Diusulkan oleh partai sayap kanan Likud, undang-undang "bangsa Yahudi" itu disahkan pada pembacaan pertama dengan dukungan 64-50 suara.
RUU itu harus disetujui dalam pembacaan kedua dan ketiga sebelum resmi menjadi undang-undang, lapor Worldbulletin.
Rancangan itu menganggap Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan Ibrani sebagai bahasa resmi.
RUU itui juga menyatakan bahwa sistem peradilan akan mendukung karakter Yahudi Israel ke karakter demokratisnya dalam kasus-kasus di mana keduanya bertentangan.
Anggota Knesset Avi Dichter, salah satu sponsor RUU, mengatakan rancangan itu untuk pertama kalinya, mengabadikan Israel sebagai "rumah nasional bagi orang-orang Yahudi."
Namun RUU tersebut mengundang badai kritik dari para legislator Arab, yang menggambarkan RUU itu sebagai "rasis".
"Rancangan undang-undang menyatakan bahwa ada dua jenis warga, orang Yahudi dengan hak penuh dan kelompok lain yang diizinkan untuk tinggal tetapi tanpa hak," kata anggota Knesset Arab Ahmad Tibi.
"Jika bukan rasisme, saya tidak tahu apa lagi harus disebut hal ini," katanya.
Anggota Knesset Haneen Zoabi, untuk bagiannya, mengatakan RUU itu membuktikan bahwa Knesset sendiri mengakui bahwa tidak ada kemungkinan realistis bagi negara Yahudi dan negara demokratis pada saat yang sama.
"Negara ini harus memilih, dan selama 70 tahun terakhir telah memilih untuk menjadi Yahudi daripada demokratis," kata Zoabi dalam sebuah pernyataan.
"Israel tidak dapat berbicara atas nama orang-orang Yahudi di dunia, atau atas nama rakyat di negara ini," ujarnya. "Israel hanya bisa berbicara atas nama Zionisme dan orientasi kolonial dan nilai-nilai rasisnya."
Selain orang Palestina di wilayah pendudukan Israel, ada sekitar 1,4 juta warga Arab di Israel.[fq/voa-islam.com]