Rabu, 23 Jumadil Awwal 1446 H / 17 Januari 2018 20:55 wib
4.311 views
Menelusuri Polemik Zina dan LGBT di MK
Sahabat VOA-Islam...
Beberapa hari yang lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi terhadap sejumlah pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur soal kejahatan terhadap kesusilaan. Adapun tiga pasal yang digugat adalah Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292. Adapun gugatan ini diajukan oleh Guru Besar IPB Euis Sunarti bersama sejumlah pihak, yang mayoritas ibu-ibu pada 2016 lalu.
Dalam gugatannya terkait Pasal 284 KUHP, pemohon mengatakan cakupan seluruh arti kata "zina" hanya terbatas bila salah satu pasangan atau keduanya terikat dalam hubungan pernikahan. Padahal, pasangan yang tidak terikat pernikahan juga bisa dikatakan zina. Adapun untuk Pasal 285 KUHP, pemohon juga meminta perluasan makna perkosaan bukan hanya dilakukan pelaku terhadap wanita, tetapi juga kepada pria. Kemudian Pasal 292, pemohon meminta para pelaku seks menyimpang atau dalam hal ini LGBT, diminta jangan hanya dibatasi oleh orang dewasa.
Meski demikian, Hakim MK memandang, pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum. Walau ditolak, terjadi dissenting opinion. Empat hakim yang memiliki pendapat berbeda ialah Hakim Arief sang Ketua MK, Hakim Anwar Usman, Hakim Wahiduddin Adams, dan Hakim Aswanto. Ada sejumlah alasan pendapat mereka. (liputan6.com)
Pengamat Hukum Pidana, Mudzakir, mengkrtisi keputusan MK soal permohonan memperluas pasal perzinahan di KUHP. Dalam permohonan tersebut menyebutkan perilaku LGBT dan kumpul kebo agar bisa dipidana. Namun MK akhirnya menolak keputusan tersebut. "Keputusan MK ini bisa multi interpretasi, dan berujung menghadirkan polemik di masyarakat," kata Mudzakir (Republika.co.id, Kamis, 14/12).
Akar Masalah Merebaknya Zina dan LGBT
Banyak pihak termasuk para aktivis HAM yang mengatakan bahwa penyimpangan orientasi seksual merupakan suatu hal yang alami, fitrah, atau bawaan genetik. Bahkan logika paling absurd untuk membela kaum homo ialah, bahwa kesemuanya itu adalah Hak Asasi Manusia, bahwa kesemuanya genetis adalah omong kosong. Homo bukanlah masalah genetik, dan tak akan pernah. Ia merupakan penyimpangan dari perilaku yang fitrah, dan bila dibiarkan akan menular serta menimbulkan kerusakan.
Dari segi biologis sudah jelas bahwa perilaku nista ini menjadi sumber penyakit dan penyebarannya, yang lebih utama ialah tidak mungkin keturunan bisa ada bila homo ini dipraktekkan. Karena itulah secara alamiah, namanya pasangan itu bebeda jenis kelamin. Sebab Allah ciptakan manusia dari jenis-jenis yang berbeda. Secara biologis, homo merusak fungsi biologis. Secara etika jelas menjijikan, dan secara agama jelas perilaku menyimpang dan tidak bermoral.
Kondisi ini diperparah dengan kondisi negara yang menganut sekularisme-kapitalisme, dimana urusan yang dianggap ranah privat tidak boleh dicampuri oleh negara, apalagi agama. Maka, bila ada pihak yang berteriak bahwa pelaku homo (termasuk juga zina), bisa jadi ia yang akan dihukumi. Dengan alas an tidak menghargai HAM, dan anti-pancasila. Padahal, pasal mana atau sila keberapa dalam pancasila yang membolehkan LGBT dan zina di negeri ini?
Di US, setelah homoseksual disahkan muncul banyak pasangan sejenis (Mom-Mom atau Dad-Dad) dan mehgadopsi anak setelah mereka bersama. Bisa dibayangkan, apa yang akan terjadi pada anaknya di kemudian hari. Islam di Indonesia ini mayoritas, lebih dari 85%. Para ulama pun sepakat bahwa homoseksual adalah perbuatan yang keji. Maka bila penguasa membiarkan hal ini, sama saja dengan memprovokasi ummat islam. Didukung oleh para liberalis sebagai promotornya.
Permohonan agar zina dan LGBT ini menjadi tindak kriminal juga justru menemui jalan buntu di MK, padahal hanya beda satu suara antara hakim yang menerima dengan menolak. Beginilah dalam sistem kapitalisme-sekularisme. Di satu sisi, suara manusia dijadikan sebagai sumber hukum, sedangkan hukum Allah SWT dikesampingkan.
Di sisi lain, MK dan DPR saling melempar tanggungjawab. MK mengatakan bahwa kasus ini bukan ranah kewenangan MK untuk mengambil keputusan. Ini juga menunjukkan ambiguitas sistem hukum secular dalam mensikapi fakta yang rusak. Para pelaku maksiat dibiarkan, sementara para ulama dan gerakan yang menyeru pada ketaatan justru dikriminalisasi bahkan dibubarkan.
Sistem sekularistik terbukti melegitimasi kerusakan atasnama kebebasan individu, sehigga tidak bisa diharapkan menjaga generasi dan membangun peradaban cemerlang di masa depan. Berbeda halnya dengan Islam, dalam Islam ada mekanisme yang jelas dalam menjaga manusia dari kerusakan. Berupa rajam dan cambuk bagi para pezina, serta hukum ta’zir bagi para pelaku homo.
Berupa dijatuhan dari bangunan paling tinggi, kemudian dilempari batu hingga meninggal. Maka, sudah saatnya kita tinggalkan sistem sekular yang rusak ini. Dan beralih pada sistem Islam yang dengan hukum-hukumnya yang terperinci mampu menyelamatkan generasi dari kerusakan. Wallahu a’lam. [syahid/voa-islam.com]
Kiriman Fida Hafiyyan Nudiya, S.Pt (Pembina dan Pemerhati Remaja DIY)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!