Rabu, 23 Jumadil Awwal 1446 H / 24 Januari 2018 14:52 wib
6.943 views
Refleksi 2017: Rezim Represif terhadap Gerakan dan Tokoh Kritis
Oleh: Yuyun Rumiwati
(Forum Muslimah Peduli Generasi dan Peradaban)
Ormas Kritis Dibungkan dengan Perppu Ormas
2017 menjadi saksi kebijakan rezim Jokowi represif terhadap gerakan dan tokoh kritis. Kebijakan yang diambil lebih mengedepankan kebijakan politik dari pada hukum. Hal ini nyata terlihat dari produk hukum yang dikeluarlan penguasa lewat dikeluarnya Perppu 2017 yang disyahkan 24 Oktober 2017 menjadi UU Ormas No. 2/ 2017 .
Padahal syarat yuridis berupa kegentingan tidak ditemukan sebagai syarat bolehnya perppu dibentuk. Belum terbukti syarat hukum perppu terpenuhi namun rezim telah bertindak mencabut badan hukum Ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada tanggal 19 Juli 2017. Menurut Wiranto MenKoPolhukam pembubaran HTI telah melalui pengkajian mendalam (Kompas. Com 19/7/2017).
Padahal menurut Ismail Yusanto HTI tidak pernah dipanggil pemerintah. Tindakan ini bukti nyata kebijakan politik rezim dalam tataran pelaksanaan lebih dominan berdasarkan politik bukan hukum. Karena syarat-syarat yuridis untuk pembubaran ormas yang harus ditempuh penguasa belum dijalankan. Mulai aspek panggilan, pembuktian kesalahan, pemberian surat peringatan. Hanya dengan asumsi sepihak yang menyatakan faham HTI bertentangan dengan Pancasila dan membahayakan NKRI. Secara sepihak melalui perpu ormas legalitas HTI dicabut.
Layaklah jika pengamat politik maupun praktisi hukum menyatakan bahwa keluarnya perppu tersebut cacat secara hukum. Namun lagi-lagi rezim melalui kebijakan politiknya lewat penentuan voting di DPR akhirnya UU ormas disyahkan. Dan itu lebih dulu disyahkan ketika Mahkamah Konstitusi masih menangani pengajuan uji materi (judicial reviw) perpu ormas yang diajukan HTI dengan kuasa hukum Prof. Yusril Izha Mahendra dan beberapa ormas lain. Dengan keputusan voting (jalur politik) dan disyahkannya perppu jadi UU. Secara otomatis objek hukum untuk menguji perppu hilang. Inilah bukti jelas kebijakan politik belaka.
Setelah pencabutan hukum HTI. Tidak selang lama diberlakukan pula pencabutan badan hukum perkumpulan Ikatan Alumni UI (ILUNI) yang diberlakukan mulai tanggal 15 Agustus 2017. Hal sama dialami sebagaimana HTI pencabutan tanpa ada konfirmasi dan pemanggilan dan pembuktian kesalahan.
Dua organisasi tersebut dikenal sebagai organisasi yang ktitis terhadap kebijakan dholim penguasa. Penguasa melihat kekritisan ini akan mbahayakan esistensi penguasa dalam masa kekuasaannya. Bahkan bisa berdampak pada kepercayaan rakyat untuk memilih di periode berikutnya.
Timbul pertanyaan kenapa kekritisan ormas lebih menakutkan penguasa? Padahal parpor atau tokoh parpol pun ada yang kritis terhadap pengusa?. Karena penguasa tahu bahwa pembungkaman kekritisan parpol dan tokoh parpol lebih mudah. Dengan jalan koalisi dan bagi-bagi kekuasaan lewat jabatan menteri. Parpol bisa menurun bahkan diam kekritisannya. Karena telah mendapatkan jatah kekuasaan.
Tentu ini berbeda dengan ormas. Ormas dengan posisi diluar lingkaran kekuasaan tidak mudah dibungkam dengan bagi-bagi kekuasaan. Tapi bisa diusahakan dengan jalan "stick and carrot".Yaitu siapa yang pro kebijakan penguasa akan diberikan fasilitas dana dan kemudahan beraktivitas dsb. Dan penguasa sadar betul ormas seperti HTI tidak bisa dibungkam dengan 2 jalur tadi. Maka satu-satunya cara yaitu melalui perppu untuk mencabut legalitasnya.
Kriminalisasi dan Persekusi Kepada Tokoh dan Ulama Kritis
Represif rezim pun tampak pada ketidakadilan kepada para tokoh dan ulama kritis terhadap kebijakkannya. Dengan alasan pencemaran nama baik terkait ceramah tentang PKI Alfian Tanjung menyatakan kader-kader PDIP 85 % PKI . Alkhirnya beliau pun dimejahijaukan, walau beliau siap buktikan bukti data dari ucapannya (Kompas.com 30/5/2017). Begitupun Jonru Ginting dipidanakan karena kritisnya di media sosial.
Namun, beda penanganan ketika ujaran kebencian dilakukan oleh tokoh dekat dan pro rezim. Misalnya Kasus Victor Laiskodat dari Partai Nasdem yang telah memprovokasi rakyat untuk saling bunuh " jika ketemu kelompok ekstrim maka bunuh dulu, sebelum dibunuh" (Compas. Com 4/8/2017).
Bahkan akhir-akhir ini kriminalisasi ulama alumni aksi 212 kerap terjadi
Mulai Habib Riziq, M. Al-Khothat, Bakhtiar Nashir. Dengan alasan yang tekesan dicari-cari walaupun tanpa bukti kuat.
Persukusi terhadap ulama yang kritis seperti Felix Siauw, Abdul Shomad ketika melakukan dakwah. Aparat terkesan mengamini dan membiarkan kelompok tertentu membubarkan pengajian dengan alasan mbahayakan NKRI dan anti pancasila. Lagi-lagi tuduhan tanpa bukti.
Saatnya Kembali Pada Hukum Yang Maha Adil
Melihat semakin maraknya ketidakadilan dan kedholiman rezim. Yang berusaha mempertahankan kekuasaan dengan segala cara. Di sisi lain makin membuka kesadaran umat khususnya umat Islam bahwa penguasa tidak lagi diposisi rakyat. Bahkan segala kebijakkan cenderung menyengsarakan rakyat. Mulai dari hutang yang menumpuk, melonjakbya harga barang. Bahkan garam melambung tinggi. Dan ini tidak pernah terjadu. Belum lagi kerusakan moral dan sosial dengan makin maraknya LGBT.
Sekaligus membuka kesadaran umat bahwa segala sumber kerusakan adalah diberlakukannya ideologi kapitalis sekuler dan sistem demokrasi di negeri ini. Yang tidak pernah memberikan tempat bagi solusi Islam. Sebagaimana yang disampaikan Ahmad Khozinuddin SH (Ketua Advokad Penjaga Islam) dalam forum Refleksi Akhir Tahun di Ponpen Hidayatulloh Surabaya 24/12/2017, sudah saatnya solusi ke depan perbaikan negeri tidak sebatas pergantian rezim/ pemimpin tapi juga perbaikan Sistem. Berkutat pada pergantian rezim sama dengan menjadi tumbal politik.
Yang tidak akan menyentuh pads solusi mendasar yaitu sistem yang bobrok kapitalis menjadi sistem Islam dalam naungan Khilafah. Sistem ini yang membawa keadilan bagi manusia karena bersumber dari sang pencipta yang Maha Adil. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!