Jum'at, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 29 September 2017 10:01 wib
6.854 views
Kritik Terhadap Kritik Hadits Mahmud Abu Rayyah (Bagian-1)
Oleh: Zaqy Dafa (Pemerhati Pemikiran Islam)
Mahmud Abu Rayyah adalah salah satu Intelektual Muslim kontroversial asal Mesir yang pemikirannya sering dikategorikan sebagai pemikiran Inkar as-Sunnah Modern yang generasi awalnya dimotori oleh Muhammad Abduh. Pada usia muda Abu Rayyah mengikuti pendidikan pada Madrasah Ad-Da’wah wal Irsyad, lembaga dakwah yang didirikan oleh Muhammad Rasyid Ridha. Abu Rayyah juga mengikuti kursus Teologi lokal.
Bermula dari gagasan ‘Abdūh dan Ridlā tentang penolakan keras terhadap taqlid, khususnya terhadap madhhab, membuat Abū Rayyah mengacuhkan teori para ulama dan sarjana yang lebih berpengalaman dalam melakukan studi ke-Islaman. Hingga akhirnya dia menyimpulkan bahwa taqlid sebagai penyumbat pengembangan idea, dan para ulama serta sarjana dinilai bersikap jumud (pasif) hingga imajinasi dan inspirasi meraka sendiri akhirnya mati.
Dasar Pemikiran Mahmud Abu Rayyah Tentang Hadits
Sebagai pisau analisisnya Abu Rayyah menggunakan data historis (sejarah) untuk meneliti hadis. Dikatakan pula bahwa Abu Rayyah dalam mengkaji hadis, apabila ada hadis yang bertentangan dengan sains maka hadis tersebut dinyatakan lemah (dhaif). (Sochimin, Telaah Pemikiran Hadis Mahmud Abu Rayyah dalam Buku “Adwa’’ Ala Al-Sunnah Al-Muhammadiyyah dalam Hunafa. 276). Berangkat dari sinilah Abu Rayyah tergugah untuk mengkritik hadis-hadis.
Diantara karyanya yang fenomenal yaitu Kitab Adwa Ala Al-Sunnah Al-Muhammadiyyah (Sorotan tentang Sunnah Nabi Mukammad) terbit 1958, kitab ini merupakan buku histiografi hadis (sejarah hadis). Selain itu, buku ini berisi dari beberapa bab diantaranya; Membahas tentang sebagian kitab yang diduga atau menurut Abu Rayyah tidak menyampaikan perkataan dan perbuatan Nabi SAW, namun merupakan suatu rekayasa yang dilakukan oleh sezaman dengan Nabi dan generasi-generasi sesudahnya untuk menciptakan hadis. Lebih jauhnya menurutnya hadis Ahad tidak boleh diberlakukan pada komunitas muslim sepanjang zaman. (Sochimin, Telaah Pemikiran Hadis Mahmud Abu Rayyah dalam Buku “Adwa’ ’Ala Al-Sunnah Al-Muhammadiyyah dalam Hunafa. hlm. 278)
Abū Rayyah memang tidak meletakkan pemaknaan kata al-hadith secara terpisah, akan tetapi pemikirannya bisa terbaca bahwa dia memposisikan hadis sebagai sesuatu yang baru. Sebelum meletakkan al-sunnah dalam pemahamannya, dia mengawali pemahamannya dengan pembagian al-sunnah itu sendiri menjadi dua macam, yaitu al-sunnah al-‘amaliyah dan al-sunnah al-qawliyah. Keduanya memiliki bias pemahaman tersendiri, di mana al-sunnah al-’amaliyah memiliki otoritas lebih dibandingkan dengan al-sunnah al-qawliyah, meskipun dia secara general memposisikan al-sunnah pada urutan kedua setelah al-Qur’an. Karna sudah ada penegasan pada penetapan konklusi yang ditempatkan di akhir bab mengenai al-sunnah dan posisinya dalam kitab tersebut.
Seperti para kritikus hadits modern lainnya, Mahmud Abu Rayyah menggunakan argumen “skeptisisme” terhadap Hadits sebagai dasar kerangka berfikirnya dalam menganalisa otoritas Hadits. Abu Rayyah dan para kritikus Hadits lainnya seperti Ignaz Goldziher dan Ahmad Amin berasumsi bahwa pemalsuan Hadits telah dilakukan oleh para generasi awal Islam (baca: Shahabat dan Tabi’in) pada masa zaman Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama masih hidup. Padahal, tidak satupun dari mereka yang mampu memberikan bukti ilmiah dan meyakinkan bahwa para Shahabat dan Tabi’in memalsukan Hadits. Mereka hanya mampu bermain-main logika dengan Hadits-hadits yang ada untuk menunjukkan sesuatu yang “tidak ada” tersebut.
Penolakan Mahmud Abu Rayyah terhadap Hadits yang tidak sesuai sains patut dipertanyakan. Sains dibangun atas praduga-praduga yang bersifat empiris dan menolak segala hal yang tidak dapat dibuktikan oleh pengalaman manusia. Jika demikian, maka banyak sekali Hadits yang akan dicoret oleh Abu Rayyah dari daftar Hadits meskipun sanad dan matannya shahih seperti hadits-hadits tentang mukjizat kenabian, pertemuan dengan malaikat, ramalan akhir zaman, bahkan hukum-hukum yang bersifat “tak terfikirkan” atau ta’abbudi. Penolakan Hadits dengan pertimbangan sains hanya akan menjadi “langkah kabur” Abu Rayyah dari metodologi studi Hadits yang disepakati ulama berabad-abad lamanya.
Darimana pula asumsi Abu Rayyah bahwa Hadits Ahad tidak boleh digunakan sepanjang zaman? Faktor apa saja yang menjadikan Hadits Ahad tidak dapat digunakan oleh umat Islam sepanjang zaman? Hal ini kiranya perlu dijelaskan lebih lanjut.
Kemudian, Abu Rayyah mengklaim al-sunnah al-‘amaliyyah lebih otoritatif dibanding al-sunnah al-qauliyyah. Pertanyaannya, lebih otoritatif dalam segi apa? Sunnah adalah segala ucapan, perbuatan, dan pengakuan Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama. Jika yang dimaksud Abu Rayyah adalah dalam segi otoritas Rasulullah sebagai teladan, maka kedudukan antara ucapan dan perbuatan beliau mestinya setara sebagai uswah hasanah. Jika yang dimaksud Abu Rayyah dalam segi penggalian hukum, maka ulama Ushul Fiqh malah menilai Hadits yang berupa sabda Rasulullah lebih otoritatif untuk pengambilan dalil hukum daripada Hadits yang menceritakan perilaku beliau. Hal ini perlu dijelaskan lebih lanjut.
Kritik Pembukuan Hadits dan Otoritas Shahabat
Abu Rayyah mengkritisi pembukuan hadis dengan melepaskan metode yang disandarkan pada pakar hadis sebelumnya. Dia berpendapat bahwa pencatatan tekstual literatur hadis tidak valid, sebab pencatatan hadis dilakukan pasca Nabi dan pembukuannya pasca sahabat. Hingga dia juga meragukan kitab al-Sadiqah karya ‘Abdullah bin ‘Amr, dengan ungkapan bahwa karya tersebut sangat tidak berguna. Kemudian menuduh Ibnu Shihab al-Zuhri melakukan penulisan hadis karena usnsur paksaan dari Bani Umayyah dengan mengutip ungkapan Ibnu ‘Abd al-Bar, bahwa al-Zuhri menolak untuk mencatatkannya hingga para penguasa mendesaknya.
Abu Rayyah berkomentar tentang hadis yang berbunyi man kadhaba. Dia menilai bahwa kata muta’ammidan (dengan sengaja) yang dianggap ada dalam hadis, tidak ada dalam versi-versi yang sampai kepada dirinya dari para pembesar sahabat, misalnya al-Khulafa’ al-Rashidun. Yaitu para sahabat seperti Anas bin Malik, Abu Hurairah dan lainnya, yang meriwayatkan hadis tersebut dengan kata muta’ammidan. Selanjutnya dia menilai bahwa kata itu bisa di-idraj-kan, dengan alasan untuk membersihkan para sahabat dari tuduhan negatif, karena secara tidak disengaja mereka telah memalsukan sabda Nabi Muhammad saw, atau memalsukannya dengan alasan untuk memajukan Islam.
Kritikannya diatas tidak lain ialah, bahwa al-kidhbu telah terjadi dikalangan para sahabat. Kalau memang demikian, maka hadis secara keseluruhan dari mereka harus dikaji ulang. Argumen yang lain dalam rangka mengugurkan sistem ta’dil kolektif para sahabat adalah adanya perdebatan para sahabat yang terjadi karena terdapat kecurigaan terhadap pemalsuan dan iktsar al-hadith.
Beberapa pernyataan Mahmud Abu Rayyah diatas kurang lebih sama dengan asumsi-asumsi yang digelontorkan para kritikus Hadits modern lainnya. Seperti halnya Ignaz Goldziher, David Samuel Margoliouth, dan Ahmad Amin, Mahmud Abu Rayyah mengatakan bahwa pencatatan Hadits tidak valid karena penulisannya baru dimulai pasca Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama wafat dan pembukuannya baru dilakukan pasca era shahabat. Padahal, Banyak riwayat Hadits yang menunjukkan bahwa Hadits telah dibukukan pada masa Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama. Diantaranya adalah Hadits riwayat Abu Dawud, Hakim, dan lain-lain, dari Abdullah bin Amr bin Ash, ia berkata: Aku berkata, “Wahai Rasulullah. Saya mendengarkan sebuah ungkapan darimu lalu saya menulisnya.” Rasulullah menyahut, “Iya.” Aku berkata, “Tentang Hadits murka dan ridla?” Beliau menjawab, “Iya. Aku tidaklah mengatakan sesuatu tentang keduanya kecuali hal itu benar.”
Bahkan pada zaman Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama sudah ada kodifikasi Hadits dalam sebuah buku. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahih-nya bahwa Ali bin Abu Thalib RadliyaLlahu ‘anhu ditanya setelah wafatnya Nabi, “Apa Anda memiliki ucapan Rasulullah selain Al-Quran?” Beliau pun menjawab, “Tidak, demi Dzat yang membelah biji-bijian dan menghembuskan angin segar, kecuali Allah telah memberikanku kepahaman mengenai Kitab-Nya dan apa yang tertulis dalam lembaran ini.” Aku bertanya, “Apa yang tertera dalam lembaran itu?” Beliau menjawab, “Perihal hukum pidana Diyat, pelepasan tawanan, dan Muslim tidak dibunuh sebab membunuh orang kafir.”
Masih ada beberapa bukti lain tentang hal ini. Namun, entah mengapa bukti-bukti tersebut dilewatkan saja oleh para kritikus Hadits seperti Mahmud Abu Rayyah dan lebih suka mencari-cari alasan untuk menunjukkan Hadits Rasulullah tidak valid lagi. Bersambung. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!