Selasa, 26 Jumadil Awwal 1446 H / 28 Januari 2020 08:28 wib
4.615 views
Bahaya di Balik Dewan Pengarah Pembangunan Ibu Kota Baru
Oleh:
Siti Aisyah
Koordinator Kepenulisan Komunitas Muslimah Menulis (KMM)
MENJADIKAN tiga tokoh asing seperti MBZ (ketua), Masayoshi Son (anggota) dan Tony Blair (anggota) sebagai dewan pengarah dalam proyek pembangunan ibu kota baru sangat berbahaya. Setidaknya akan semakin mengokohkan Indonesia sebagai negara korporatokrasi dan anti Islam kaffah.
Memang Presiden Jokowi mengatakan Putra Mahkota Abu Dhabi Mohamed bin Zayed (MBZ) diangkat karena mempunyai reputasi baik terkait membangun kota yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Sedangkan CEO SoftBank Masayoshi Son dipilih lantaran memiliki reputasi baik di bidang teknologi dan keuangan. Adapun mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blairdianggap memiliki pengalaman di bidang pemerintahan.
Tetapi pernyataan Jokowi tersebut tidak bisa menutupi fakta bahwa pengangkatan mereka dilakukan setelah MBZ memastikan negaranya sudah menyiapkan dana US$ 22,8 miliar untuk berinvestasi di Indonesia. Tak beda dengan MBZ, Masayoshi Son pun demikian. Melalui Menlu Jepang Motegi Totshimitshu, Softbank akan memberikan suntikan dana US$100 miliar untuk ibu kota baru.
Timbul pertanyaan, apakah pengangkatan mereka murni karena reputasi itu atau sebagai balas budi investasi? Tapi yang jelas, sekarang Cina punya mitra baru untuk sama-sama melakukan intervensi guna menancapkan gurita ekonominya terkait pembangunan ibu kota yang sebenarnya belum mendesak untuk dipindah. Apalagi Indonesia belum memiliki uang yang cukup untuk pemindahannya. Lantas mengapa harus buru-buru dipindah? Pakai investasi asing lagi!?
Dan lihat saja, meski pemerintah menyatakan tidak akan memberikan gaji kepada dewan pengarah karena mereka memiliki kekayaan yang besar, namun bakal menawarkan investasi di beberapa daerah kepada para tokoh tersebut. Proyek yang ditawarkan antara lain berada di Pulau Mori, Morowali, Sulawesi Tengah dan Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur.
Patut diduga, pembangunan ibu kota baru maupun investasi di Mori dan Labuan Bajo semata dilakukan untuk semakin mengokohkan Indonesia sebagai negara korporatokrasi. Yakni, negara yang fokus pembangunannya untuk membuka jalan lebar dan mulus kepada kepentingan bisnis asing tanpa peduli akan menguntungkan atau merugikan rakyat sendiri.
Anti Islam Kaffah
Lantas bagaimana dengan Tony Blair? Bila yang lain semakin menguatkan Indonesia sebagai negara korporatokrasi, kehadiran Tony Blair semakin mengukuhkan rezim Jokowi ini sebagai rezim anti Islam kaffah.
Siapa yang tak tahu sepak terjang Tony Blair ketika menjadi Perdana Menteri Inggris? Publik mesti masih ingat, dialah yang membawa Inggris terlibat menginvasi Irak bersama Amerika Serikat pada 2003. Invasi itu berujung pada Perang Irak dan pelengseran Presiden Saddam Hussein. Pemerintahan Saddam pun hancur-lebur dan ia dieksekusi pada Idul Adha 2006.
Bersama Presiden Amerika saat itu George W Bush, Tony Blair menginvasi Irak dengan tuduhan Saddam menyimpan senjata pembunuh massal. Tapi kemudian terbukti, senjata itu hanya isapan jempol belaka. Tapi yang pasti puluhan ribu nyawa kaum Muslimin Irak telah meregang nyawa akibat kejahatannya yang dilakukan bersama George W Bush. Dengan kata lain, Tony Blair bersama sekutunya itu adalah penjahat perang!
Dia pula yang memfitnah para pejuang Islam kaffah sebagai para teroris penganut ideologi setan (evil ideology) karena ciri-ciri yang disebutkan itu bukanlah ciri-ciri “teoris penganut ideologi setan” melainkan ciri-ciri kaum Muslimin yang anti penjajahan serta ingin tegaknya syariat Islam secara kaffah.
Seperti dilansir BBC News, pada 16 Juli 2005, Tony Blair memfitnah seperti ini: “para teroris penganut ideologi setan memiliki empat ciri yakni: antiIsrael, anti nilai-nilai Barat, inginmenerapkan syariah Islam danmempersatukan umat Islamdengan khilafah.”
Tapi anehnya kejahatanyang menelan puluhan ribu nyawa kaum Muslimin dan fitnah kejiTony Blair terhadap pejuang Islam kaffah tidak dijadikan pertimbangan rezim untuk menolaknya jadi dewan pengarah pembangunan ibu kota baru.
Apakah itu bukan masalah serius bagi rezim!?Apakah malah dianggap sebagai suatu prestasi!?Mengingat, rezim Jokowi memang dikenal sebagai rezim yang hobi mempersekusi dan mengkriminalisasi para aktivis Islam terutama kepada yang menyerukan kewajiban menegakkan khilafah.
Maka, siap-siaplah kita memiliki ibu kota baru yang indah dan megah yang diisi oleh rezim dengan berbagai kebijakannya yang semakin mementingkan para investor serta semakin represif terutama kepada para pendakwah Islam kaffah.Naudzubillahi min dzalik.[]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!