Ahad, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 17 September 2017 09:10 wib
10.385 views
Hadharah dan Madaniyah Dalam Islam (Bagian-1)
Oleh: Rianny Puspitasari, S.Pd., M.Pd.
(Dosen STBA Sebelas April Sumedang)
Pengantar
Perayaan 17 Agustusan di Kabupaten Bogor diwarnai insiden pembakaran bendera Merah Putih. Di Kampung Jami, RT 02/04, Desa Sukajaya, Kecamatan Tamansari, warganya bersitegang menyusul ada bendera merah putih yang dibakar oknum petugas keamanan Pondok Pesantren (Ponpes) Tahfizh Alquran Ibnu Mas’ud. Hal itu membuat pasukan Brimob lengkap dengan senjatanya turun mengepung masjid dan ponpes, yang sempat dicurigai ikut menyebarkan paham ISIS. Akibat dari kasus ini,warga begitu marah dan akhirnya menutup pondok pesantren tersebut dan meminta mereka untuk pindah dalam waktu satu bulan.
Peristiwa ini menjadi cerminan bahwa warga Negara Indonesia begitu mensucikan bendera merah putih. Mereka bereaksi ketika keagungan bendera mereka dinodai. Ini adalah gambaran umat Islam Indonesia yang sudah terlanjur menjadikan bendera merah putih yang notabene lambang Negara sebagai sesuatu yang harus dihormati, dijaga dan ditinggikan.
Hal ini bukan hanya menimpa umat Islam yang ada di Indonesia, kaum muslim di berbagai Negara pun tidak sedikit yang begitu membela dan bangga terhadap bendera negaranya masing-masing. Umat Islam yang sudah dikerat-kerat menjadi puluhan Negara akhirnya terjebak dalam pengagungan terhadap ciri dan lambang negaranya.
Di sisi lain, selalu muncul pertanyaan yang nyinyir terhadap pembela persatuan umat. Mengapa anti demokrasi tetapi masih memakai KTP? Bahkan ada yang menjadi PNS? Mengapa yang selalu berteriak ‘campakkan system kufur’ tapi menggunakan facebook, computer dan membeli produk-produk dari Yahudi?
Saat ini umat seolah linglung dengan mana yang boleh diemban, diambil, dan dipakai, dengan mana yang tidak boleh. Pemahaman inilah yang perlu diluruskan agar umat tidak lagi salah kaprah dalam menyikapi hal ini.
Penyebab Umat Gagal Paham
Umat Islam mengalami kemunduran akut sejak mereka meninggalkan ijtihad. Padahal, ijtihad sangat penting dilakukan demi menghadapi persoalan-persoalan baru yang barangkali belum pernah ada di masa sebelumnya, atau di masa Rasulullah masih hidup. Akibat ijtihad ini berhenti, yang terjadi adalah taklid buta dan gagap peradaban.
Hal ini sudah terlihat pada masa-masa akhir Khilafah Utsmaniyah. Serbuan pemikiran Barat tidak mampu disaring. Umat Islam bingung, dengan banyaknya pemikiran asing yang masuk ke dalam tubuh umat Islam ini, sebenarnya mana yang boleh diambil dan mana yang tidak? Apakah harus ditolak semuanya? Atau justru diambil semuanya? Dan akhirnya, yang terjadi adalah diambil semuanya. Entah produk teknologinya atau produk peradabannya. Alhasil, umat Islam saat ini dikuasai oleh hegemoni Barat nyaris di setiap sudut kehidupan. Sistem demokrasi dipaksakan di negeri-negeri Islam. Kapitalisme sukses memiskinkan kaum muslimin. Liberalisme mengacaukan akidah umat dan menghancurkan generasi muda umat Islam.
Meski demikian, seruan-seruan untuk kembali kepada Islam terus didengungkan. Tetapi umat pun bingung, jika ingin kembali pada Islam, maka apa yang harus dilakukan dengan pengaruh Barat yang sudah masuk ke tengah-tengah kaum Muslim? Dari sini kemudian muncul dua kubu. Kubu pertama adalah kubu yang menyeru untuk mengambil semua apa yang berasal dari Barat, baik teknologinya maupun peradabannya.
Akibatnya, mereka menjadi kelompok liberal yang mengagungkan kebebasan dan memuji-muji peradaban Barat. Kubu inilah yang mengatakan bahwa para pejuang Islam tidak konsisten, menghina demokrasi, tetapi memanfaatkan ‘produk demokrasi’. Merekalah tipe yang menghalangi kebangkitan Islam dan sudah benar-benar dirasuki pemikiran Barat. Kubu berikutnya adalah kubu yang menolak semua yang berasal dari Barat.
Menurut mereka, produk teknologi, peradaban, ideology, semuanya haram. Dampak negative dari hal ini adalah, mereka terus berada dalam ‘keterbelakangan’di tengah kemajuan IPTEK dan bahkan bisa membawa mereka pada kebodohan yang tak berujung. Kubu ini pun terkadang mencela pejuang penegak Khilafah karena tidak meninggalkan produk thagut.
Jika kita telisik lebih dalam. Sebenarnya kerancuan yang mengacaukan pemahaman umat ini adalah ketidakpahaman atau yang sekarang lebih sering disebut sebagai gagal paham terhadap hadharah dan madaniyah. Gempuran paham dan penerapan system kapitalisme-sekuler adalah penyebab utama umat kebingungan dengan mana yang boleh diambil dan mana yang harus ditinggalkan. Akhirnya mereka malah dengan rela digiring oleh Barat mengambil paham-paham yang bukan berasal dari Islam dan malah menolak hal-hal yang justru mubah hukumnya dalam Islam. Ini adalah bentuk keberhasilan orang-orang kafir dalam merusak akidah umat.
Memahami Makna Hadharah dan Madaniyah
Untuk meluruskan pemahaman ini kita harus terlebih dahulu memahami definisi dari hadharah dan madaniyah. Dalam kitab Nidzamul Islam karya Syekh Taqiyuddin An-Nabhani disebutkan bahwa:
“Hadharah adalah sekumpulan mafahim (ide yang dianut dan mempunya fakta) tentang kehidupan. Sedangkan Madaniyah adalah bentuk-bentuk fisik dari benda-benda yang terindera yang digunakan dalam berbagai aspek kehidupan. Hadharah bersifat khas, terkait dengan pandangan hidup. Sementara madaniyah bisa bersifat khas, bisa pula bersifat umum untuk seluruh umat manusia. Bentuk-bentuk madaniyah yang dihasilkan dari hadharah, seperti patung termasuk madaniyah yang bersifat khas. Sedangkan bentuk-bentuk madaniyah yang menjadi produk kemajuan sains dan perkembangan teknologi industri termasuk madaniyah yang bersifat umum, milik seluruh umat manusia. Bentuk madaniyah yang terakhir ini bukan milik umat tertentu, akan tetapi bersifat universal seperti halnya sains dan teknologi.” (Bersambung). [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!