Selasa, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 18 Februari 2020 11:25 wib
4.294 views
DIY Darurat Klitih, Buah Liberalisme Pergaulan Remaja
Oleh:
Wahyu Utami, S.Pd
Praktisi dan Pemerhati Pendidikan
TINDAK penganiyaan remaja atau yang dikenal dengan sebutan klitih di wilayah DIY kembali ramai menjadi perbincangan di awal tahun 2020 ini. Bahkan pada hari senin, 3/2/2020 menjadi trending topic di twitter dengan tagar #DIYdaruratklitih#. Hal ini dipicu dengan 3 kejadian klitih yang menimpa sopir ojek online (ojol) dalam kurun waktu 1 pekan.
Geram dengan klitih yang merajalela, ratusan orang yang mengatasnamakan Forum Komunikasi Ormas dan Relawan (FKOR) Yogyakarta menggelar aksi di depan Mapolda DIY, senin, 3 Februari 2020 (m.harianjogja.com 3/2/2020). Komunitas Antar Ojek Online Yogyakarta juga mendesak aparat berwenang menindak tegas pelaku kejahatan jalanan karena sudah banyak ojol yang menjadi sasaran aksi tersebut saat bekerja pada malam hari (republika.co.id 3/2/2020).
Slogan “Yogyakarta Berhati Nyaman” tampaknya mulai memudar. Kota yang juga dikenal sebagai kota pelajar ini seolah sedang menampakkan potret dunia remaja dan pelajar sekarang. Bagaimana awal mula munculnya klitih di Yogyakarta, penyebab dan bagaimana cara tuntas Islam mengatasinya?
Awal Mula Munculnya Klitih di Yogyakarta
Klitih berarti melakukan aktivitas yang tidak jelas dan bersifat santai sambil mencari barang bekas di pasar klitikan Yogyakrta. Namun kini klitih telah mengalami pergeseran makna dan dipakai untuk menyebut aksi anak remaja yang melakukan tindakan melukai orang lain.
Budaya kekerasan yang dilakukan oleh pelajar di Yogyakarta sudah ada sejak era 1980-an dan 1990-an. Kekerasan yang dilakukan pelajar pada masa itu dilakukan oleh dua geng besar yang legendaris, yaitu QZRUH dan JOXZIN. Seiring berjalannya waktu, muncul istilah klitih untuk mengganti kata tawuran, setelah peristiwa pembacokan yang marak terjadi sepanjang 2011 sampai 2012. Klitih sempat redup sekitar tahun 2013, ketika kepolisian setempat mampu meredam aksi kekerasan yang dilakukan oleh kalangan pelajar ini hingga jauh berkurang. Namun istilah ini kembali populer setelah tahun 2014, saat korban kembali berjatuhan akibat klitih. Korban tidak hanya sesama pelajar, tapi juga mahasiswa dan masyarakat umum.
Berkat kerjasana masyarakat dan aparat kepolisian di tahun 2015, fenomena klitih dapat diredam. Namun di akhir tahun 2016, ekskalasi kekerasan kembali meningkat. Sepanjang 2017, total ada 51 kasus kekerasan yang melibatkan pelajar, 2018 terdapat 45 kasus sedangkan pada 2019 terdapat 35 kasus. Polda DIY juga melakukan pemetaan sedikitnya terdapat 29 SMA, 23 SMK, dan 2 madrasah yang dinilai memiliki kerawanan terhadap kasus kekerasan pelajar (tirto.id 6/2/2020). Tahun 2020 ini, hanya dalam kurun waktu 1 bulan Januari tercatat ada 5 kasus yang dikategorikan sebagai klitih yang akhirnya memicu munculnya tagar DIYdaruratklitih di twitter.
Dalam pandangan kriminolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Soeprapto klithih ibarat rumput yang tidak tuntas dibersihkan, saat hujan akan tumbuh lagi. Soeprapto juga menilai aksi kejahatan jalanan atau klithih di Yogyakarta bukan dilakukan tanpa didasari motif. Motifnya jelas ada. Untuk jati diri kelompok, pelampiasan kekecewaan atau ketidakpuasan menjalani hidup maupun rekrutman pimpinan atau anggota baru (kelompok), “kata Soeprapto (republika.co.id kamis 6/2).
Upaya Yang Dilakukan Pemerintah Untuk Mengatasi Klitih, Mampukah Menyelesaikn Problem Yang Ada?
Gubernur DIY, Sri Sultan HB IX mengatakan aksi klitih yang kembali marak di DIY akhir-akhir ini lebih disebabkan permasalahan anak di keluarga. Demi mengatasi masalah ini, berbagai solusi tengah dan akan dijalankan. Sultan HB IX telah mempersiapkan Peraturan Gubernur (pergub) yang akan menitikberatkan pada peran keluarga mendidik anak. Dalam Pergub ini nantinya Gubernur DIY akan mengatur bagaimana pembinaan bagi orang tua, termasuk apa yang bisadilakukan jika orang tua terpaksa meninggalkan anak.
Sementara itu, Polres seluruh kabupaten dan kota di DIY membuka aduan melalui hotline maupun aplikasi whatshap. Polresta Yogyakarta meminta masyarakat untuk menginformasikan kepada polisi jika menjumpai dugaan klitih atau kejahatan jalanan (tirto.id4/2/2020). Pemerintah kecamatanDepok, Sleman dijadikan sebagai pilot project pemanfaatan teknologi untuk menjaga situasi kamtibmas. Teknologi ini berupa sistem keamanan yang diakses melalui aplikasi dan terkoneksi dengan kantor polisi.
Hanya saja dalam beberapa pernyataan yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintah DIY, terkesan bahwa tujuan pemberantasan klithih ini lebih kepada pertimbangan aspek politis dan ekonomis. Maraknya klitih di Yogyakarta dikhawatirkan akan berdampak pada ekonomi masyarakat terutama sektor pariwisata. Orang jadi enggan berkunjung ke Yogyakarta, kata Kabid Humas Polda DIY Kombes Pol Yulianto. Dikhawatirkan juga jika tidak segera diatasi, tidak menutup kemungkinan problem ini akan mengancam kemananan DIY dan berpengaruh pada keinginan masyarakat menyekolahkan anaknya ke Yogyakarta (suara.jogja.id 23/1/2020).
Alih-alih memikirkan potret generasi masa depan, yang lebih dikedepankan dalam penuntasan masalah ini lebih kepada pertimbangan aspek ekonomi semata. Suatu hal yang wajar di dalam sistem kehidupan kapitalisme yang segala sesuatu diukur dengan materi.
Bahkan menurut Pakar Kedokteran Jiwa UGM, Carla Raymondalexas Machira, Pelajar yang terlibat klitih atau kejahatan jalanan sebaiknya tidak dikriminalisasi. Pasalnya, jika pelaku klitih dikriminalisasi dikhawatirkan akan memperparah aksi kriminal tersebut.. Menutup mata bahwa ini adalah kasus kriminal yang nyata dan pelakunya adalah preman alias pelaku kriminal jelas berbahaya. Alih-alih jera, rasa bersalah pun tiada. Dampaknya, aksi klitih terus marak. Jika demikian adanya, mampukah berbagai solusi pemerintah ini menyelesaikan kasus klitih di Yogyakarta?
Klitih, Buah Sistem Sekuler Liberal
Klitih merupakan cermin gaya hidup remaja dan pelajar masa kini yang bebas dan mudah melakukan kekerasan kepada orang lain. Sistem kehidupan sekuler liberal mempunyai andil besar atas problem ini.
Liberalisme adalah paham yang berasaskan pada 4 pilar kebebasan yaitu beragama, bertingkah laku, berpendapat dan kepemilikan. Paham ini disebarkan oleh negara-negara kapitalis barat sebagai racun yang sangat berbahaya bagi generasi. Paham liberal ini telah mencetak pelajar dan remaja sebagai budak dunia dan jauh dari agama. Standar kebahagiaan diukur dari kenikmatan duniawi termasuk kesenangan bisa menunjukkan eksistensi dirinya sekalipun itu dilakukan dengan cara melukai orang lain.
Hal ini semakin diperparah dengan pesatnya perkembangan teknologi yang membuat remaja sangat mudah berinteraksi dengan berbagai produk kapitalis yang mengumbar berbagai kekerasan baik dalam bentuk games, video mapun tayangan tidak mendidik lainnya. Akhirnya tumbuhlah generasi dalam balutan liberalisme yang melahirkan generasi problem makerbukan generasi problem solver. Remaja telah kehilangan potensi besarnya, lupa akan jati dirinya dan terjebak pada pusaran liberalisme.
Klitih sebagai problem akut remaja sejatinya menjadi indikator kegagalan pembagunan SDM yang dilandasi sekulerisme. Dalam sekulerisme, agama tak diberi ruang untuk terlibat jauh dalam kehidupan manusia. Pengadopsian sekulerisme sebagai landasan sistem pendidikan di negeri ini telah mencerabut ruh keimanan dalam diri pelajar. Pembelajaran ilmu umum tidak dipadukan dengan aspek agama. Pendidikan agama Islam diajarkan sebatas ranah ibadah ritual dengan metode pembelajaran transfer pengetahuan semata dalam waktu minimalis. Ketika makna agama disempitkan maka iman dan taqwa pun tak diizinkan mewarnai aktivitas di luar ibadah ritual termasuk pergaulan remaja. Wajar jika output pendidikan hanya menghasilkan pribadi cerdas akademik tapi serba bebas, liar, dan sulit diarahkan.
Solusi : Sistem Pendidikan Islam yang Terintegrasi dengan Sistem Politik Islam
Islam adalah agama yang sempurna dan menyeluruh. Islam telah mengatur bahwa negara adalah penanggungjawab utama yang berkewajiban menyelenggarakan pendidikan agar dapat mencetak generasi yang berkualitas. Negara harus mempunyai visi politik yang jelas, tinggi dan independen untuk dapat mewujudkan sistem pendidikan berkelas dunia yang minus dengan krisis sosial pelajar.
Visi politik ini dibangun berlandaskan ayat-ayat Ilahi yang dapat mengeluarkan manusia dari kegelapan dan kebodohan akibat kekufuran, keputusasaan, ketidakadilan menuju cahaya Islam dan keadilan serta mengangkat umat manusia di setiap bidang kehidupan.
Sistem pendidikan di dalam islam dibuat dalam bentuk yang integral/terpadu. Pendidikan tidak hanya terpusat pada satu aspek sekolah saja tapi juga memadukan unsur yang lain yaitu keluarga dan masyarakat.
Keluarga akan berperan sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Penanaman nilai-nilai aqidah dan keterikatan anak kepada hukum syara diawali dari pendidikan di dalam keluarga. Masyarakat menjadi benteng kedua yang akan menjaga generasi dengan menghidupkan amar ma’ruf nahi mungkar. Masyarakat akan menjalankan fungsi kontrol sosial dan memberikan lingkungan yang kondusif untuk mendukung pembentukan kepribadian generasi. Jika ketiga aspek ini telah terpadu dan bersinergi, maka tujuan pendidikan untuk mewujudkan generasi berkualitas akan bisa tercapai.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!