Rabu, 26 Jumadil Awwal 1446 H / 22 Januari 2020 17:59 wib
3.638 views
Moderasi Agama, Meng- cover Al Qur'an yang Tidak Kekinian
Oleh:
Nida Husnia
Mahasiswi IAIN Jember
PADA 9-10 Januari 2020 HMPS IAT (Ilmu Al Qur'an dn Tafsir) UNUJA (Univ. Nurul Jadid) telah mengadakan Muktamar Tafsir Nasional 2020 dengan tema : Qur'an and Hadits Values in Promoting Moderate Islam/ Nilai-nilai Qur'an dan Hadits dalam Mempromosikan Islam Wasathiyah. Muktamar ini telah menghasilkan kesepakatan ratusan peserta nya untuk mempromosikan Islam moderat yang salah satunya diwujudkan melalui ide metodologi penafsiran Al Qur'an, yakni Tafsir Maqoshidi.
Menurut Prof Mustaqim (Guru Besar Prodi IAT UIN SUKA Yogyakarta) tafsir Maqoshidi merupakan basis dari moderasi Islam. Karena, di satu sisi tafsir Maqshidi tetap menghargai teks, tetapi di sisi lain juga akan mengungkap makna di balik teks tersebut.
Sebelum membahas tentang tafsir Maqoshidi, ada beberapa hal yang perludikritisi pertama dalam tema Muktamar Tafsir ini dimana kata "moderate" di maknai "wasathiyah". Ayat dalam surat Al Baqarah yang berbicara tentang ummatan wasathon tidak kemudian bermaksud mendefinisikan Islam sebagai agama yang moderat berikut ummatnya.
Mengapa? Karena setelah potongan ayat وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًاterdapat lam ta'lil yang berarti menunjukkan bahwa kata wasath diperuntukkan tujuan tertentu, yakni menjadi saksi atas seluruh manusia لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ Maka ayat ini sesungguhnya menunjukkan makna bahwa muslim dijadikan ummat yang adil utk menjadi saksi bagi seluruh manusia bahwa ummat Islam telah menyampaikan risalah Islam.
Imam al-Qurthubi di Tafsir al-Qurthubi menjelaskan ayat tersebut: “Sebagaimana Ka’bah adalah wasath bumi, demikian pula Kami menjadikan kalian ummatan wasathan, artinya Kami jadikan kalian di bawah para nabi, di atas umat-umat lain. Wasath adalah al-‘adl (adil). Asalnya, yang paling terpuji dari sesuatu adalah awsath-nya.”
Al-Qurthubi juga menyatakan, “(Maknanya) bukan dari wasath yang merupakan pertengahan antara dua hal (dua kutub) dalam sesuatu.”
Jadi sangat tidak tepat apabila kita menyamakan sifat wasath dengn moderat yang sesungguhnya istilah moderate ini berasal dair sejarah perseteruan antara ahli agama dan politisi dalam Nashrani yang pada saat itu berdebat tentang pengaturan kehidupan masyarakat nya.
Selanjutnyatentang at-tafsir al-maqoshidi. At-tafsir al-maqoshidi adalah tafsir berbasis maqoshid as syari'ah (maslahat yang terdapat dalam syari'at) tafsir ini bertujuan untuk menafsirkan ayat-ayat berdasarkan maslahat yang terkandung didalamnya sehingga cenderung lentur penafsirannya, disesuaikan dengan tempat dan waktu, tidak sekaku tafsir bil ma'tsur (dengan periwayatan hadits dn pendapat ulama klasik) selain itu tujuan besarnya adalah untuk membendung pemikiran radikalisme yang tersebar akibat pemahaman akan tafsir Al Quran secara tekstual.
Konsep maqoshid as syari'ah ini diperkenalkan oleh ulama Ushul fiqh, as Syatibi, ia berpendapat bahwa syariat diturunkan untuk memberikan kemaslahatan di dunia maupun akhirat. Sehingga turunnya syariat itu didasarkan pada illat (sebab/motif penetapan hukum) untuk mewujudkan kemaslahatan.
Setiap syari'at yang turun memiliki latar belakang yang disebut illat, illat adalah السبب، یوجد الحكم بوجوده ، ویتخلف "sebab, yang keberadaannya membuat hukum itu ada dan sebaliknya (mu'jam lughah Al fuqohaa hal.240)
Syariat yg semata-mata didasarkan pada kemaslahatan saja akan menimbulkan penafsiran yang bermacam-macam bentuknya. Bahkan ketika menjadikan unsur maslahat itu sebagai illat hukum maka apabila kemaslahatan itu tidak terwujud, tidak terwujud pula hukumnya. Pdhl dlm syari'at, kemaslahatan itu kadang terwujud kadang tdk terwujud.
Misal dalam perkara zina, mengapa zina dilarang? Karena dapat merusak nasab, berarti maslahat dari haramnya zina adalah dapat mencegah dari rusaknya nasab atau garis keturunan. Namun hari ini kita temui fakta maraknya aktivitas zina, tetapi toh tidak menghasilkan keturunan. Karena dengan era perkembangan teknologi yang semakin canggih, diciptakan lah alat pengaman yang bermacam-macam. Sehingga ketika perzinaan ini tidak menghasilkan keturunan, berarti tidak berlaku maslahatnya maka hilang lah hukum haramnya.
Maqoshid as syari'ah yang dimaksud ini sebenarnya merupakan hikmah/natijah/bonus dari terselenggaranya syariat tersebut. Ia jelas bukan illat/motif yang mendasari adanya syariat tersebut. Hikmah dari sholat tahajjud adlh memperlancar segala urusan, namun lancarnya urusan bukan menjadi sebab sunnahnya sholat tahajjud. Karena bila kita hendak menghadapi ujian tanpa belajar, lalu sholat tahajud namun esok hari kita menghadapi ujian yang sulit dan tidak bisa menjawab, maka hilanglah syariat tahajjud dalam benak kita.
Oleh karena itu, tafsir maqoshidi ini sesungguhnya merupakan alat untuk mempermainkan syariat dan menafsirkan ulang Al Qur'an dengan asas maslahat. Bila syariat itu mendatangkan maslahat maka kita laksanakan, bila tidak, maka akan kita tinggalkan. Tafsir Al Quran semacam ini sengaja ditawarkan kepada kaum muslimin untuk memperkental kemoderatannya. Agar ummat tak usahlah hidup dengan ketundukan mutlak kepada Allah saja. Sebab toh syariat itu dapat disesuaikan dengan tempat dan zaman kita berada.
Upaya ini digencarkan oleh para cendekiawan, guru besar dibidang agama dan intelektual lainnya yang telah bersepakat dengn proyek deradikalisasi Barat. Tujuannya memang jelas untuk menjauhkan ummat dari pemahaman kaffah terhadap syariat Islamnya.
Upaya deradikalisasi ini bahkan telah berani membongkar pasang ketetapan syariat dengan bungkus inovasi tafsir yang modern. Seolah kita diberikan penawaran berupa kemudahan ber-syariat dalam era globalisasi ini melalui penafsiran Al Qur'an yang tidak tekstual, tidak kaku namun juga tidak liberal.
Hmmmm.... Bener nih ngga liberal?*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!