Selasa, 10 Rajab 1447 H / 30 Desember 2025 06:34 wib
314 views
Siapakah Abu Ubaidah, Sosok yang Menebar Ketakutan di Hati Para Penjajah
Dari konferensi pers sederhana hingga menjadi salah satu wajah paling dikenal di media, juru bicara Brigade Izzuddin Al-Qassam Abu Ubaidah, yang nama aslinya adalah Hudzayfa Samir Abdullah al-Kahlout (Abu Ibrahim), menjelma legenda dengan membingkai ulang narasi media tentang perjuangan Palestina.
Dikenal di kalangan penutur bahasa Arab sebagai al-mulatsam—kata Arab yang berarti “yang bertopeng”—juru bicara Brigade Al-Qassam, Abu Ubaidah, telah menjadi figur legendaris di kalangan pendukung Palestina dan sumber ketakutan bagi Israel, tidak hanya dalam perang Gaza kali ini, tetapi juga dalam setiap operasi perlawanan Palestina terhadap pendudukan Israel.
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena mereka telah dizalimi. Dan sungguh, Allah Mahakuasa untuk menolong mereka,” (QS. Al-Hajj: 39). Itulah kata-kata pertama yang diucapkan Abu Ubaidah secara terbuka dalam sebuah pernyataan pers sederhana di Kamp Pengungsi Jabalia pada akhir September 2004. Meski topeng yang ia kenakan saat itu berbeda—berupa balaclava—suara Abu Obeida bergema kuat, baik di telinga para pendukung maupun penentang perjuangan Palestina.
Laporan menyebutkan bahwa saat pidato tersebut disampaikan, Abu Ubaidah baru berusia 18 tahun. Menurut Metras, ia hanya diminta membaca pernyataan lalu meninggalkan konferensi pers. Namun, meski hanya berlangsung beberapa menit, pidato itu mengubah namanya selamanya, menjadikannya identik dengan kemenangan Palestina dan kehancuran bagi rezim Israel.
Kegagalan Israel di Gaza: Kisah Lama yang Terulang
Pernyataan kala itu menyoroti kegagalan Israel dalam operasi militernya di Gaza utara, khususnya di Kamp Pengungsi Jabalia, di tengah pertempuran yang mengarah pada pembebasan Jalur Gaza dari pendudukan Israel.
“Pertempuran yang berlangsung adalah puncak kegagalan militer Israel, karena musuh memiliki kekuatan militer mematikan berupa jet tempur, tank, dan rudal, yang digunakan untuk membombardir warga sipil serta menargetkan perempuan dan anak-anak. Sementara Perlawanan yang gagah berani, yang tidak memiliki semua itu, justru menargetkan tentara dan penjajah,” ujar Abu Ubaidah.
Ia menambahkan bahwa Brigade Al-Qassam telah menewaskan sedikitnya tujuh tentara Israel dalam tiga hari pertempuran.
Sejak saat itu, Abu Ubaidah dengan cepat naik ke status legendaris, dikagumi para pendukung perlawanan terhadap pendudukan Israel lintas agama, mazhab, dan kebangsaan. Namun, baru pada 2007 ia secara resmi ditunjuk sebagai juru bicara Brigade Al-Qassam—setahun setelah ia mengumumkan operasi bersejarah penangkapan tentara Israel Gilad Shalit, yang ditahan selama lebih dari lima tahun.
Pidato-pidato awal tersebut menjadi cerminan gaya khas Abu Ubaidah di kemudian hari: menyampaikan kabar kerugian dan kegagalan Israel di Gaza melalui pernyataan berapi-api yang menyentuh hati para pendengarnya, melampaui batas bahasa.
Penopang Moral Perlawanan
Seiring setiap putaran konfrontasi dan setiap perang yang dilancarkan ke Gaza, popularitas Abu Ubaidah kian menanjak. Orang-orang dari berbagai latar belakang menantikan kemunculannya—tatapan matanya yang mengancam sekaligus menenangkan, tertutup kain kufiyah merah—untuk menyampaikan kabar yang dinantikan publik dan ditakuti Israel.
Selama bertahun-tahun, perhatian regional dan internasional terhadap Abu Ubaidah terus meluas, terutama pada Perang Al-Furqan 2008, ketika Israel melancarkan serangan besar-besaran ke Gaza hanya tiga tahun setelah wilayah itu dibebaskan. Meski jalur komunikasi terganggu secara masif, Abu Ubaidah tetap tampil konsisten, memberi pembaruan, melontarkan ancaman kepada pendudukan Israel, serta mengumumkan kerugian Israel sambil menegaskan bahwa kekuatan perlawanan tetap utuh.
Ia bukan hanya memberi semangat kepada publik di luar Gaza, tetapi juga kepada rakyat Gaza sendiri—menjadi mercusuar harapan di tengah gempuran hebat yang merenggut nyawa ribuan warga Palestina tanpa pandang bulu. Dengan sikap menantang, ia pernah menyatakan kepada Israel: “Gilad Shalit merindukan kalian,” sebagai sindiran atas upaya Israel menutupi korban dan kerugian akibat operasi perlawanan di wilayah Palestina yang diduduki.
Antara 2010 hingga 2014, Abu Ubaidah semakin sering tampil di media, dan setiap kemunculannya membuat popularitasnya melonjak tajam. Ia menjadi figur utama penolakan terhadap perundingan “perdamaian” dengan Israel, yang ia gambarkan sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan Palestina. Ia juga memperingatkan rencana Israel memperluas permukiman di Tepi Barat, yang pada gilirannya memperkuat posisi Al-Qassam sebagai penjamin pembebasan Palestina.
Pada 2014, dalam Perang Daun-daun yang Dimakan Ulat (معركة العصف المأكول), Abu Ubaidah kembali membuat pengumuman besar dengan menyatakan bahwa Al-Qassam telah menangkap seorang tentara Israel dari kawasan Al-Shujaiyya, simbol keteguhan Palestina. Tentara tersebut adalah Oron Shaul, yang ditangkap pada 21 Juli. Beberapa hari kemudian, pada 1 Agustus, Al-Qassam menangkap Hadar Goldin di dekat Rafah. Jenazah Shaul baru ditemukan kembali pada 2025, ketika pasukan Israel mengambilnya dalam invasi terbaru ke Gaza.
Peran Abu Ubaidah juga krusial pada 2020, saat ia meletakkan dasar bagi Perang Saif al-Quds 2021 dengan menegaskan bahwa rencana Israel memperluas pendudukan di Tepi Barat merupakan “deklarasi perang”. Pada Mei 2021, ia mengumumkan kabar yang membangkitkan kegembiraan pendukung Palestina: roket perlawanan menghantam seluruh kota besar Palestina yang diduduki, dan operasi semacam itu kini “semudah minum air” bagi Hamas. Ia juga menyatakan bahwa perlawanan meraih kemenangan dan menggambarkan Israel sebagai “musuh yang rapuh”.
Sosok yang Melepaskan Badai
Sebagai juru bicara militer, kecil kemungkinan Abu Ubaidah terlibat langsung dalam pelaksanaan Operasi Badai Al-Aqsa pada 7 Oktober. Namun, ia dengan tegas membela rakyat Gaza, menyatakan bahwa setiap serangan terhadap warga sipil akan dibalas secara setimpal terhadap pendudukan Israel, serta mengeluarkan ultimatum demi ultimatum untuk meringankan penderitaan warga Palestina di tengah genosida yang berlangsung.
Pekan demi pekan, bulan demi bulan, Abu Ubaidah—yang tampak semakin kurus akibat kelaparan di Gaza—tetap menjadi penopang moral rakyat Palestina dan Arab. Anak-anak pun menantikan kemunculannya di layar televisi, mengenakan pakaian militer serupa dan mengangkat jari telunjuk seperti dirinya, menirukan sosok yang telah menjadi idola bagi banyak orang.
Berkat anonimitasnya yang dijaga selama lebih dari dua dekade melalui kufiyah simbolik, Abu Ubaidah melampaui sosok personalnya dan menjelma menjadi sebuah gerakan. Ia menyuarakan pesan perjuangan kolektif dan berubah menjadi simbol budaya-politik pembebasan.
Selama bertahun-tahun, Abu Ubaidah mempertahankan nada dan irama bicara yang sama, menjadikannya merek perlawanan tersendiri. Ia menggunakan bahasa tegas yang sarat kosakata sastra dan Al-Qur’an, dipadu dengan diksi militer yang menebar ketakutan di hati musuh-musuh pembebasan.
Abu Ubaidah —seperti halnya pembebasan—menjadi keniscayaan. Harapan yang ia berikan kepada puluhan juta orang di seluruh dunia tak tertandingi. Namanya sejajar dengan simbol perjuangan Palestina lainnya: kufiyah, panah merah terbalik yang ikonik, dan AK-47. Ia sangat piawai membingkai pukulan telak terhadap rezim Israel.
Sosok yang Mengubah Wajah Media
Abu Ubaidah dijuluki “komandan media”, dan gelar itu dinilai layak. Ia secara profesional menyampaikan narasi yang tepat agar kemenangan perlawanan dapat terlihat oleh dunia, apa pun hasil di medan tempur.
Sosok bertopeng yang penuh misteri ini, meski identitasnya tetap tersembunyi, menjadi salah satu figur paling mudah dikenali di dunia. Pidato-pidatonya menguatkan rakyat yang menyaksikan saudara-saudara mereka dibantai, menjadikannya senjata melawan pendudukan Israel—lebih berbahaya daripada senjata apa pun dalam arsenal Hamas.
Sosok yang selalu menutup pernyataannya dengan kalimat, “Sesungguhnya jihad itu, kemenangan atau kesyahidan,” akhirnya meraih kehormatan tertinggi: kesyahidan yang lama ia dambakan. Ia menghabiskan seluruh hidup dewasanya untuk memastikan pesan dan tindakan perlawanan menggema ke seluruh dunia, memicu gelombang solidaritas pro-Palestina yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Meski tanggal kelahirannya belum diketahui, tanggal kesyahidannya akan tercatat dalam sejarah sebagai 30 Agustus 2025—setelah ia mengabdikan seluruh hidupnya demi perlawanan dan perjuangan yang membentuk identitas dirinya dan tanah airnya. (MYD/Ab)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!