Jum'at, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 24 Maret 2017 08:01 wib
5.096 views
Kontraproduktif Pendidikan Anti Korupsi
Oleh: Hana S Muti (Analis di Muslimah Voice)
Korupsi makin menggila. Jumlah kasus korupsi tiapa tahun terus meningkat. Dari elit politik kelas atas yang korupsi triliunan rupiah sampai ke pelosok daerah oleh oknum bupati, camat dan perangkat desa. Kabupaten saya sendiri, Nganjuk, Bupatinya juga telah diurus KPK dan kini berstatus tersangka.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa di negara kita ini korupsi sudah membudaya. Parahnya, bahkan anak-anak pun telah mulaimelakukan korupsi. Dialami oleh anak saya sendiri, yang masih duduk di bangku SMP, yaitu, uang kas kelasnya telah digunakan untuk kepentingan pribadi oleh bendahara kelas. Dan di sekolah tempat saya mengajar pun saat ini tengah terjadi kasus, di mana anak yang dipercaya teman-temannya untuk memegang uang yang untuk membeli kaos kelas, ternyata malah membelanjakannya untuk kepentingan pribadi.
Dan anak-anak yang menggunakan uang kelas untuk pribadi ini ternyata membelanjakannya demi membeli alat-alat kosmetik dan barang-barang hedonistik lainnya. Di samping itu tak terhitung jumlah kasus pada anak-anak yang bermasalah, degan bolos sambil menipu orangtuanya, minta uang dengan alasan untuk keperluan sekolah, ternyata mereka gunakan untuk membeli rokok , jajan dan barang-barang hedonis lainya. Sungguh memprihatinkan. Budaya korupsi di negara mayoritas muslim terbesar di dunia. Apa yang salah? Sebenarnya apa penyebab orang melakukan korupsi?
Menurut Dr. Sarlito W. Sarwono, faktor penyebab seorang melakukan tindakan korupsi yaitu: faktor dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak, dan sebagainya) dan faktor rangsangan dari luar (misalnya dorongan dari teman-teman, kesempatan, kurang kontral dan sebagainya).
1. Jika ditinjau dari faktor penyebab korupsi dari dalam diri sendiri, dalam kaitannya dengan pendidikan, Indonesia adalah negara beragama, yang juga mewajibkan pendidikan agama di sekolah. Bahkan sekolah kita sudah menerapkan kurikulum berkarakter.Seharusnya dengan pendidikan bertahun tahun di sekolah seseorang telah dapat memiliki karakter, iman dan moral kuat yang bisa mengendalikan diri untuk tidak korupsi. Namun nyatanya, pejabat pelaku korupsi hampir semuanya adalah orang orang yang berpendidikan, bahkan hingga jenjang yang paling tinggi. Dan pada kasus di sekolah saya, justru korupsi dilakukan oleh anak di sekolah. Berarti, mungkinkah ada yang salah dengan sistem pendidikan negara kita?
Tiar Anwar Bachtiar (Ketua Umum PP Pemuda Persis & Peneliti INSISTS), dalam makalahnya menyatakan,
“Sekolah-sekolah yang diselenggarakan di negeri ini sudah salah sejak akarnya, yaitu soal konsep dasar dan falsafah pendidikannya. Sekolah-sekolah di negeri ini, sekalipun telah memiliki aturan perundang-undangan yang merancang pendidikan sejak basis pemikiran dasarnya sampai masalah-masalah pelaksanaan teknisnya, yaitu UU No. 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan peraturan-peraturan turunannya, namun kelihatannya masih belum mencerminkan falsafah dan konsep pendidikan yang benar dan jelas.
Secara garis besar, dapat disimpulkan bahwa, sistem pendidikan di negara kita mengandung kekeliruan sistemik pada pondasi atau asas dasarnya. Sistem pendidikan Indonesia dibangun berlandaskan asas dasar sekularisme. Yaitu, pemisahan agama dengan kehidupan. Memang di sekolah masih ada pelajaran agama, namun porsinya sangat sedikit, dan hanya menjadi matapelajaran terpisah. Akhirnya agama hanya menjadi dogma, sebatas pengetahuan tentang keakhiratan, yang bahkan siswa bingung bagaimana hubungan agama dengan sains, ekonomi dan pelajaran lain.
Lalu bagaimana bisa mengharapkan siswa akan dapat menerapkan pelajaran agama dalam kehidupan duniawinya. Padahal jika kita bisa mengambil pelajaran dari sejarah peradaban dunia yang paling gemilang, yaitu masa kejayaan khilafah islam, seharusnya aturan agama, iman dan ketakwaan yang menjadi landasan sistem pendidikan dan segala aspek kehidupan. Sehingga akan terbentuk manusia yang berkarakter dan komprehensif dalam memahami ilmu, dan mampu menerapkannya.
2. Ditinjau dari faktor pendorong korupsi yang merupakan rangsangan dari luar, yaitu keluarga dan lingkungan.
Para orang tua juga “makan sekolah” sejak kecil. Pola pikir yang tertanam pada diri mereka dan juga diterapkan dalam sistem bernegara kita adalah asas sekularisme. Dari paham sekularisme lahir ideologi kapitalisme. Syaikh Taqiyuddin an Nabhani dalam Nidzamul Islam menyatakan bahwa, dalam ideologi kapitalisme makna kebahagiaan yang sejati adalah memperoleh sebesar-besarnya kesengangan yang bersifat jasmaniah (duniawi). Dengan pola pikir kapitalisme, para orang tua mengukur kesuksesan dan kebahagiaan dengan materi.
Bahkan mereka memotivasi anaknya untuk bersekolah juga demi sukses meraih pekerjaan, bisa kaya dan sebagainya. Bahkan tercontoh dalam perilaku yang terwujud nyata seperti menghormati orang kaya dan memandang rendah orang miskin. Sikap ini diperparah dengan gencarnya berbagai media menayangkan enaknya kehidupan glamor dan kuatnya pencitraan iklan yang makin membuat masyarakat larut dalam impian hedonisme dan semakin konsumtif.
Pendidikan dan Pencegahan Tindakan Korupsi
Sungguh disayangkan bahwa lembaga pendidikan pun menerapkan sistem kapitalisme dalam pembiayaan dan kurikulumnya. Hal ini, secara kasat mata dapat dilihat pada sekolah-sekolah yang memiliki kelas unggulan dan kelas regular. Kelas unggulan dengan segala fasilitasnya yang lengkap ,nyaman dengan pelayanan prima diperuntukkan bagi mereka yang dianggap pintar, dan tentunya dengan pembiayaan yang jauh lebih mahal dari kelas regular.
Sementara itu, kelas regular dengan fasilitas seadanya yang disediakan oleh negara dengan segala keterbatasan dan ketidaknyamanannya diperuntukkan bagi anak yang secara otak dan secara ekonomi dianggap “biasa-biasa” saja. Kesenjangan yang tampak nyata, atau bahkan bisa disebut diskriminasi antara si kaya dan si miskin. Sungguh, tak seorang pun yang ingin dipandang rendah atau diperlakukan tak adil karena miskin, atau tidak memiliki barang bermerk yang sedang ngetrend. Tak bisa dipungkiri ini dapat mendorong seseorang untuk melakukan korupsi.
Akhirnya, meskipun seseorang telah bersekolah tinggi-tinggi, dan meskipun kurikulum berganti ganti, telah diterapkan pendidikan karakter dan pendidikan anti korupsi, namun jika sistem pendidikan masih tetap berlandaskan asas sekularisme dengan ideologi kapitalisme, maka hampir mustahil bahwa korupsi akan dapat dicegah dan diberantas melalui jalur pendidikan. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!