Senin, 26 Jumadil Awwal 1446 H / 15 Agutus 2016 15:10 wib
4.956 views
Menjawab Berbagai Syubhat 'Pejuang Pimpinan Beda Agama' (Bagian-3)
Oleh: Zaqy Dafa (Peneliti Pemikiran Islam)
Kelima: Lafazh Auliya Bukan Berarti Pemimpin
Ini termasuk alasan yang paling sering digunakan untuk menolak larangan memilih pemimpin beda agama. Berangkat dari keterangan ulama tentang makna wali/auliya dalam Al-Quran, para pejuang pimpinan beda agama menggunakannya sebagai dalil untuk menyalahkan ulama yang melarang umat Islam memilih non-Muslim jadi pemimpinnya.
Kebanyakan ulama memang menafsirkan kata auliya dan derivasinya (wali, maula, dsb) sebagai teman dekat. Pakar tafsir Ibrahim al-Baqa’i menafsirkan kata auliya pada QS. Al-Nisa: 144 sebagai aqriba’ (teman-teman dekat) yang saling menolong dan mencintai. (al-Baqa’I, Nazhm al-Durar, juz 2 hlm. 287) Al-Khazin juga menjelaskan makna QS. Al-Maidah: 51 sebagai larangan kaum Muslimin menjadikan Yahudi dan Kristen sebagai anshar (penolong) dan a’wan (pembantu). (Alauddin al-Khazin, Lubab al-Ta’wil, juz 2 hlm. 297) Jalaluddin al-Suyuthi mengutip penafsiran Ibn Abbas terhadap QS. Ali Imran: 28 sebagai larangan bersikap lembut dengan kaum kafir dan menjadikan mereka sahabat karib dan menyisihkan kaum Muslimin. (Jalaluddin al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsur, juz 2 hlm. 306)
Akan tetapi, jika tafsir ini digunakan sebagai alasan menolak larangan kepemimpinan non-Muslim maka akan bermasalah dalam beberapa hal. Pertama, jika menjadikan non-Muslim sebagai sahabat karib dan teman setia saja tidak boleh, maka secara qiyas aulawi menjadikan mereka sebagai pemimpin umat Islam malah lebih keras ketidakbolehannya. Pasalnya kepemimpinan merupakan kedudukan penting untuk mengatur dan melaksanakan berbagai hajat dan aspirasi umat Islam secara kolektif, tidak hanya personal.
Kedua, meskipun kata auliya dalam ayat-ayat diatas tidak bermakna pemimpin, bukan berarti hal tersebut menafikan larangan memilih pemimpin non-Muslim. Pasalnya, memilih pimpinan non-Muslim merupakan larangan tersendiri yang tidak berhubungan dengan larangan ayat diatas. Pendapat ini disebutkan oleh Syaikh Haqi dalam kitab tafsirnya. (Haqi, Tafsir Haqi, juz 3 hlm. 271)
Ketiga, bagi yang mau meneliti literatur hukum Islam lebih detail maka akan dia temukan bahwa banyak sekali hukum-hukum Islam yang terpengaruh oleh larangan Muslim menjadikan non-Muslim sebagai auliya atau sahabat karib. Contoh, Muslim dan non-Muslim tidak dapat saling mewarisi dan diwarisi satu sama lain karena alasan tidak ada muwalah (tolong-menolong) diantara mereka. (Zakaria al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz 13 hlm. 263) Non-Muslim tidak boleh menikah dengan wanita Muslimah atau sebaliknya karena alasan tidak ada muwalah. (Asna al-Mathalib, juz 13 hlm. 263) Muslim tidak boleh khidmah (menjadi pelayan) non-Muslim dalam berbisnis. (Sulaiman Jamal, al-Hasyiyah ‘ala Syarh al-Manhaj, juz 3 hlm. 456) Non-Muslim tidak boleh diberi kesempatan untuk mempekerjakan Muslim untuk melayaninya. (al-Qalyubi, al-Hasyiyah ‘ala Syarh al-Minhaj, juz 3 hlm. 79) Non-Muslim tidak boleh menyewa Muslim untuk membangun gereja. (Ibn Hajar al-Haitami, Nihayah al-Muhtaj, juz 5 hlm. 274).
Juga tidak boleh non-Muslim menyewa Muslim sebagai cleaning service baginya. (Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, juz 4 hlm. 232) Jika dalam hal-hal yang lingkupnya personal dan bisnis saja umat Islam diberi batasan hukum yang begitu ketat agar tidak menjadikan non-Muslim sebagai auliya, apalagi dalam masalah memilih pemimpin umat merupakan masalah yang lebih penting dan lebih besar.
Dari beberapa argumen diatas, dapat dilihat bahwa menolak larangan memilih pemimpin non-Muslim hanya karena kata auliya dalam Al-Quran tidak bermakna pemimpin merupakan alasan absurd dan tidak teliti dalam memahami ibarat-ibarat ulama.
Keenam: Non-Muslim yang Tidak Memusuhi Boleh Menjadi Teman Setia Muslim
Para pejuang pimpinan beda agama mengambil argumen pernyataan diatas dari keterangan beberapa ulama kontemporer dalam masalah ini. Misalnya mereka mengutip keterangan Syaikh Ahmad Musthafa al-Maraghi: “Orang-orang Islam dilarang mengambil orang-orang non-Muslim, seperti orang-orang Yahudi dan orang-orang Munafik sebagai pemimpin atau teman setia, bila mereka memiliki sifat-sifat seperti yang ditentukan dalam ayat tersebut, yaitu:
- Tidak segan-segan merusakkan dan mencelakakan urusan orang-orang Islam
- Menginginkan urusan agama dan urusan dunia orang-orang Islam dalam kesulitan yang besar
- Menampakkan kebencian kepada orang-orang Islam melalui mulut mereka yang terang-terangan.
Bila ternyata sikap mereka berubah, seperti orang-orang Yahudi yang pada permulaan Islam terkenal sebagai golongan yang paling memusuhi orang-orang Islam, kemudian mereka mengubah sikap dengan mendukung Islam dalam penaklukkan Andalusia. Juga seperti orang-orang Kristen Koptik yang membantu orang-orang Islam dalam menaklukkan Mesir dengan mengusir orang-orang Romawi yang menduduki lembah sungai Nil itu. Dalam keadaan seperti ini tidak dilarang mengambil mereka sebagai pemimpin atau teman setia.” (jokowipresiden2014.blogspot.com/kompasiana.com)
Dalam artikel lain dikutip keterangan Muhammad Rasyid Ridha: “Larangan berlaku pada kerjasama dan tolong-menolong dengan orang-orang kafir yang memerangi umat Islam. Adapun mengangkat non-Muslim dalam pemerintahan Islam sebagai pelayan/pemimpin (istikhdam adz-dzimmiyyin fi al-hukumah al-Islamiyyah) tidak termasuk dilarang, karena para sahabat dan dinasti-dinasti Islam di zaman Umayyah dan Abbasiyyah juga melakukan hal yang sama (lihat Rashed Ridha, Tafsir al-Manar, Beirut: Darul Ma’rifah, 1993 juz 5 hal. 472-73)” (muslimedianews.com)
Keterangan beberapa tokoh diatas sebenarnya sama sekali tidak bertentangan dengan larangan memilih non-Muslim sebagai pemimpin. Para ulama memang membolehkan mempekerjakan non-Muslim untuk melayani kaum Muslimin, akan tetapi juga sangat berhati-hati dalam menempatkan posisi mereka sehingga mereka tidak menguasai urusan-urusan kaum Muslimin (tauliyah umur al-Muslimin).
Contohnya, non-Muslim tidak boleh menjadi sa’i atau pembagi harta zakat karena merupakan salah satu wilayah (jabatan), dan al-Subki mengingkari pendapat yang tidak mensyaratkannya. Non-Muslim hanya boleh diperintah untuk mengambil sejumlah harta zakat dan memberikannya kepada mustahiq karena hal ini adalah istikhdamun mahdlun atau murni memerintah non-Muslim melayani Muslim. (Zakaria al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz 5 hlm. 239) Bahkan non-Muslim tidak boleh khidmah li al-umara (menjadi pelayan para pejabat) meskipun mereka rela melakukannya. (Syihabuddin al-Qalyubi, al-Hasyiyatani ‘ala Syarh al-Minhaj, juz 4 hlm. 236)
Melihat keterangan hukum yang sangat ketat diatas, maka sangat aneh dan janggal jika dalam kutipan artikel pejuang pimpinan beda agama diatas istilah “istikhdam” atau “melayani” dalam ibarat Rasyid Ridha dimaknai sebagai “mengangkat sebagai pemimpin”, juga sangat aneh jika istilah “teman setia” disamakan dengan “pemimpin”. Menurut kami, ungkapan semacam ini jelas merupakan pengeliruan istilah karena jelas tidak sama antara “melayani” dan “memimpin”, antara “teman setia” dan “pemimpin”. Pemimpin tidak sekedar mitra atau pelayan masyarakat, bahkan baik buruknya kebijakan dan pengaturan masyarakat sangat bergantung dengan figur pemimpin. Pengeliruan istilah ini merupakan kesalahan fatal yang dilakukan oleh pejuang pimpinan beda agama tersebut.
Kami tidak menafikan bahwa boleh kita umat Islam baik dengan tetangga kita yang non-Muslim, berteman dan beraktivitas bersama mereka, sharing dan berbagi cerita dengan mereka, bergotong royong bersama mereka dalam membangun kehidupan dunia yang lebih baik. Akan tetapi, jika sudah ada batasan-batasan hukum yang dijelaskan oleh para ulama kita, maka sudah kewajiban kita untuk tidak melanggarnya apalagi sampai ngoyo-ngoyo mencari dalil dan alasan untuk membenar-benarkan sesuatu yang salah. Marilah kita beragama yang sehat dan sesuai Syari’ah.
Ketujuh: Para Khalifah Islam Mengangkat Non-Muslim sebagai Pejabat Negara
Argumen ini sering digunakan oleh pejuang pimpinan beda agama, meski kebanyakan mereka tidak dapat menjelaskan secara detail apa yang terjadi sebenarnya. Diantaranya mereka menulis:
“Khalifah Umar sendiri membentuk orang-orang yang mengurusi dewannya dari orang-orang non-Muslim. Ketentuan ini dijalankan oleh pemerintahan Bani Abbas dan lain sebagainya dari kalangan Raja-raja Islam. Mereka mempercayakan jabatan-jabatan kenegaraan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani.” (jokowipresiden2014.blogspot.com/kompasiana.com)
Pernyataan seperti diatas sebenarnya bermasalah dari beberapa sisi. Pertama, mayoritas pejuang pimpinan beda agama hanya menukil pernyataan-pernyataan global seperti diatas tanpa memberikan keterangan detail tentang fenomena yang dia angkat dan referensi yang jelas dari literatur-literatur sejarah Islam, sehingga validitasnya tidak dapat dipertanggungjawabkan dan multi tafsir.
Kedua, dari beberapa keterangan ulama tentang keharaman mengangkat non-Muslim sebagai pemimpin yang telah lewat, maka data-data sejarah diatas - karena tidak ada kejelasan detail apa yang sebenarnya terjadi - semestinya ditafsirkan bahwa beberapa pemimpin Muslim tersebut mengangkat non-Muslim pada kedudukan yang tidak ada unsur tauliyah umur al-Muslimin (mengatur urusan umat Islam) dan murni istikhdam (melayani non-Muslim), sehingga kita husnuzzhan kebijakan mereka tidak melanggar Syari’ah, apalagi jika menyangkut kebijakan para umara dari kalangan shahabat dan tabi’in yang dikenal juga sebagai ulama yang mengerti luas tentang hukum-hukum Islam.
Ketiga, dari beberapa data sejarah yang ditemukan malah bertolak belakang dengan apa yang dikatakan pejuang pimpinan beda agama diatas. Khalifah Umar ketika bertanya kepada Harits bin Muawiyah tentang kondisi masyarakat Syam ia berpesan kepadanya, “Jika kalian duduk bersama dengan non-Muslim, makan dan minum bersama mereka, maka kalian tidak akan pernah menjadi baik sampai kalian meninggalkannya. Di lain waktu, ketika Abu Musa al-Asy’ari mengangkat sekretaris dari seorang Kristen, Khalifah Umar langsung menghardik Abu Musa dan menampar wajahnya seraya berkata, “Keluarkan dia dari sini!” lalu beliau membaca Firman Allah Ta’ala: “Wahai orang-orang beriman, jangan kalian menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia.” (QS. Al-Maidah: 51) (al-Kandahlawi, Hayah al-Shahabah, juz 4 hlm. 88)
Tidak hanya ini, khalifah Ali bin Abu Thalib juga menulis surat kepada gubernur Umar bin Maslamah yang isinya adalah peringatan kepadanya agar tidak mengangkat non-Muslim sebagai pejabat pemerintahan, lalu membaca Firman Allah QS. Al-Maidah: 51 dan QS. Ali Imran: 118. (al-Ya’qubi, al-Tarikh, juz 1 hlm. 189) Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga menulis peringatan yang sama kepada para gubernurnya. (Ibn Atsir, al-Kamil fi al-Tarikh, juz 2 hlm. 372) Khalifah Imaduddin Zanki juga memperingatkan ketika berdialog dengan Qadli Kamaluddin, “Musuh ini benar-benar berkuasa di berbagai negara. Jika mereka sampai merebut Halab maka tidak akan ada lagi Islam di tanah Syam. Bagaimanapun juga kaum Muslimin lebih berhak atas tanah Halab daripada kaum kafir.” (al-Daulah al-Zankiyyah, hlm. 187). Bersambung. [syahid/voa-islam.com]
Baca juga artikel:
1. Menjawab Berbagai Syubhat 'Pejuang Pimpinan Beda Agama' (Bagian-1)
2. Menjawab Berbagai Syubhat 'Pejuang Pimpinan Beda Agama' (Bagian-2)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!