Kamis, 26 Jumadil Awwal 1446 H / 16 Januari 2020 22:42 wib
4.340 views
Korupsi Menggurita, Rakyat Sengsara
Oleh:
Ita Harmi, pengamat sosial
LAGI-LAGI terbongkarnya kasus korupsi kelas kakap kembali menguap ke permukaan. Kali ini sungguh ironis, virus korupsi di negeri ini sudah merambah sampai ke Komisi Pemilihan Umum Indonesia. Tertangkapnya Komisioner KPU dalam operasi tangkap tangan, Wahyu Setiawan dalam kasus suap penetapan anggota DPR, Harun Masiku dari PDIP, tak pelak juga menyeret Hasto Kristiyanto selaku sekjen partai banteng tersebut. Wahyu Setiawan dalam aksinya terbukti meminta uang senilai Rp 900 juta demi meloloskan kader PDIP sebagai anggota DPR periode 2019-2024. (TEMPO, 12/01/2020).
Tentu saja kasus ini mengejutkan seluruh rakyat di nusantara. Pasalnya yang dikelabui dalam hal ini adalah kepercayaan rakyat. Bagaimana bisa seseorang yang tidak terpilih oleh rakyat tiba-tiba bisa duduk sebagai wakil rakyat? Lalu untuk apa pemilu diadakan kalau pada akhirnya caleg yang tidak terpilih tetap melenggang ke Senayan? Rakyat mana yang diwakilinya?
Dalam waktu bersamaan, sederet kasus korupsi juga diangkat oleh KPK. Bukan kasus kelas teri, bahkan kasus korupsi yang ditangani mencapai angka triliyunan.
Ramai sebelum tertangkapnya Wahyu Setiawan, kasus korupsi juga terendus di beberapa titik Badan Usaha Milik Negara. Kasus penyuapan di Garuda Indonesia sebanyak 100 Miliar, proyek fiktif di Kemen PUPR sejumlah Rp 186 Miliar, kemudian disusul dengan merebaknya kasus korupsi Jiwasraya Rp 13,7 Triliun. Bahkan baru-baru ini juga menyeruak kasus korupsi Asabri senilai Rp 10 Triliun dan Pelindo sebesar Rp 6 Triliun.
Sepertinya rakyat Indonesia sudah sangat kenyang dengan korupsi yang menggurita di negerinya. Hal ini betul-betul sangat menyakiti hati rakyat tentunya. Para pejabat bukannya mengurus kepentingan rakyat, malah mereka secara berjamaah menikung uang rakyat demi ambisi pribadinya masing-masing. Padahal jika seluruh uang negara yang dikorupsi tersebut digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat, tidak menutup kemungkinan rakyat tidak akan semiskin dan sesengsara hari ini.
Korupsi juga seolah tak pernah hilang dari wajah nusantara sejak dilengserkannya Presiden kedua Indonesia. Dimana saat itu, sang presiden dituntut untuk mundur dari jabatannya oleh rakyat karena kasus serupa. Reformasi yang diteriakkan oleh para mahasiswa dan rakyat kala itu tidak mampu menjadi obat penyembuh atas keakutan virus korupsi di wilayah kedaulatan Indonesia raya.
Tentunya ada yang salah dari apa yang telah diterapkan oleh negara ini, sehingga tingkat korupsi tak mampu dicegah. KPK sebagai lembaga yang memerangi tindakan korupsi justru tampak makin kewalahan dalam menangangi setiap kasus yang diungkapnya. Sebab kasus-kasus tersebut menyeret pihak penguasa dan para elit koalisi pemerintah. Inilah yang membuat taring KPK semakin diuji ketajamannya. Ironis memang, pemerintah yang mendirikan lembaga anti korupsi, namun justru disisi lain pemerintah jugalah yang mayoritas sebagai pelaku korupsi.
Jika dilihat sejak tumbangnya orde baru, korupsi memang sudah menjadi penyakit bawaan dalam sistem kepemimpinan di negeri ini. Padahal reformasi yang digadang-gadang akan membuat Indonesia lebih sejahtera tanpa korupsi saat itu, hari ini tidak membuktikan apa-apa selain meningkatnya kasus korupsi tiap tahunnya. Dan untuk kesekian kalinya, sistem kepemimpinan atau regulasi NKRI yang diterapkan saat ini terbukti mandul untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa.
Inilah hasil dari sekulerisme dalam kepemimpinan. Disaat manusia bebas menentukan bentuk kehidupannya dan meminggirkan aturan langit dalam perbuatannya, disanalah lahir rasa tidak takut akan dosa. Sehingga manusia tidak pernah mengaitkan setiap perbuatannya, apakah ini dosa atau bernilai pahala disisi Penciptanya, yakni Allah Ta'ala. Segala cara menjadi halal untuk dilakukan asalkan kepentingan bisa terpenuhi. Na'udzubillah.
Hukuman dan sanksi yang diterapkan atas koruptor juga menjadi penyebab korupsi seolah tiada pernah henti. Lemahnya efek jera atas hukuman yang diberikan, membuat calon-calon pelaku korupsi berikutnya merasa tidak takut untuk melakukan hal yang sama. Hukuman yang hanya beberapa tahun saja tidak membuat para koruptor kapok. Toh nanti selama dipenjara mereka masih bisa menempati penjara dengan fasilitas layaknya hotel, atau sesekali bisa berjalan-jalan keluar kota sebagaimana yang terjadi pada sang koruptor pajak Gayus Tambunan.
Tidak halnya akan Islam. Kepemimpinan dalam Islam didasarkan atas ketaatan pada Allah Azza wa Jalla. Sebagaimana yang telah Allah pilihkan jalan bagi orang-orang beriman,
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An-Nisa' : 59).
Kalimat Allah Ta'ala diatas sangat jelas, bahwa yang hanya perlu ditaati oleh orang-orang yang beriman adalah Allah, kemudian Rasul sebagai penyampai wahyuNya, lalu ulil amri atau pemimpin diantara orang-orang beriman. Jika Rasul yang posisinya saja langsung berada dibawah Allah harus taat dengan apa yang ditetapkanNya, maka demikian pula dengan ulil amri. Seorang pemimpin harus taat dengan apa yang telah digariskan oleh Allah dan RasulNya. Kemudian jika terjadi perbedaan, maka kembalinya hanya kepada aturan Allah saja, yaitu Qur'an dan Sunnah. Tidak ada jalan lain selain dari itu, sebab yang demikian itu adalah lebih baik dan utama bagi orang-orang beriman.
Kepemimpinan yang lahir atas dasar taqwa pada Allah inilah yang akan membuat para ulil amri takut saat hendak berbuat maksiat. Mereka akan merasa diawasi oleh Allah yang Maha Melihat ketika mencurangi uang rakyat meskipun tak ada seorang rakyat pun yang melihat kemaksiatannya. Sebab Allah akan mengganjar setiap perbuatan baik ataupun buruk di kehidupan selanjutnya.
"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula." (QS. Az Zalzalah, 7-8).
Lebih dari itu, hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah Ta'ala bersifat jawabir dan jawazir. Jawabir berarti hukuman yang diberikan pada pelaku didunia, akan meringankan siksanya di akhirat kelak. Dosa si pelaku akan dihapus oleh Allah Ta'ala dan tidak akan dihisab lagi. Sedangkan jawazir, artinya hukum yang berlaku sebagai pencegah terulangnya kemaksiatan yang sama. Memangnya siapa yang masih berani membunuh misalnya, kalau hukumannya adalah si pembunuh dibunuh balik? Efek jera seperti inilah yang harus ada dalam sebuah hukuman atau sanksi, dengan tujuan agar calon-calon pelaku yang hendak berbuat kriminal berpikir ulang untuk melakukan aksinya. Bukankah ini adil?
Sebab itulah, pemberantasan korupsi seharusnya dimulai dari dasar. Kepemimpinan yang disandarkan pada ketaqwaan pada Allah Subhanahu wa Ta'ala akan mampu menciptakan suasana kondusif. Rakyat sejahtera karena mereka diurus sesuai dengan fithrahnya. Pemimpin mereka amanah dengan kepercayaan yang telah mereka berikan. Rakyat mana yang tidak menginginkan hal demikian? Walhasil, kembali pada Allah adalah solusi dari segala carut marut yang mewabah di negeri ini. Wallahu a'lam bishawab.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!