Rabu, 26 Jumadil Awwal 1446 H / 24 Agutus 2016 13:50 wib
5.936 views
Tingginya Harga Obat: Kurangnya Campur Tangan Pemerintah Mengatur Industri Farmasi di Indonesia
Oleh: Niswah Silmi Fatimah
(Mahasiswi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya)
Manusia memiliki tiga kebutuhan pokok yang perlu dipenuhi untuk dapat bertahan hidup, yaitu sandang, pangan, dan papan. Selain itu, kebutuhan komunal juga perlu dipenuhi bila masyarakat menginginkan penghidupan yang layak. Kebutuhan komunal tersebut berupa kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Apabila membahas kesehatan, maka sangat erat kaitannya dengan pembahasan tentang biaya pengobatan serta kualitas pengobatan. Salah satu yang mempengaruhi tingginya biaya pengobatan ialah harga obat. Bukanlah hal yang asing, bila pasien yang telah berobat ke dokter atau rumah sakit akan mendapat resep untuk ditebus pada apotek terdekat.
Resep tersebut ditebus dengan obat yang akan membantu penyembuhan pasien, namun tak jarang harga obat yang terbilang cukup mahal untuk beberapa penyakit tertentu dapat mengurungkan niat pasien membeli obat yang diresepkan. Walaupun saat ini, pemerintah telah berusaha mengatasi permasalahan kesehatan dengan menghadirkan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) dengan menetapkan pembiayaan obat yang dibutuhkan, namun yang terjadi di lapangan adalah tidak semua obat yang dibutuhkan untuk penyakit tertentu dapat dibiayai oleh BPJS, terutama apabila biaya obat tersebut terlampau mahal. Maka pembiayaan obat akan dibebankan kepada pasien. Tingginya harga obat inilah yang turut menyumbang masalah kesehatan di Indonesia.
Tingginya harga obat saat ini, tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, tingginya angka impor bahan baku obat (BBO). Di Indonesia, industri farmasi sudah cukup banyak, yaitu sekitar 214-224 buah, terdiri dari empat BUMN, 24 multinasional, dan 186-196 swasta nasional. Namun dari sekian banyak industri farmasi tersebut, mayoritas cenderung bergerak di bidang industri formulasi atau pembuatan obat jadi, sehingga kebutuhan untuk impor BBO menjadi sangat tinggi. Saat ini, sekitar 90 persen BBO masih berasal dari luar negeri, 60 persennya berasal dari China. Ketidakmandirian di bidang produksi BBO merupakan salah satu faktor yang turut menentukan harga obat di pasaran nantinya.
Kedua, peran industri farmasi. Diberitakan oleh CNN Indonesia bulan September 2015, beberapa Harga Eceran Tertinggi (HET) produk obat paten dan generik bermerek masih diserahkan pada mekanisme pasar, dengan kata lain adalah industri farmasi, distributor, dan pengecer. Karena itulah tidak jarang dapat ditemui perbedaan harga obat yang cukup mencolok antara satu apotek dengan apotek yang lainnya, maupun harga obat di beberapa tempat yang berbeda. Untuk HET obat generik sudah ditetapkan oleh pemerintah. Lalu apa perbedaan antara obat generik, paten, dan generik bermerek? Obat generik adalah nama obat yang sama dengan zat aktif berkhasiat yang dikandungnya, obat inilah yang biasanya kita sebut sehari-hari sebagai Obat Generik Berlogo (OGB) dengan logo lingkaran hijau bergaris putih. Obat Paten adalah hak paten yang diberikan kepada industri farmasi pada obat yang baru saja ditemukan berdasarkan riset industri farmasi tersebut. Sedangkan obat generik bermerek adalah obat generik yang diberi nama atau merek dagang sesuai kehendak produsen obat.
Ketiga, persepsi masyarakat. Nah, perbedaan antara obat generik dan generik bermerek inilah yang sering membingungkan masyarakat. Masyarakat awam banyak yang menganggap bahwa OGB yang biasanya harganya murah karena sudah ditentukan HETnya oleh pemerintah adalah obat yang kurang manjur atau kurang berkhasiat apabila dibandingkan dengan obat generik bermerek yang harganya lebih mahal. Padahal, pada dasarnya tidak ada perbedaan kandungan bahan aktif diantara keduanya, bahkan kadangkala mutu, khasiat, manfaat, dan standar keamanannya pun sama. Namun, adanya promosi yang gencar dan mewah dari produsen obatnyalah yang membuat harganya lebih mahal, tak tanggung-tanggung, bahkan selisih harganya bisa mencapai lima puluh hingga dua ratus persen.
Keempat, peran dokter. Penggunaan obat pun turut melibatkan peran dokter sebagai perekomendasi obat. Dokter yang mengetahui obat mana yang cocok digunakan untuk pasien sesuai dengan karakteristik penyakit yang diderita. Berdasarkan data, obat-obatan dengan resep dokter berkontribusi sekitar 59 persen sementara obat bebas sekitar 41 persen dari keseluruhan pasar. Pengadaan obat-obatan generik pun juga dibatasi, data YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) menyatakan bahwa obat generik di puskesmas mencapai 80-90 persen, rumah sakit pemerintah sebanyak 70 persen, dan rumah sakit swasta 40 persen. Tak jarang juga dikabarkan bahwa beberapa dokter dan pihak rumah sakit turut bekerja sama dengan industri farmasi dalam memasarkan produk obat tertentu. Beberapa praktik dokter kadangakala memberikan resep berupa obat generik bermerek. Hal yang demikian juga turut memberi kontribusi pada mahalnya harga obat di Indonesia. Obat yang dikeluarkan dengan harga yang terbilang murah, juga akan sulit bersaing karena dianggap kurang bermutu, dan hasilnya boleh jadi kenaikan harga bukan karena faktor proses produksi, namun karena proses promosi di masyarakat.
Lalu, bagaimana solusi terhadap keadaan ini? Dalam bidang pengadaan bahan baku, sebenarnya pemerintah sudah memiliki program yang cukup baik, pada Era 1974, pemerintah mengeluarkan regulasi yang menugaskan industri farmasi setelah lima tahun beroperasi wajib memiliki pabrik bahan baku obat, dan pemerintah baru merealisasikan pada 1998, namun krisis moneter yang kemudian melanda negeri ini mengacaukan realisasinya. Pemerintah saat ini perlu untuk menerapkan hal yang demikian. Perkara mahalnya biaya investasi di pabrik bahan baku obat yang dikabarkan mencapai Rp 300 miliar tersebut, maka pemerintah memiliki kewajiban untuk turut membantu. Sudah seharusnya pemerintah memiliki peran dalam mewujudkan kesejahterahan masyarakatnya yang dalam bidang ini ialah mengupayakan keterjangkauan harga obat serta stabilisasi industri farmasi dalam negeri. Selain itu, pemerintah juga perlu memberi perhatian lebih pada riset farmasi yang juga menjadi pokok pengembangan industri farmasi.
Tentang HET, bahkan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) pun juga menyarankan agar HET semua produk obat yang beredar di pasaran bisa diatur oleh pemerintah. Pasalnya, KPPU juga mulai mengendus adanya praktik bisnis yang tak sehat di Industri farmasi nasional. Maka sudah selayaknya pemerintah turut bertindak, juga sangat disarankan agar pemerintah bekerja sama dengan tenaga kesehatan (termasuk dokter dan apoteker) untuk turut memahamkan masyarakat tentang perbedaan obat generik dan generik bermerek serta lebih bijak dalam merekomendasikan obat-obat yang akan diberikan untuk pasien. Dengan adanya perbaikan di berbagai sektor, harga obat di Indonesia bisa ditekan, dengan begitu kesehatan akan lebih mudah dijangkau semua kalangan. Wallah a’lam bi ash-shawab. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!