Selasa, 23 Jumadil Awwal 1446 H / 26 Desember 2017 22:51 wib
4.694 views
Menyingkap Akar Masalah Palestina dan Solusinya (Bagian 2-Selesai)
Oleh : Hardi Jofandu, Blogger
Kesungguhan sang Khalifah itu ditunjukkan pula dalam Maklumat yang ia keluarkan pada tahun 1890 M, “Wajib bagi semua menteri untuk melakukan studi beragam serta wajib mengambil keputusan yang serius dan tegas dalam masalah Yahudi tersebut.” ( As-Sulthan Abdul Hamid II , hlm. 88).
Ketegasan Khalifah menjadikan Herzl tak berdaya. Dia pun menyampaikan , “Sesungguh-nya saya kehilangan harapan untuk bisa merealisasikan keinginan orang-orang Yahudi di Palestina. Sesungguhnya orang-orang Yahudi tidak akan pernah bisa masuk ke dalam tanah yang dijanjikan selama Sultan Abdul Hamid II masih tetap berkuasa dan duduk di atas kursinya” ( Al- Yahud wa ad-Dawlat al- Utsmaniyah , hlm. 158).
Tahun 1902, delegasi Herzlt kembali mendatangi Sultan Abdul Hamid. Kali ini Delegasi Herzlt menyodorkan sejumlah tawaran seperti: memberikan hadiah sebesar 150 juta Poundsterling untuk pribadi Sultan, membayar semua utang pemerintah Turki Utsmani yang mencapai 33 juta Poundsterling, membangun kapal induk, untuk menjaga pertahanan pemerintah Utsmani yang bernilai 120 juta Frank, memberikan pinjaman tanpa bunga sebesar 35 juta Poundsterling dan membangung sebuah Universitas Utsmani di Palestina.
Namun semua tawaran itu ditolak oleh Sultan Abdul Hamid. Khalifah mengatakan kepada delegasi tersebut:
“If Mr. Herzl is as much your friend as you are mine, then advise him not to take another step in this matter. I can not sell even a foot step of land, for it does belong to me but to my people. My people have won this empire by fighting for it with their blood and have fertilized it with their blood. We will again cover it with our blood before we allow it to be wrested away from us … The Turkish Empire belongs not to me but to the Turkish people. I can not give away any part of it. Let the Jews save their billions. When my Empire is partitioned, they may get Palestine for nothing.”
(Jika Mr. Herzl sebagaimana kamu juga mau menjadi temanku, maka nasehati dia, agar jangan mengambil langkah lagi untuk masalah ini. Saya tidak dapat menjual, walau pun sejengkal, dari tanah ini (Palestina), yang bukan menjadi milikku, tetapi milik rakyatku. Rakyat ku telah memenangkan empire ini dengan bertempur untuknya, dengan mengucurkan darah mereka, dan telah menyuburkan tanah ini dengan darah mereka. Kami akan melindungi tanah ini dengan darah kami sebelum kami mengizinkannya dirampas dari kami… Turki Utsmani bukanlah milikku tetapi untuk rakyat Turki. Saya tidak dapat memberikan bagian mana pun dari tanah ini. Silakan Yahudi menabung milyaran (uang) mereka. Jika Empireku sudah terbagi-bagi, mereka mungkin akan mendapatkan Palestina tanpa imbalan).
Setelah penolakan tersebut, kaum Zionis mengubah strategi merampas tanah Palestina dengan cara memanfaatkan kekuatan negara Inggris. Lalu bagaimana kaum Zionis bisa mempengaruhi pemerintah Inggris agar menjalankan agenda mereka? Jawabnya: lewat jeratan hutang.
Kita tahu bahwa Lord Rothchild adalah bankir Yahudi ternama di Inggris dan Eropa. Ia memutar uangnya, dengan riba tentunya hingga mampu menghutangi negara-negara yang terlibat perang dan butuh biaya besar. Ketika leher Inggris sudah terjerat hutang dan ribanya, Rothchild pun nantinya akan mudah meminta tanah untuk bangsanya.
Mimpi Buruk Palestina
Patut dicatat, kondisi Khilafah saat kaum Zionis datang meminta tanah Palestina ke Khalifah sangat lah melemah. Bahkan saking melemahnya, Khilafah dijuluki “Sick man of Eruope” oleh Tsar Nicholas I. Meski demikian, Khilafah saat itu masih disegani oleh lawannya. Dan saat itu, tak seujung kuku tanah Palestina terusik oleh kaum Yahudi.
Namun, nafas segar tak bertahan lama. Mimpi buruk Palestina akhirnya datang atas nama Perang Dunia 1. Negara Khilafah yang saat itu melemah terjebak mengikuti Perang Dunia 1 dan terpaksa masuk dalam aliansi sentral, yaitu dengan Jerman dan Austria-Hongaria melawan aliansi sekutu yaitu Prancis, Britania Raya (Inggris) dan Rusia. Puncaknya, aliansi sentral (Khilafah, Jerman dan Austria-Hongaria) menderita kekalahan memalukan.
Wilayah Khilafah pun dibagi-bagi melalui perjanjian Sykes-Picot (16 Mei 1916). Dalam perjanjian ini, wilayah Palestina dibawah kendali Britani Raya (Inggris). Karena itu, sebagai balas jasa atas hutang Rothchild kepada Inggris, serta , maka Menteri Luar Negeri Inggris, Sir Arhur James Balfour memberikan surat (Deklarasi Balfour 2 November 1917) kepada Lord Rothchild, Pemimpin Komunitas Yahudi Inggris untuk dikirimkan kepada Federasi Zionis. Pada intinya, surat itu adalah surat yang berisi janji pemerintahan Inggris untuk memberikan rumah tetap (tanah air) bagi Yahudi di Palestina.
Singkatnya, untuk mewujudkan janjinya kepada Yahudi, Inggris melalui LBB (Liga Bangsa-Bangsa) menerbitkan Mandat For Palestine pada 1920. Setelah Mandat ini disahkan LBB, terjadilah imigrasi besar-besaran penduduk Yahudi ke Palestina. Ada 90.000 orang Yahudi yang melakukan imigrasi ke Palestina. Dan dalam suatu sumber, disinilah cikal bakal pembantaian Palestina oleh kaum Yahudi.
Tahun 1945, Perang Dunia II berakhir setelah sekian lama berkecamuk. Berakhirnya perang ini ternyata tidak memberikan nafas segar bagi rakyat Palestina. Berakhirnya perang ini justru menjadi malapetaka bagi Palestina. PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang lahir dari Perang Dunia II membuat Resolusi 181 (UN Partition Plan) pada tanggal 29 November 1947. Secara kasar Resolusi ini membagi wilayah Palestina: 55% untuk Yahudi dan 45% untuk rakyat Palestina. Tak sampai disitu, tanggal 14 Mei 1948, diproklamirkanlah kemerdekaan Israel. Hanya dalam hitungan jam saja, Uni Soviet dan Amerika mengakui negara yang baru lahir itu.
Sejak saat itulah, eksistensi Israel sebagai sebuah negara pun diakui dunia. Sejak itu pula, imigrasi Yahudi ke negara ini semakin bertambah pesat. Ada setengah juta orang Yahudi datang ke Israel antara 1948 dan 1950.
Kesimpulan
Dari sini jelaslah bahwa akar masalah Palestina adalah runtuhnya Khilafah setelah Perang Dunia 1. Setelah Perang ini, tanah Palestina direbut dan rakyatnya dibantai. Inilah akar masalah Palestina sesungguhnya.
Oleh karena itu, bila ketiadaan Khilafah adalah awal mimpi buruk Palestina, maka solusi total Palestina, tak lain adalah tegaknya kembali Khilafah. Inilah yang harus kita perjuangkan sekarang! Wallahu a’lam bish shawab. Selesai. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!