Kamis, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 15 Desember 2016 18:31 wib
4.695 views
Utophia Democracy
Oleh: Mahfud Abdullah
(Analis dari Pusat Kajin Data dan Analisis)
“Demokrasi, Inilah sistem yang hari ini dianggap oleh sebagian pihak dinilai sebagai sistem modern yang dijadikan sandaran oleh bangsa-bangsa secara kaffah sebagai metode termodern yang berhasil dicapai umat manusia di antara metode untuk melangsungan kehidupan politik, yaitu kehidupan masyarakat, negara, dan legislatif.
Tersebarnya dan diterapkannya sistem ini di seluruh negara di dunia, baik secara formalistik maupun riil, tidak lain adalah hasil dari dominasi peradaban barat kontemporer yang telah menyerang berbagai umat dan bangsa sejak dua abad lalu. Di antara umat yang diserang oleh peradaban tersebut dengan pemikiran-pemikiran dan sistem-sistemnya adalah dunia Islam termasuk negeri ini.” Papar Ustadz Umar Syarifudin – Lajnah Siyasiyah DPD HTI Jatim.
Doktrin dasar demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Ide ini diawali oleh Rousseau. Ide kedaulatan rakyat itu dilembagakan dalam sistem politik Demokrasi. Selama ini kaum muslim selalu disuguhi dengan berbagai opini opini sesat tentang demokrasi. Demokrasi di dajikan secara tidak fair oleh para penjaja demokrasi.Umat di paksa menelan mentah mentah ide sekaligus menerapkan demokrasi,tidak ada penawaran terlebih dahulu apakah umat mau memakai demokrasi atau tidak (sebuah prinsip demokrasi yang dilanggar demokrasi).
Suara Anda hanya alat bagi mereka untuk tawar-menawar politik dengan partai lain. Bahkan partai yang basis pemilihnya dari kalangan kaum Muslim akan menjual suara mereka kepada partai sekular. Mereka tidak ingat lagi dengan ucapan mereka sendiri, “Jangan golput karena nanti Parlemen akan dikuasai orang-orang sekular.” Sekarang mereka justru menyerahkan suara dan leher kaum Muslim kepada partai sekular. Rakyat pun dilupakan. Bahkan ketika ada rakyat yang menderita di ujung negeri, mereka malah sibuk mencari koalisi, bukan solusi.
Berbagai jurnal, tulisan ilmiah juga di produksi sebagai legitimasi intelektual sebagai pelengkap menu demokrasi agar meyakinkan dan menawan. Beberapa tulisan yang mengemuka, Mancur Olsen (Universiry of Meryland) power and properity (2000), Jan Firdmurc (2003), Campos (1997), Michael T.Rocks (2009). Seolah-olah barat sendiri mengamini demokrasi, ketika tdk ada pembanding, padahal ada banyak tulisan yang mengkritisi, diantaranya Christian Bjornkov (2010l, Sirowy dan Inkeles(1991), dan temuan itu semakin lama semakin berkembang, bertambah banyak.
Demokrasi dipoles sedemikian rupa agar menarik negara negara dunia ketiga khususnya Muslim. Jika tidak di terima maka pasti di paksakan, bisa melalui hard power dengan jalan invasi militer atau soft power dengan jalan negosiasi, agen/antek rezim(langsung maupun tdk langsung), dan ketergantungan ekonomi melalui privatisasi atau hutang luar negeri dengan berbagai syarat.
Demokrasi juga telah berkali-kali membohongi kita dengan janji kesejahteraan. Semua partai dan calon presiden dalam kampanye mereka selalu menjanjikan kesejahteraan jika mereka terpilih nanti. Namun, begitu mereka duduk di Parlemen atau menjadi penguasa, kesejahteraan yang mereka janjikan tinggal janji, tidak bisa mereka realisasikan
Demokrasi juga telah berkali-kali membohongi kita dengan janji kesejahteraan. Semua partai dan calon presiden dalam kampanye mereka selalu menjanjikan kesejahteraan jika mereka terpilih nanti. Namun, begitu mereka duduk di Parlemen atau menjadi penguasa, kesejahteraan yang mereka janjikan tinggal janji, tidak bisa mereka realisasikan. Bahkan kebijakan mereka justru menyebabkan rakyat semakin menderita seperti: Kenaikan harga BBM; Liberalisasi Hulu dan Hilir Migas, UU Minerba, UU Sumber Daya Air; Liberalisasi Kesehatan dengan JKN-nya; dan lain-lain.
Jargon demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” hanya sebatas jargon kosong. Faktanya, sebagaimana diketahui oleh umum, partisipasi dalam demokrasi membutuhkan dana besar. Dalam konteks inilah politisi kemudian membutuhkan kucuran dana segar dari kelompok bisnis. Kolaborasi penguasa dan pengusaha akhirnya menjadi pilar penting dalam sistem demokrasi.
Bantuan para pengusaha tentu punya maksud tertentu. Paling tidak, untuk menjamin keberlangsungan bisnisnya; bisa juga demi mendapatkan proyek dari Pemerintah. Akibatnya, penguasa didikte oleh pengusaha. Walhasil, sistem demokrasi kemudian melahirkan negara yang dikontrol oleh korporasi. Ciri utama negara korporasi adalah lebih melayani kepentingan pengusaha (bisnis) daripada rakyat. Dominasi korporasi terhadap negara semakin menggurita setelah korporasi multinasional turut bermain. Korporasi multinasional turut menentukan siapa yang menjadi pemimpin sebuah negara dan apa kebijakan negara tersebut. Korporasi multinasional melalui berbagai institusi, baik negara kapitalis maupun organ-organ internasional seperti PBB, IMF dan Bank Dunia, mendikte dan sangat memengaruhi kebijakan sebuah negara.
Negara korporasi tak ubahnya perusahaan yang hanya memikirkan keuntungan. Rakyat pun diposisikan layaknya konsumen dan negara sebagai penjual. Dalam negara korporasi, subsidi terhadap rakyat, yang sebenarnya merupakan hak rakyat, dianggap pemborosan. Aset-aset negara yang sejatinya milik rakyat pun dijual. Itulah negara korporasi, yang tidak bisa dilepaskan dari sistem pemerintahannya: demokrasi.Dengan demikian negara korporasi telah mengubah demokrasi menjadi: “dari korporasi, oleh korporasi dan untuk korporasi”.
Konsep kedaulatan rakyat ini senyatanya ilusif dan berbahaya bagi rakyat sendiri. Ilusif sebab rakyat beranggapan, dan dimanipulasi supaya tetap beranggapan, kedaulatan milik mereka. Faktanya kedaulatan ada di tangan para anggota parlemen. Kedaulatan rakyat disederhanakan begitu rupa menjadi sekadar kedaulatan parlemen atau kedaulatan anggota parlemen. Sebab, merekalah yang riilnya menetapkan UU dan hukum, bukan rakyat.
Bahkan anggota parlemen nyatanya tidak berdaulat, tetapi harus nurut pendapat partai. Jadilah, yang menentukan adalah elit partai. Pada akhirnya merekalah yang berdaulat, bukan anggota parlemen apalagi rakyat. Lebih dari itu, dalam demokrasi sarat modal. Para politisi dan parpol butuh dana besar untuk menjalankan proses politik. Dana itu sebagian kecil dari kantong sendiri dan sebagian besarnya dari para pemilik modal. Maka para pemilik modal itulah yang menjadi pihak paling berpengaruh dan paling berdaulat. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!