Senin, 23 Jumadil Awwal 1446 H / 4 November 2019 07:59 wib
4.587 views
Menguji Integritas Kapolri Baru
Oleh:
Ainul Mizan*
FAHIRA Idris melaporkan Ade Armando ke polisi terkait postingan Ade di akun pribadinya. Di dalam postingannya, foto Anis Baswedan lengkap dengan pakaian dinasnya dibuat jadi joker dengan caption "Gubernur Jahat Berawal dari Menteri yang Dipecat" (https://www.beritaislam.org/2019/11/posting-foto-anies-jadi-joker-ade-armando-dipolisikan.html). Menurut Fahira idris, yang dilakukan Ade sudah melanggar UU ITE tentang ujaran kebencian dan pencemaran nama baik.
Tentunya laporan Fahira Idris ini menjadi batu ujian bagi Kapolri yang baru dilantik, yaitu Idham Azis. Disebut sebagai batu ujian dikarenakan kasus - kasus serupa yang mengenai orang - orang yang berada di dekat kekuasaan tidak bisa diproses hukum.
Sebut saja kasus penistaan yang dilakukan oleh Sukmawati. Lewat sajaknya ia menghina adzan dan kerudung muslimah. Sukmawati mengatakan lebih merdu kidung dari adzan, lebih anggun konde daripada kerudung. Abu Janda yang menyatakan bahwa bendera tauhid sebagai bendera teroris di dalam vlognya. Denny Siregar yang menistakan lafadz takbir dalam kasus pengroyokan kepada salah satu jakmania hingga meninggal. Semuanya tidak ada yang diproses ke meja hijau.
Sedangkan Ade Armando sendiri, sebelumnya juga pernah dilaporkan ke polisi, tapi seperti menguap begitu saja. Di antaranya adalah kasus penistaan adzan dengan ucapannya bahwa adzan itu tidak suci. Termasuk pula penistaannya terhadap hadits Nabi saw. Ade Armando dengan lancang menyatakan bahwa hadits yang berisi hukuman mati bagi pelaku homoseksual sebagai legitimasi terciptanya masyarakat tidak beradab. Pernyataannya tersebut disampaikannya dalam pidato kebudayaan di Pisa Mahakam Kafe, Jaksel pada Jumat (1/4/2016) malam. Nasib pelaporan terhadap Ade tersebut juga menguap.
Bagi Kapolri baru, Idham Azis, kasus pelaporan Fahira idris terhadap Ade Armando ini merupakan kasus pertama terkait ujaran kebencian yang mengandung pencemaran nama baik. Menangani kasus seperti ini ibarat buah simalakama.
Pertama, Idham Aziz memilih sebagaimana masa sebelumnya yakni tidak memproses hukum Ade Armando.
Tentunya langkah seperti ini hanya akan mencoreng marwah lembaga kepolisian. Stigma negatif bahwa kepolisian telah menjadi alat kekuasaan semakin menguat. Keadilan hukum itu tidak ada. Hukum hanya tumpul kepada kawan dan golongan yang pro dengan kekuasaan termasuk para buzer politiknya. Berbeda lagi, hukum akan menjadi sangat tajam kepada kubu yang kritis terhadap kebijakan penguasa. Pencabutan BHP HTI, tidak dikeluarkannya SKT untuk FPI, kriminalisasi ulama seperti yang terjadi pada Habib Rizieq, Ust Felix Siauw, UAS, Habib Bahar dan lainnya. Ini sebagian contoh. Dengan kata lain, hukum digunakan untuk membungkan aktifitas mengoreksi kekuasaan.
Di samping itu, aksi radikal Ade Armando ini bisa dimaknai sebagai bentuk tekanan kepada Kapolri baru. Tekanan yang menegaskan bahwa kapolri masih berada dalam kepentingan politik kekuasaan. Kapolri baru diharapkan tetap dalam orbit untuk memerangi radikalisme. Jika tidak, ancaman reshuffle tidak bisa dielakkan lagi.
Kedua, Idham Azis memilih untuk memproses hukum Ade Armando terkait pelaporan foto joker Anis Baswedan.
Keputusan berani tersebut akan menjadi preseden positif terkait keberadaan dan fungsi dari lembaga kepolisian. Stigma negatif kepolisian hanya sebatas alat kekuasaan untuk membungkam suara kritis bisa menghilang. Lembaga kepolisian telah kembali kepada tracknya sebagai abdi utama nusa dan bangsa. Marwah kepolisian menjadi pulih di tengah masyarakat. Hukum telah menemukan keadilannya.
Memang demikianlah tugas kepolisian adalah menjaga keamanan di dalam negeri. Disebut keadaan aman bila tidak ada gangguan atas agama, harta benda, darah dan kehormatan orang lain. Kepada siapapun yang melanggar akan ditindak oleh kepolisian untuk dibawa ke pengadilan. Baik ia rakyat biasa maupun para pejabat dan kepala negara sendiri bisa dihadapkan di meja hijau bila tersandung kasus hukum.
Adalah Al Qadhiy Ubay bin Kaab pernah menyidang Kholifah Umar bin Khotthob ra dalam pelebaran area Masjid Harom. Begitu pula, Al Qadhiy Syuraih pernah menyidang Kholifah Ali bin Abi Tholib ra dalam kasus baju zhiroh dengan seorang Yahudi.
Waktu itu Kholifah Ali ra menuduh orang yahudi tersebut mengambil baju dziroh beliau. Akan tetapi argumentasi hukum beliau lemah, dimenangkanlah orang Yahudi tersebut. Si Yahudi merasakan keadilan hukum Islam lalu ia masuk Islam. Dari kisah ini terlihat bahwa tidak ada yang kebal di mata hukum.
Jadi keputusan apapun yang diambil oleh Kapolri baru, tentunya ia mempertaruhkan kredibilitas dari lembaga kepolisian yang dipimpinnya. Seharusnya suara keadilan hukum harus selalu ditegakkan bila label sebagai "Negara Hukum" tidak ingin berganti label menjadi "Negara Kekuasaan". Sebuah negara yang dikendalikan oleh oligarki kekuasaan.* Penulis tinggal di Malang, Jawa Timur
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!