Jum'at, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 26 Januari 2018 22:02 wib
7.660 views
Naluri dan Proses Berpikir
Oleh: Reni Safitri
Setiap makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT memiliki kekhasannya masing-masing. Begitupun manusia yang diberikan gharizah (naluri) dan kebutuhan jasmani. Maha Adil Allah yang menciptakan naluri dan kebutuhan manusia sepaket dengan akalnya. Yang dengannya manusia bebas memilih cara untuk pemenuhan dua kebutuhan tersebut. Tentunya dengan standar halal dan haram. Dengan ending pahala dan siksa.
Naluri yang terdapat pada diri manusia sendiri dibagi menjadi 3, diantaranya adalah naluri mempertahankan diri (gharizah baqo'), naluri melangsungkan keturunan (gharizah nau') dan naluri beragama (gharizah tadayyun). Berbeda dengan kebutuhan jasmani seperti rasa lapar dan haus, naluri yang tidak terpenuhi tidak akan menyebabkan kematian pada manusia. Namun, tidak terpenuhinya naluri dapat menyebabkan manusia menjadi gelisah.
Belakangan ini, kebutuhan akan terpenuhinya naluri dan ketersediaan akal pada manusia malah membuat sebagian dari mereka meragukan adanya Tuhan, meragukan pula agama yang dianutnya sendiri sejak lahir. Ada yang merasa terpaksa ber-Islam karena memiliki orang tua yang beragama Islam. Ada pula yang meragukan peran Tuhan karena melihat sebagian manusia hidup teratur dan bahagia meski tidak menganut agama apapun.
Allah memang menciptakan naluri beragama pada manusia, tapi Allah tidak memaksa manusia untuk memeluk agama Islam. Oleh karena itu, Allah menciptakan akal agar manusia melakukan proses berpikir untuk menempuh jalan menuju iman.
Seperti halnya yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dalam pencarian Tuhan di kala kegelisahan yang begitu hebat melandanya. Di tengah-tengah umatnya yang melampiaskan naluri beragamanya terhadap penyembahan berhala. Sang Nabi menemukan Allah melalui proses berpikir dengan mengamati bintang yang perlahan menghilang saat siang datang, matahari yang besar namun tetap tenggelam saat malam tiba. Sang Nabi sadar, bahwa semua yang terekam oleh panca inderanya sangatlah terbatas dan Sang Nabi yakin segala hal yang terbatas bukanlah sesuatu yang layak disembah.
Adapun kisah seorang pemuda Persia pemeluk agama Majusi yang akhirnya pergi meninggalkan rumah. Ia bertekad untuk mencari agama yang benar. Ia berkelana ke negeri Syam, Mosul, Nasibin, Amuria Romawi hingga akhirnya tiba di Madinah dengan pengorbanan harta yang tidak sedikit. Bahkan rela menjadi korban penipuan lalu menjadi budak seorang Yahudi saat dalam perjalanan menuju Madinah. Pengorbanan yang begitu banyak tidak berarti saat ia bertemu dengan Rasulullah SAW, karena ia telah menemukan keyakinan yang dicarinya selama itu. Terlebih, naluri beragamanya saat itu telah terpenuhi dengan bertemunya Rasulullah SAW dan mengenal Allah SWT. Pemuda itu bernama Salman Al-Farisi.
Kisah kedua manusia hebat itu menunjukan bahwa naluri beragama tidak bisa dihilangkan. Bahkan umat Nabi Ibrahim yang tidak mempercayai Allah saja tetap menyembah berhala. Kisah kedua manusia hebat itu membuktikan bahwa keimanan yang kuat tidak hanya dicapai melalui perasaan hati saja, namun jalan menuju iman harus ditempuh dengan proses berpikir. Seperti yang Allah firmankan dalam surah al-Baqarah ayat 164 sebagai berikut :
Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Ia menghidupkan bumi sesudah matinya (kering) dan Ia menyebarkan di bumi itu segala jenis hewan dan pengisaran air dan awan yang dikendalikan antar langit dan bumi, terdapat tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir). [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!