Ahad, 26 Jumadil Awwal 1446 H / 11 Agutus 2019 12:56 wib
5.712 views
Kesabaran dalam Ketaatan
BULAN Dzulhijjah telah menyapa kita. Salah satu dari bulan haram yang ditetapkan Allah. Bulan yang memiliki banyak keutamaan. Nilai ibadah di dalamnya akan dilipatgandakan. Khususnya untuk sepuluh hari pertama.
Sebagaimana disebutkan dalam Hadits yang disampaikan Rasulullah SAW: "Tidak ada hari di mana amal saleh pada hari itu lebih dicintai Allah 'Azza wa Jalla daripada hari-hari ini (yakni 10 hari pertama Dzulhijah). Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, tidak juga jihad fi sabilillah?” Beliau menjawab, "Tidak juga jihad fi sabilillah kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa, raga, dan hartanya, kemudian tidak bersisa lagi." (HR Bukhari).
Mengapa hari-hari itu begitu istimewa? Karena di dalamnya terkumpul banyak ibadah utama, yang ibadah tersebut tak bisa dikerjakan di bulan lainnya. Setidaknya ada tiga ibadah besar yang dilaksanakan di awal Dzulhijjah ini, yakni puncak ibadah haji (wukuf di Padang Arafah), Hari Raya Idul Adha dan pelaksanaan ibadah qurban. Ibadah tersebut memberi banyak hikmah untuk kita. Hikmah yang paling utama adalah mengajarkan tentang kesabaran dan keikhlasan dalam ketaatan kepada Allah.
Ibadah haji merupakan bagian dari rukun Islam. Diwajibkan bagi muslim yang mampu melaksanakannya. Mampu secara fisik, finansial, maupun kondisi dirinya.
Salah satu makna yang terkandung dari pelaksanaan ibadah haji adalah tentang pengorbanan demi melaksanakan perintah Allah. Untuk melaksanakan haji, jamaah harus mengeluarkan uang yang tak sedikit. Kemudian melakukan perjalanan yang jauh dan melelahkan. Meninggalkan keluarga dan kampung halaman. Menghadapi kondisi yang kadang tak terduga. Namun semua dilakukan dengan keikhlasan, demi meraih keridhaan Allah.
Ibadah haji juga mengandung makna ketundukan dan kepatuhan terhadap aturan Allah. Para jamaah melaksanakan ritual ibadah sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah SAW. Tidak menambah, mengurangi, ataupun mengubah syariat tersebut. Misal, tak ada seorangpun yang berani menggeser tanggal pelaksanaan wukuf. Semua melaksanakan secara serentak di tanggal 9 Dzulhijjah. Tak ada yang protes. Pun begitu dengan tatacara thawaf, sa'i dan ritual ibadah haji yang lain.
Jika saat ibadah haji, kita bisa menerima aturan dan hukumnya apa adanya, tidak berani mengubahnya, lalu bagaimana dengan aturan Allah yang lainnya? Padahal perkara ibadah hanyalah salah satu bagian dari Syariat Islam.
Secara keseluruhan Islam meliputi tiga dimensi. Hubungan manusia dengan Pencipta, meliputi akidah dan ibadah. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri, meliputi masalah makanan, pakaian, dan akhlak. Hubungan manusia dengan sesama manusia yang meliputi masalah muamalah (kehidupan secara umum) juga masalah persanksian (hukum) dan pemerintahan.
Bukankah kita diperintahkan agar mengambil ajaran Islam secara sempurna, sebagaimana disebutkan dalam QS Al-Baqarah [2] : 208. Lantas Allah juga memerintahkan kita agar senantiasa berhukum dengan hukum-Nya, dan melarang berhukum dengan yang lainnya. Hal itu ditegaskan dalam banyak ayat Alquran, salah satunya QS Al-Maidah [5] : 49.
Maka patut kita renungkan, sudahkah kita melaksanakan perintah tersebut? Atau kita masih memilah-milah hukum, mengambil yang dianggap menguntungkan, lalu meninggalkan yang dianggap memberatkan? Padahal sikap seperti ini merupakan sikap yang tercela, dan tentunya harus ditinggalkan.
Selain ibadah haji, ibadah lain yang juga sarat dengan hikmah adalah ibadah qurban. Sebagaimana jamak diketahui, syariat qurban berawal dari peristiwa yang dialami Nabi Ibrahim dengan anaknya Ismail. Di mana kala itu Nabi Ibrahim diperintahkan Allah untuk menyembelih putra kesayangannya. Putra yang telah lama ditunggu kehadirannya. Di tengah kecintaan itulah Nabi Ibrahim diperintahkan Allah untuk mempersembahkan putranya.
Pilihan yang berat, menaati perintah Allah dengan mengorbankan putranya atau melindungi anaknya dengan mengabaikan perintah Allah. Di situlah ujian keimanan. Dan Nabi Ibrahim beserta anaknya telah memberikan contoh teladan kesabaran dalam ketaatan. Mereka rela mengorbankan apa yang paling dicintai demi memenuhi perintah Allah. Dan pengorbanan itu dibalas Allah dengan balasan yang terbaik pula.
Dalam konteks kekinian, ketaatan kita kepada Allah pun pasti akan menemui ujian. Apalagi dalam sistem sekularisme saat ini. Di mana banyak orang yang sudah mengabaikan aturan agama. Bahkan mereka yang berusaha taat dianggap terlalu fanatik, bahkan diberi cap radikal atau cap negatif lainnya.
Tak bisa dipungkiri, banyak orang yang terlena dengan dunia. Rela menempuh jalan apa saja demi mengumpulkan harta, meraih jabatan dan kekuasaan, memuaskan nafsu duniawinya. Dalam kondisi ini, orang yang taat justru menjadi terasingkan. Dan itulah ujian keimanan.
Maka marilah kita merenung, jika Nabi Ibrahim mampu mengorbankan anaknya demi ketaatan dan kecintaannya kepada Allah, Lalu bagaimana dengan kita? Sudah seberapa besar ketaatan kita kepada Allah? Sudahkah kita mengorbankan apa yang kita miliki demi meraih kecintaan Allah? Jika belum, maka inilah saatnya. Mumpung Allah masih memberi kesempatan hidup.
Mari bersama kita kembali kepada aturan Allah. Melaksanakan dan memperjuangkannya. Siap dengan segala konsekwensinya. Bersabar dan rela mengorbankan apa saja demi menjalankan ketaatan dan meraih keridhaan Allah. Dengannya, kita bisa meraih keberkahan hidup di dunia dan akhirat.*
Pahriati, S.Si
Guru di Tabalong, Kalimantan Selatan
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!