Sabtu, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 1 Juli 2017 14:54 wib
6.102 views
Memaknai Rekonsiliasi: Kebaikan untuk Semua
Oleh: DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH.
(Ahli Hukum & Pengurus Komisi Kumdang MUI)
Dari sekian banyak jenis konflik, konflik politik merupakan suatu konflik yang semestinya harus diwaspadai oleh pemerintah. Konflik politik merupakan aspek yang paling mudah untuk menyulut ketidaknyamanan atau ketidaktenangan dalam masyarakat (Soerjono Soekanto : 1998).
Menurut Surbakti (1992), konflik politik merupakan kegiatan kolektif warga masyarakat yang diarahkan untuk menentang keputusan politik, kebijakan publik dan pelaksanaannya, juga perilaku penguasa beserta segenap aturan, struktur, dan prosedur yang mengatur hubungan-hubungan diantara partisipan politik.
Simon Fisher (2001) menjelaskan teori penyebab konflik dalam masyarakat. Pertama, teori hubungan masyarakat, bahwa konflik yang terjadi lebih disebabkan polarisasi, ketidakpercayaan (distrust) maupun permusuhan antar kelompok yang berada ditengah-tengah masyarakat kita. Kedua, teori negosiasi prinsip, bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras serta perbedaan pandangan tentang konflik antara pihak-pihak yang terlibat didalamnya.
Konflik politik akan selalu ada menjelang Pilkada yang akan berlangsung serentak pada tahun 2018 yang akan datang. Pilkada tahun 2018 akan lebih besar daripada Pilkada sebelumnya. Sebanyak 171 daerah akan berpartisipasi pada ajang pemilihan Kepala Daerah.Potensi rawan konflik merupakan isu yang bisa dipastikan selalu muncul pada setiap Pilkada. Pilkada serentak tahun 2018 mendatang merupakan representasi Pemilu 2019. Dikatakan demikian, oleh karena hampir 70 persen pemilih di Indonesia akan mengikuti Pilkada tahun 2018. Oleh karena itu, pemerintah harus dapat mengantisipasi sejak awal dan membuat early warning system.
Kondisi saat ini memperlihatkan bahwa telah terjadi polarisasi di masyarakat. Adanya gejala penguatan (konsolidasi) kekuatan dalam menghadapi fenomena bangkitnya “Islam politik”, mereka khawatir jika kekuatan Islam politik akan memegang tampuk kekuasaan negara. Di sisi lain, fakta membuktikan bahwa umat Islam saat ini lebih taat kepada tokoh Islam non-formal ketimbang tokoh Islam formal. Kekhawatiran itu, mungkin mendalilkan aksi bela Islam I, II dan III sebagai pintu masuk (entry point) dalam aktivitas politik pada Pilkada tahun 2018 dan Pemilu tahun 2019.
Kekalahan Basuki T. Purnama dalam Pilkada Jakarta, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh tokoh Islam non-formal dan serangkaian aksi bela Islam. Bagi kaum sekuler dan pluralis – yang ingin memisahkan antara peran agama dan negara secara absolut – , kondisi demikian tidaklah menguntungkan dan tentunya akan terus berupaya memarginalkannya.
Potensi dan indikasi terjadinya konflik menjelang Pilkada serentak tahun 2018 dan Pemilu tahun 2019 sangat terkait dengan polarisasi dua kekuatan tersebut. Terlebih lagi, tokoh sentral Islam non-formal telah dijadikan tersangka oleh Kepolisian, dengan jumlah laporan yang paling banyak dari sekian kasus yang menjerat ulama dan aktivis lainnya.
Lalu bagaimana mempertemukan keduanya dalam perspektif kebhinekaan, dalam rangka menjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI? Di sini diperlukan kenegarawan Presiden dalam menentukan arah dan kebijakan yang sesuai dan sejalan dengan tujuan dan cita-cita nasional, yakni pada pokoknya memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mencapai tujuan dan cita-cita nasional dimaksud diperlukan suatu prasyarat mutlak, yakni persatuan bangsa Indonesia. Kita memang telah merdeka, namun masih terkendala dalam upaya mempersatukan seluruh elemen bangsa, sehingga kita sulit pula untuk berdaulat dan dengan mudahnya kepentingan asing mempengaruhi kebijakan-kebijakan negara, yang pada akhirnya keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia belum dapat berlaku secara maksimum.
Tidaklah dapat dipungkiri sosok habaib, dimata umat Islam memiliki keistimewaan tersendiri, habaib adalah panggilan kehormatan dan kecintaan terhadap keturunan (dzurriyat) Nabi Muhammad SAW, melalui jalur Hasan ra dan Husein ra. Dalam lintasan sejarah, tercatat mereka selalu berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, walaupun harus menghadapi resiko pahit, difitnah, dihujat, dan bahkan dibunuh oleh rezim yang tidak berpihak.
Seyogyanya, pemegang kekuasaan (baca: Presiden) dapat “menangkap” ancaman polarisasi yang saat ini terjadi. Diperlukan adanya mekanisme khusus mengakhiri kegaduhan ini. Dari sekian alternatif, model penghentian proses hukum terhadap alim ulama dan aktivis adalah abolisi yang diikuti dengan rekonsiliasi. Pilar berlakunya rekonsiliasi adalah mengembalikan keadaan pada posisi semula. Di sini kebijakan politik Presiden dalam pemberian abolisi sangat strategis. Abolisi, bukanlah hal yang baru dalam praktek kenegaraan, melalui hak prerogatif Presiden. Hak prerogatif ini merupakan hak atributif dari konstitusi (Pasal 14 ayat 2 UUD 1945). Beleid abolisi, juga dimaksudkan agar terwujudnya kondisi yang kondusif guna mencegah terjadinya konflik horisontal yang terjadi di masyakat menjelang berlakunya Pilkada tahun 2018 dan Pemilu Legislatif dan Pilpres tahun 2019.
Menurut Carol (1998) bahwa rekonsiliasi menyelaraskan atau menyelesaikan suatu ketidakcocokan, bergabung kembali, berbaik kembali, sependapat kembali, memulihkan persekutuan kembali dan kepercayaan. Dari pengertian rekonsiliasi tersebut, dapat dikatakan bahwa rekonsiliasi merupakan suatu proses penyelesaian konflik untuk memulihkan kembali keadaan-keadaan yang berakibat terhadap pertikaian.
Syarat terwujudnya rekonsiliasi bukanlah dimaknai dalam posisi yang sederajat/setara, sebagaimana dinyatakan oleh Menko Polhukam Wiranto, dikatakan, “Rekonsiliasi itu istilah yang sangat berat. Itu antara satu badan pemerintah dan satu badan yang kira-kira setara dengan pemerintah. Itu namanya rekonsiliasi.” Dikatakan pula, bahwa “rekonsiliasi tidak dapat dihubungkan dengan kasus hukum yang tengah dijalani seseorang.” (news.detik.com. 20 Juni 2017).
Sepanjang pengetahuan penulis, rekonsiliasi sangat identik dengan pengungkapan kebenaran untuk perdamaian, bisa terjadi antara sekelompok masyarakat dengan negara. Rekonsiliasi juga terkait dengan pemberian abolisi maupun amnesti. Hampir semua Keppres tentang pemberian amnesti umum dan abolisi, didahului dengan butir menimbang “… dalam rangka mewujudkan rekonsiliasi guna memperkokoh kesatuan bangsa, perlindungan, pemenuhan dan pemajuan hak asasi manusia.....”
Ketika abolisi terwujud, maka kita akan mudah menuju rekonsiliasi yang dimaksudkan, tentunya didasarkan atas kebenaran (truth), sifat welas asih manusia (mercy), keadilan(justice), dan perdamaian (peace), kesemua itu bertemu dan bersatusecara bersama. Kedua kekuatan yang saling bersaing dan masing-masing memiliki kecenderungan yang berbeda dapat dipertemukan dan dipersatukan dengan merujuk kepada konsep yang telah diwariskan oleh the founding fathers, yakni komitmen kebangsaan.
Dalam konsep Islam terkenal dengan ukhuwah wathaniyyah (persaudaraan sesama warga bangsa) dan ukhuwah insaniah, yaitu persaudaraan dan persahabatan sesama manusia (brotherhood humanities). Seyogyanya, Presiden dapat mencermati gejala yang terjadi dan segera mengakhiri kegaduhan ini dengan pemberian abolisi guna percepatan rekonsiliasi dalam rangka memperkuat stabilitas nasional. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!