Ahad, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 13 Agutus 2017 14:52 wib
8.831 views
Moderasi atau Liberalisasi?
Oleh: Zaqy Dafa (Pemerhati Pemikiran Islam)
Entah bagaimana, akhir-akhir ini jika ada Muslim yang ingin memperjuangkan pengamalan Syari’ah Islam sesuai kemampuan masing-masing selalu saja mendapat cap buruk dari orang-orang yang dikenal sebagai “kaum kepala dingin.”
Mereka dengan sikap “moderat”, “elegan”, dan “paling NKRI”-nya selalu mengajak orang untuk menyebarkan yang adem-adem saja, meski di lain pihak mereka juga sangat tekun mengumbar cap intoleransi, radikal, anti nasionalis, bahkan cap makar secara gebyah uyah. Pokoknya orang yang tidak mengucapkan kata “NKRI harga mati” sudah pasti dia radikal dan anti-NKRI.
Padahal, yang ngomong begitu belum tentu ketika peringatan 17 Agustus mau mengibarkan bendera merah putih di depan rumahnya dan malas melihat upacara bendera di tivi maupun di dekat rumahnya. Mental “paling NKRI” macam apa itu?
Belum lagi orang yang karena kepentingannya menggembosi Syari’ah, dia begitu suka berdalil ini itu sesuai dengan keinginan mereka. Sampai-sampai ada seorang “intelektual” yang menulis bahwa suhu panas perpolitikan Indonesia sekarang ini disamakan dengan suhu politik Khalifah Ali-Muawiyah zaman dahulu. Padahal, faktanya di Indonesia tidak ada perang fisik apalagi pengerahan massa secara massif untuk menggulingkan pemerintah. Bukankah ini berlebihan, atau memang tujuan mereka agar umat Islam mau melemas?
Yang paling menyakitkan dia menulis, “Kubu ‘Ali memainkan high politics dengan berusaha mempertahankan idealisme dan nilai luhur Islam dengan tidak terjebak pada politisasi agama, meski pada akhirnya mereka menyerah pada desakan sebagian pendukungnya yang kemudian membelot, sehingga mereka dikalahkan oleh kecerdikan ‘Amru ibn al-‘Ash, juru runding kubu Mu’awiyah. Kubu Mu’awiyah lihai memainkan isu-isu agama untuk melegitimasi kepentingan politiknya, sehingga mudah meraih simpati masyarakat dengan segudang prestasi dan kebobrokannya sekaligus.”
Padahal, bagi mayoritas umat Indonesia yang ngakunya paling Ahlussunnah wal Jama’ah itu termasuk akidah paling mendasar bagi Aswaja adalah hormat terhadap seluruh Shahabat Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama. Meski mereka bukanlah manusia yang maksum, Aswaja meyakini bahwa mereka selalu bertaubat sebelum ajal menjemput mereka. Lha ini ada orang pintar malah menuduh Muawiyah “memainkan isu-isu agama untuk melegitimasi kepentingan politiknya”? Tulisan yang seperti ini dia awali dengan menulis judul tentang “moderasi”. Moderasi model apa ini? Mana akidah Aswaja yang katanya Anda junjung-junjung tinggi itu?
Muawiyah tidak ada niatan untuk menggulingkan pemerintahan sah pada waktu perang Shiffin. Jika memang Muawiyah berniat begitu, padahal beliau baru diangkat khalifah setelah dilantik oleh Sayyidina Hasan yang menjadi khalifah pengganti ayah beliau Sayyidina Ali. Akan tetapi dukungannya terhadap kelompok kudeta yang akhirnya menjadi Khawarij merupakan kebijakan yang keliru, karena perang tersebut telah menimbulkan instabilitas negara dan banyaknya umat Islam yang terbunuh karena alasan yang sebenarnya dapat ditempuh penyelesaiannya melalui jalur diplomasi dan kerjasama. Memang diakui, propaganda para pemberontak yang didalangi Yahudi ini berhasil mempengaruhi pikiran banyak shahabat.
Perlu diketahui, setelah peristiwa Tahkim antara Abu Musa al-Asy’ari dan Amr bin Ash Sayyidina Ali tetap menjabat sebagai khalifah hingga beliau syahid dibunuh oleh kaum pemberontak yang akhirnya menjadi Khawarij.
Jadi jangan karena Shahabat tidak maksum, lalu Anda dengan seenaknya mengatakan bahwa Muawiyah itu “memainkan isu-isu agama untuk melegitimasi kepentingan politiknya”. Kalau Anda mau bicara soal moderasi, mestinya gunakan pandangan-pandangan yang moderat pula sesuai akidah Aswaja. Kalau Anda begini, bukan moderasi yang Anda tawarkan tapi geraman umat Islam melihat tingkah Anda.
Tentang sikap Ibnu Umar yang Anda tawarkan, tentu hal ini baik dan patut ditiru agar umat Islam tidak melulu bertikai dalam hal politik. Hal ini kita dapatkan contoh dari beberapa ulama sepuh kita yang memilih tidak berkomentar apapun dengan kondisi politik, karena bagaimanapun juga pangkat adalah amanah. Tanggung jawabnya dunia akhirat. Tidak mendapat pangkat itu mestinya lebih baik dan patut disyukuri.
Akan tetapi, Anda tidak dapat menyalahkan orang-orang yang berjuang dalam politik untuk menegakkan Syari’ah Islam sesuai konstitusi yang ada. Memang harus ada orang-orang seperti mereka. Jika semuanya ikut mengucilkan diri dari politik kemudian negara dikuasai oleh orang-orang yang tak paham agama, lalu bagaimana solusi Anda sebagai umat Islam?
Mari kita semua ngaji yang benar dan serius, agar masalah-masalah seperti ini dapat dipahami secara jernih. Meluruskan niat adalah yang utama, segala hal yang kita lakukan diusahakan semata-mata karena ikut aturan Allah dan mengabdi kepada Allah.
Tujuannya agar kita selamat dunia akhirat dan dosa-dosa kita diampuni oleh Allah Ta’ala. Hidup ini hanya sebentar, tingkah laku kita semua akan dihisab kelak di akhirat. Kita selalu sadar tiap hari selalu melakukan dosa besar maupun kecil, sengaja maupun tidak.
Jika orientasi berpikir dan bersikap kita sebagai umat Islam sudah seperti ini, maka tidak akan ada lagi orang yang bertindak anarkis-teroris maupun liberal-sekularis, apalagi sampai berkata “Muawiyah memainkan isu-isu agama untuk melegitimasi kepentingan politiknya”. WaLlahu A’lam. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!