Ahad, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 15 September 2019 16:17 wib
5.202 views
Karhutla, Kesalahan yang Terus Dibiarkan?
SUASANA Bandara Syamsudin Noor diselimuti kabut asap pekat di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Rabu (11/9/2019 BANJARMASIN, iNews.id). Berdasarkan pernyataan otoritas Bandara Syamsudin Noor Banjarmasin, Selasa (10/9/2019) sebanyak tujuh penerbangan mengalami keterlambatan karena kabut asap kebakaran lahan. Kabut asap juga mengakibatkan jarak pandang hanya mencapai 200 meter hingga 400 meter.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi di delapan provinsi hingga pertengahan Juli 2019 luasnya mencapai 30.477 hektare. Pelaksana Harian Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat BNPB Agus Wibowo mengatakan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dilaporkan terjadi di Aceh, Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua Barat. "Provinsi yang mengalami karhutla terluas adalah Riau mencapai 27.683 hektare dan Kalimantan Barat mencapai 2.274 hektare," sebut Agus dalam konferensi pers di Graha BNPB, Rawamangun, Jakarta Timur, Senin (15/7/2019).
Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di musim kemarau selalu berulang setiap tahunnya. Setelah 2015 karhutla yang dahsyat terjadi, tahun ini karhutla kembali terjadi. Mengapa senantiasa berulang ? Padahal berbagai regulasi sudah diberlakukan untuk mencegah terjadinya pembakaran hutan dan lahan. Karhutla menjadi masalah berulang tiap tahun di negeri ini, tanpa terselesaikan.
Kebakarn hutan bisa karena faktor alam dan faktor manusia. Menurut rilis resmi yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Indonesia pada 4 Maret 2019, Penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia 99% adalah ulah manusia dan 1% nya adalah alam. Yang terbakar ini adalah lahan gambut yang dengan sengaja dibakar oleh manusia, seperti yang dikatakan oleh Peneliti gambut Universitas Riau, Haris Gunawan, mengungkapkan bahwa masalah kebakaran hutan dan lahan yang sudah terjadi puluhan tahun harus diselesaikan dari hulunya. Haris mengungkapkan, gambut di wilayah Sumatera dan Kalimantan kini mudah terbakar karena maraknya konversi lahan. Bentang alam gambut berubah. Area gambut dengan biodiversitas beragam dan basah disulap menjadi area perkebunan dengan satu jenis tanaman dan dikanalisasi untuk mendukung budidaya. Akibatnya, gambut kering dan mudah terbakar.kompas.com/2015/09/10/
Masalah kabut asap pun menjadi persoalan sistemik, melibatkan banyak pihak. Lahan gambut mudah sekali terbakar, dan ini karena kekeringan akibat tata kelola air di lahan gambut bermasalah. Telah ada 765 titik panas karhutla di tahun 2018. Kebakaran tersebut ternyata banyak terjadi di kawasan hutan industri dan perkebunan yang dikuasai oleh perusahaan swasta (antaranews.com, 28/08/2018). Hal ini menunjukkan bahwa Kapitalisasi oleh swasta pada hutan, khususnya di Kalimantan menjadi penyumbang rusaknya hutan. Padahal hutan berfungsi pula sebagai daerah tangkapan air. Akibatnya terjadi kekeringan dan kebakaran lahan saat kemarau datang. Kebakaran hebat menyebabkan asap yang banyak. Ini menimbulkan emisi gas rumah kaca juga makin besar. Meski bencana asap karhutla ini berusaha diatasi, namun belum membuahkan hasil. Sebab, oknum swasta masih memiliki kebebasan menguasai hutan dan membuka lahan. Regulasi penguasa pun masih minim dalam pengawasan dan sanksi. Karenanya, pelanggaran pun terus berulang.
Direktur Walhi Kalteng Dimas Hartono mengatakan pembakaran hutan ini sengaja dilakukan oknum, untuk membuka lahan yang selanjutnya dibuka perkebunan sawit. Dimas mengatakan perusahaan sawit diduga sengaja membakar hutan untuk membuka lahan, karena biayanya lebih murah. “Bahkan, dulu saya pernah dengar bahwa ketua BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) menyebutkan bahwa kebakaran di Indonesia rata-rata karena pembukaan lahan yang dilakukan oleh perusahaan,” ujar dia (idntimes.com).
Mengapa kebakaran hutan selalu jadi langganan kebakaran hutan dan lahan ini bisa terjadi karena rezim menggunakan ekonomi neoliberalisme dimana swasta dibolehkan untuk mengelola kekayaan negara dengan lebel investasi. Karena dalam sistem kapitalis muncullah manusia-manusia yang rakus tidak memperdulikan manusia yang lain dalam kehidupan ini, yang ada pada diri mereka adalah modal sedikit dan mendapatkan keuntungan sebesar besarnya tidak memperdulikan jalan yang dia lalui halal atau haram. Padahal dalam Alquran Allah berfirman
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar Ruum :14)
Iya ini lah kesalahan yang terus diulangi pemerintah saat ini menggunakan sistem ekonomi kapitalis yang membolehkan hutan (SDA) diberikan kepada asing maupun swasta. Yang berdampak salah satunya karhutla ini. Terus membiarkan hutan diberikan kepada swasta dengan sebebasnya tanpa pertanggung jawaban yang berarti. Tanpa sanksi yang tegas bagi pelaku pembakaran dan pemerintah tidak melakukan perbuatan “yang berarti” untuk mengatasi masalah yang terus berulang selama lima tahun ini.
Jika kita memperhatikan fenomena kebakaran hutan di sektor hulunya, kejadian itu berangkat dari kesalahan sistem kepemilikan yg memberikan Hak Pengusahaan Hutan, yg notabene milik umum (dlm perspektif ekonomi Islam), menjadi kepemilikan pribadi (swasta).
Keberadaan dan keberlanjutan hutan alam produksi tergantung dari ada atau tidaknya institusi pengelolanya. Hingga sekarang, pengelolaan hutan alam di kawasan lindung diserahkan ke pemda dan untuk hutan produksi alam diserahkan ke pihak swasta (HPH). menlhk.go.id
Hakikatnya hutan adalah milik Allah SWT yang diamanahkan pada manusia, untuk memelihara dan mengelolanya dengan sebaik-baiknya. Islam mengatur hutan (al-ghaabaat) terkategori kepemilikan umum (al-milkiyah al-ammah). Bukan milik individu atau negara. Ini berdasarkan hadits Rasulullah saw: “Kaum Muslim berserikat (sama-sama memiliki hak) dalam tiga hal: air, padang rumput dan api.” (HR Abu Dawud dan Ibn Majah).
Syariah memandang pengelolaan hutan hanya dilakukan oleh negara, bukan diserahkan pada pihak lain (swasta atau asing). Dan hasilnya mesti dikembalikan pada rakyat. Bisa dalam bentuk layanan publik seperti kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Negara akan memberikan sanksi (ta’zir) tegas terhadap pihak yang merusak hutan. Penguasa pun wajib memerhatikan pengelolaan alam. Agar terhindar dari dampak kerusakan ekosistem, apalagi sampai membahayakan manusia. Wallahua’lam.*
Fitriani, S.Sos
Staf Pengumpulan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Kabupaten Hulu Sungai Utara
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!