Selasa, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 11 Februari 2020 19:25 wib
2.940 views
Linta atau Penjajahan Budaya?
Oleh: M Rizal Fadillah (Pemerhati Politik)
Fadjroel Rachman juru bicara Presiden menyatakan bahwa menurut Konstitusi semua warga negara suku apapun bisa menjadi Presiden, termasuk Tionghoa. Diucapkan saat menghadiri perayaan Cap Go Meh di Padang Sumatera Barat kemarin.
Terhadap hal ini tanpa diungkapkan pun sebenarnya aturan memang mengatur demikian. Apalagi menggemborkan istilah pribumi yang sudah tak ada. Masalahnya adalah justru kekhawatiran keturunan China semakin dominan setelah sebelumnya di bidang ekonomi dan kini politik.
Amandemen UUD 1945 khususnya Pasal 6 yang mengubah status "orang Indonesia asli" adalah penyebab kekhawatiran. Di saat kehidupan bermasyarakat dibangun dengan budaya pragmatis dan transaksional maka dominasi ekonomi keturunan China menjadi telah masuk ke dalam fase "rawan politik".
Persoalannya bukan soal hak yang sama bagi semua warga negara akan tetapi praktek politik dominasi yang akan atau sedang terjadi. Fadjroel sembrono memahami ini.
Dari ekonomi menuju politik jembatannya adalah budaya. Budaya adalah bahasa komunikasi publik yang menjadi indikator tingkat penerimaan. Oleh karenanya bagi antisipasi terhadap peran dominan maka yang perlu ditingkatlan adalah kewaspadaan ekonomi, politik dan budaya itu sendiri. Cap Go Meh bisa menjadi pintu budaya.
Setelah Presiden Gus Dur dahulu membuka pintu lebar, maka budaya China bereskalasi. Kini dimana mana diadakan perayaan tahun baru imlek Cap Go Meh. Uniknya ucapan Fadjroel Rahman itu dikemukakan di tengah perayaan Cap Go Meh di Padang Sumatera Barat.
Kota yang dikenal ketat budaya. Di Banda Aceh juga Cap Go Meh dirayakan dengan lancar, aman, dan meriah padahal Aceh adalah daerah "syari'at Islam".
Di Magelang, Pontianak, Bekasi serta kota kota lain di Indonesia Cap Go Meh marak. Di Bogor menjadi "Street Festival". Bandung malah akan ada Festival Cap Go Lak yaitu Cap Go Meh campur campur. Mengambil momentum imlek. Hanya di Bandung ada demo di depan Balaikota menolak agenda Parade Lintas Budaya dan Agama. Wujud dari kekhawatiran campur aduk segala budaya dan agama.
Cap Go Meh bukan budaya asli Indonesia. Budaya China. Nuansa agamanya juga sebenarnya kental. Cap (sepuluh) Go (lima) Meh (malam) adalah hari ke 15 puncak ritual ibadah agama Konghucu. Setelah umat Konghucu beribadah menyembah dewa toa pek kong di kelenteng kelenteng atau vihara. Berdoa khusyuk untuk keselamatan dan kebahagiaan. Merayakan sukses ibadah di hari ke 15. Dewa Toa Pek Kong biasanya digotong di hari raya Cap Go Meh.
Kita bukan anti budaya termasuk lintas budaya. Tetapi jika seluruh Indonesia pada waktu yang sama dengan biaya yang mudah di dapat dari pengusaha mereka sendiri rutin mengadakan kirab, festival, parade atau apapun itu lalu menenggelamkan budaya asli bangsa Indonesia sendiri, maka ini sinyal terjadinya dominasi atau penjajahan budaya.
Mungkin sepertinya terlalu sederhana mempermasalahkan Cap Go Meh akan tetapi beberapa tahun ke depan tradisi ini akan tertanam di hati anak cucu bangsa seolah olah telah menjadi bagian dari budaya "asli" bangsa Indonesia. Bahkan dominan. Kita jangan hanya berfikir keadaan kini dan saat ini. Arah budaya bangsa ke depan harus jelas. Mesti disusun strategi kebudayaan yang berbasis nasionalisme bukan kolonialisme.
Indonesia mesti belajar dari pergeseran etnik, budaya, ekonomi, dan politik Singapura. Atau akankah Indonesia pun diarahkan untuk menjadi Singapura?
Para pemimpin harus bertanggungjawab. Negara ini adalah Indonesia bukan Indocina.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!