Jum'at, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 24 November 2017 06:06 wib
5.716 views
Membaca Masa Depan Media Massa Islam
Oleh: Roni Tabroni, S.Sos., M.Si.
(Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Sangga Buana YPKP dan UIN SGD Bandung)
Media massa Islam di tanah air baik yang masih maupun tidak terbit lagi merupakan warisan tidak ternilai harganya. Media massa yang beridiologi Islam telah memberikan warisan peradaban sangat penting. Perkembangan pemikiran Islam tidak lepas dari peran media massa yang dikelola baik organisasi maupun kelompok Islam tertentu dengan konten yang sangat mencerahkan.
Walaupun mengalami pergeseran dari sisi bobot dan kajian konten yang disajikan, nyatanya media massa Islam (khususnya yang tercetak) hingga kini masih eksis dan tetap bertahan. Dari sekian banyak media massa Islam yang telah terbit dan tenggelam di tanah air, Suara Muhammadiyah merupakan majalah paling tua yang masih terbit – sejauh penelusuran saya – dan hingga kini tidak lelah memberikan pencerahan kepada ummat.
Namun demikian, ada pertanyaan mendasar terkait dengan eksistensi media massa Islam yang berbasis cetak ini. Akankan media massa Islam ini tetap hadir menyapa khalayak? jika masih akan tetap ada, sampai kapan media itu hidup?
Jika didiskusikan, tema ini mungkin tidak akan habis diperdebatkan. Walaupun ada futurolog meyakini jika media cetak akan punah tahun 2040, namun Jakob masih yakin jika media cetak akan tetap bertahan dan tidak akan tergantikan. Prediksi ini sesungguhnya berlaku umum, namun sebagai bagian dari media massa, Koran atau majalah Islam pun bisa jadi ada di dalamnya.
Untuk itu penting kita mengkaji beberapa aspek dari keberadaan media massa Islam terkait dengan karakteristiknya. Pertama, media massa Islam pada umumnya berbasis pada opini bukan berita. Jika pun ada media massa Islam yang berbasis berita, maka teknik reportasenya sangat khas. Walaupun media secara umum tidak lepas dari subjektifitas, namun media massa Islam lebih vulgar dan sangat jelas keberpihakannya.
Teknik jurnalistik di media massa Islam ini memiliki kekhassan dan cenderung tidak sama dengan media massa pada umumnya. Para reporter dan redaktur seperti berada di dunia media yang berbeda dibanding media massa pada umumnya. Teknik reportase tidak banyak di lapangan dan mobile, tetapi lebih fokus pada wawancara tokoh dan penelusuran referensi.
Kedua, media massa Islam lebih banyak diterbitkan oleh organisasi atau kelompok Islam tertentu. Media ini menjadi partisan karena diterbitkan untuk kepentingan organisasi atau golongan. Maka subjektifitas yang kental di atas bisa jadi dikarenakan pengaruh kepemilikan yang kuat mempengaruhi keberadaan media tersebut.
Ketiga, media massa Islam lebih menjadi saluran propaganda sekaligus menangkal pengaruh luar. Selain menyerang “lawan“, media ini juga lebih berfungsi untuk melindungi kelompok dan jamaahnya dari pengaruh luar.
Keempat, secara kelembagaan, media massa Islam lebih cenderung memberdayakan SDM internal kelompoknya dibanding melakukan rekrutmen terbuka dengan mencari orang-orang professional di luar kelompoknya. Jika diisi oleh orang luar, dikhawatirkan isi media menjadi bias dan tidak terkontrol, selain persoalan lain bagi sebagian media yaitu aspek financial yang kurang mendukung.
Kelima, media massa Islam tidak tersebar luas, hanya beredar di kalangan internal. Kalaupun ada yang dijual bebas, jumlahnya sangat terbatas dan oplahnya tidak besar. Kondisi ini sangat mungkin dipengaruhi konten yang bersifat internal dan hanya untuk kepentingan kelompok tertentu, sehingga ketika dilempar ke pasar yang lebih luas cenderung kurang laku. Atau, memang pemilihan jangkauan juga merupakan bagian dari pilihan itu sendiri.
Keenam, jika menelusuri keberadaan media massa Islam dahulu – kebanyakan sudah tidak terbit lagi – media tersebut lebih membangun wacana yang sangat terbuka. Selain membuka wawasan Islam yang sangat mencerahkan, media massa Islam juga sangat erat dengan isu-isu nasionalisme. Lewat media massa, para tokoh Islam dulu membangun peradaban masyarakat yang lebih maju.
Dahulu, media massa Islam lebih open minded, tidak kaku dalam membangun wacana, mencerahkan, bahkan sebagiannya sangat ekstrem. Misalnya bagaimana media “Mimbar” menyuguhkan rubrik khusus Kristologi pada tahun 60-an.
Termasuk bagaimana media massa Islam dulu sangat terbiasa dengan ideologi-ideologi kiri dan nasionalis. Di sini tentu sangat terang bagaimana media massa Islam memberikan pendidikan yang lebih terbuka dan memberikan pilihan berfikir dengan argumentasi yang jelas.
Namun, dari kekhassan tersebut, media massa Islam memiliki keunggulan yang bisa dijadikan modal untuk tetap bertahan walaupun dengan syarat. Modal dimaksud adalah soliditas antara pengelola dengan khalayaknya.
Media massa Islam yang dibangun di atas kelompok dan Ormas tertentu sesungguhnya mereka memiliki hubungan erat sebagai sebuah keluarga besar. Hal ini pula yang membuat jamaah dari Ormas atau kelompok Islam tersebut merasa memiliki terhadap media massanya.
Hanya saja, seiring dengan perkembangan zaman, di mana rasionalitas publik semakin maju, maka mengandalkan ikatan emosional saja kini tidak cukup.
Maka diperlukan aspek profesionalitas pada media massa Islam, sehingga ummatnya selain tetap memilih medianya tersebut dengan alasan sebagai keluarga, tetapi juga memang kontennya dibutuhkan karena kualitas isinya.
Sehingga ke depan, tidak lagi media itu dimiliki jamaahnya karena memiliki ikatan keluarga, tetapi memang media itu benar-benar ditunggu dan dibeli secara proaktif.
Jika sudah terpadu antara aspek kedekatan emosional dan kwalitas media, maka bukan tidak mungkin media massa cetak Islam ini akan tetap hadir sepanjang zaman. Al ilmu minallah. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!