
- UUD 1945 Pasal 29 ayat (2):jaminan kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya.
- UUD 1945 Pasal 28J ayat (2): Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Meskipun konstitusi menjamin semua warga negara memiliki hak yang sama di dalam hukum negara dan pemerintahan (UUD 1945 Pasal 27 Ayat 1; Pasal 28D Ayat 3), namun hal tersebut tidak dapat merusak hak-hak umat Islam mengamalkan ajaran-ajaran agamanya. Silahkan saja non-Muslim mencalonkan diri sebagai wakil rakyat, namun umat Islam juga berhak tidak memilih dan tidak membelanya karena patuh dengan larangan agamanya memilih non-Muslim sebagai pemimpin. Keduanya dilindungi oleh undang-undang.
Kekuasaan dan Sistem Hukum di Indonesia Tidak Ada dalam Fiqh (?)
Selanjutnya, dalam keputusan tersebut disebutkan:
“Terkait dengan sumber legitimasi kekuasaan di Indonesia mulai seorang pemimpin (Presiden hingga kepala desa) dalam hukum Islam, sumber legitimasi kekuasaan hanya pada asas: bil ahdi, bil aqdi, bi al- ghalabah- baik bisyaukah atau bukan-). Sumber legitimasi ini bersumber dari sejarah Islam, bukan dari aspek teologis, sehingga masih memungkinkan sumber legitimasi yang baru di luar tiga konsep tersebut. Sedangkan sistem hukum di Indonesia tidak termasuk dalam konsep Fiqh.” (hlm. 3)
Tanggapan: Indonesia merupakan negara yang menerapkan sistem pemilihan langsung (Pemilu) oleh rakyat kepada pemimpin baik nasional maupun regional. Dalam hal ini, berarti pemimpin dalam pemerintahan dipilih oleh masyarakat secara umum, bukan ahlul halli wal aqdi yang disyaratkan harus memenuhi persyaratan seorang saksi yakni adil (perilaku baiknya lebih banyak daripada perilaku buruknya) dan sebagainya. (Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, juz 38 hlm. 189) Begitu juga, bukan dengan cara aqd al-istikhlaf atau pemberian mandat dari pemimpin yang sebelumnya.
Karena itu, Nahdlatul Ulama mengadakan Konferensi Ulama pada 2-7 Maret 1954 M, Selasa Kliwon-Ahad Kliwon, 25 Jumadal Akhirah-1 Rajab 1373 H, di Cipanas Bogor Jawa Barat. Dalam konferensi tersebut dengan kewenangan, para ulama memutuskan untuk menetapkan Presiden Soekarno dihukumi sebagai Waliy al Amr al Dlaruri bi al Syaukah – Penguasa Pemerintahan secara Darurat sebab Kekuasaannya. Konferensi tersebut juga memutuskan bahwa rakyat Indonesia wajib menaatinya.
Penetapan status presiden Indonesia sebagai Waliy al Amr al Dlaruri bi al Syaukah tersebut sudah tepat. Pasalnya, pemimpin negara yang diangkat bukan dari jalur ahlul halli wal aqdi maupun istikhlaf, serta tidak memenuhi syarat dari seorang imam, maka dia disebut mutawallin bi al-syaukah (pemimpin yang berkuasa karena kekuatan) dan posisinya setara dengan pemimpin tertinggi yang wajib ditaati. (lihat: Abdurrahman Ba’alawi, Bughyah al-Mustarsyidin, hlm. 526)
Dengan demikian, status presiden di Indonesia diangkat melalui jalur al-syaukah karena memang sistem eleksinya yang masih berjalan begitu hingga sekarang, dan ini sesuai dengan keputusan para petinggi NU sebelumnya. Karena itu, sebelum memberikan klaim kepada kitab salaf dan meninggalkan keputusan-keputusan para petinggi Nahdlatul Ulama terdahulu, siapapun termasuk GP Ansor hendaknya mengkaji kitab-kitab Fiqh lagi secara mendalam. Bagi kalangan yang selama ini bergaung terus menerus tentang kontekstualisasi mestinya segera sadar diri akan hal ini.
Adapun tentang sistem hukum di Indonesia, meskipun berdasarkan Pancasila dan bukan Al-Quran Sunnah, namun usaha pengakomodasian Syari’ah Islam agar punya kekuatan hukum secara konstitusional negara harus tetap dilakukan. Jika memang tidak bisa, maka biarlah keduanya berjalan di rel masing-masing. Tidak perlu menghadap-hadapkan konstitusi dengan Syari’ah, apalagi merubah-ubah hukum Islam dengan dalil ayat konstitusi apalagi opini politik.
Suluh Hudaibiyah
Ini adalah salah satu argumen yang disebutkan dalam keputusan bahtsul masail GP Ansor tersebut. Mereka membolehkan memilih pemimpin non-Muslim dengan mengutip keterengan Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki dalam kitab beliau Muhammad al-Insan al-Kamil tentang hikmah kebijakan peristiwa Shulh Hudaibiyah atau perjanjian damai antara Rasulullah dan Musyrikin Quraisy Makkah setelah perang. Disebutkan:
“5. pada ranah pribadi, seseorang boleh/tidak boleh memilih calon pemimpin Non-Muslim.
a. Peristiwa Suluh Hudaibiyah, yang kemudian dianalisis oleh Sayyid Al Maliki, bahwa tanazul, atau memberikan konsesi kepada pihak lain ditujukan untuk kepentingan yang lebih besar. Dengan cara memberikan konsesi kepada Non-Muslim untuk mendapatkan manfaat yang lebih besar. (Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki). Dalam konteks Indonesia, untuk menjaga Muslim yang lemah, Hifdan li dhuafa’i Muslimin, kita memperhatikan pada daerah-daerah Indonesia yang populasi Muslimnya minoritas.” (hlm. 4)
Tanggapan: Tentang kutipan keterangan Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki tentang peristiwa Shulh Hudaibiyah sebagai dalil ini ada beberapa catatan.
Pertama, dalam perjanjian damai di Hudaibiyah tersebut Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama memenangkan berbagai kepentingan non-Muslim Quraisy, namun tidak sampai melanggar hukum-hukum Syari’ah seperti mengangkat non-Muslim sebagai pemimpin. Sudah diketahui, bahwa isi perjanjian tersebut adalah mengenai: (1) gencatan senjata selama empat tahun, (2) pengembalian tahanan Musyrikin Quraisy dari tangan kaum Muslimin, (3) Muslim tidak bisa ke BaituLlah selama setahun, dan (4) kebebasan memeluk agama antara Muslimin dan Kafir Quraisy. Dari keempat poin ini, tidak ada satupun yang berupa pelanggaran Syari’ah.
Karena itu, jika kebijakan Rasulullah dalam memprioritaskan kepentingan Quraisy daripada Muslimin ini dijadikan pijakan untuk mementingkan kepentingan non-Muslim daripada menaati hukum Syari’ah maka tidak tepat. Pasalnya, Rasulullah memenangkan tuntutan Kafir Quraisy diatas tanpa melanggar hukum Syari’ah, sedangkan menghapus hukum haram memilih non-Muslim sebagai pemimpin diganti dengan hukum boleh merupakan sebuah pelaggaran hukum Syari’ah yang berat.
Kedua, penggunaan dalil kitab Muhammad al-Insan al-Kamil karya Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki mengesankan bahwa beliau mendukung kepemimpinan non-Muslim atas Muslimin. Hal ini mendapat kritik keras dari Syaikhina Muhammad Najih Maimoen sebagai salah satu murid terbaik dan terdekat dengan Sayyid Muhammad ketika mondok di pesantren beliau di Makkah al-Mukarramah. Dalam blog resmi Ribath Darusshohihain, Syaikh Muhammad Najih mengungkapkan tiga kritik penting terhadap GP Ansor karena mengutip dhawuh guru beliau.
- Beliau bersaksi bahwa Beliau tidak pernah membolehkan kepemimpinan non-Muslim atas umat Islam.
- Mengutip teks kitab namun menulisnya lagi secara salah, seperti menulis lafadz “مواقته” dan “لاخطلاتهم” padahal teks aslinya “مواقفه” dan “لاختلاطهم”, yang membahayakan mereka menulis “فأذن الله المشركين” padahal teks sebenarnya “فأذلّ الله المشركين”.
- Mengulang ibarat kutipan tersebut sampai dua kali, hingga mengesankan murid-murid Sayyid Muhammad yang tidak mendukung kepemimpinan non-Muslim tidak sejalan dengan gurunya. (selengkapnya: https://ribathdeha.wordpress.com/2017/03/18/terkait-keputusan-bahtsul-masail-gp-ansor-ini-tanggapan-kiai-najih/)
Dengan demikian, kekeliruan dalam penggunaan dalil dari kitab Muhammad al-Insan al-Kamil oleh GP Ansor tersebut telah diklafirikasi dan dijelaskan oleh murid sang muallif sendiri, AlhamduliLlah.
Ketiga, menjaga muslim yang lemah di daerah-daerah minoritas Muslim merupakan salah satu hikmah dari perjanjian damai Hudaibiyah tersebut. Namun sudah diketahui, hikmah suatu hukum tidak dapat menetapkan hukum Islam. Karena itu, menggunakan hikmah tersebut untuk menetapkan hukum bolehnya Muslim memilih pemimpin non-Muslim adalah tidak tepat.
Demikian beberapa tinjauan terhadap penggunaan dalil Shulh Hudaibiyah dari kitab Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!