Kamis, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 6 Desember 2018 09:13 wib
8.326 views
The Power of 212; Sebuah Pesan Buat Istana
Tony Rosyid
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
Tak terduga! Peserta Reuni 212 membludak. Tanah Abang, Sudirman-Tamrin, Kebun Sirih, Tugu Tani hingga kawasan Senen penuh lautan manusia. Jumlahnya bahkan melampui Aksi 212 dua tahun lalu. Ada yang memperkirakan 10-11 juta. Dahsyat!
Kata Aa' Gym, mereka hadir karena panggilan hati. Tak ada tokoh, partai dan ulama yang bisa menggerakkan jutaan manusia seperti itu. Dijamin gak ada, lanjut Aa' Gym. Mereka hadir, karena selama ini mereka merasa ditekan.
Publik mengenal Aa' Gym sebagai ulama dan tokoh yang lembut. Hati-hati ketika bicara. Halus dan tak suka singgung orang lain. Kali ini beda. Aa' Gym tegas. Bicara lantang tentang tekanan dan ketidakadilan. Ini menunjukkan keprihatinan pada situasi yang dianggap sudah melampaui batas.
Aa' Gym benar. Mereka yang hadir di Monas adalah umat Islam yang selama ini merasa menghadapi tekanan. Sejumlah ulama dan da'i dipersekusi. Sebagian diduga jadi korban kriminalisasi. Beredar video intimidasi dan ancaman. Sementara aparat yang mestinya bertugas untuk menjaga keamanan dan memastikan tegaknya keadilan, justru ikut terlibat dan sarat keberpihakan. Oknum aparat maksudnya. Hati-hati, supaya gak kena delik aduan. Hehe...
Keadaan ini yang melatarbelakangi jutaan umat Islam berkumpul di Monas. Mereka kecewa. Tapi, tetap mengekpresikan kekecewaan itu dengan tenang dan damai.
Kali ini mereka berkumpul untuk memberi pesan: Cukup! Hentikan! Bangsa ini butuh pemimpin yang melindungi rakyatnya, bukan yang mengkriminalisasi dan mempersekusi rakyatnya.
Hadir dalam Reuni Akbar itu Anies Rasyid Baswedan dan Prabowo Subianto. Kehadiran dua tokoh ini seolah memberi harapan baru untuk masa depan rakyat dan Indonesia.
Semula, Reuni 212 dihajar hoax. Dituduh sebagai ancaman bagi NKRI. Mau makar. Berencana mendirikan negara berbasis khilafah. Pesertanya metamorfosis dari HTI. Semua ini muncul sebagai upaya untuk menggagalkan Reuni 212. Hoax model ini terus disebar. Meski tak pernah menemukan fakta, tapi terus diulang-ulang. Namanya saja hoax. Hoax tingkat dewa. Halusinasinya ketinggian. Herannya, hoax macam ini juga diproduksi dan disebar oleh mereka yang bergelar sarjana. Kaum terdidik. Jangan tanya, kuliahnya dulu dimana. Mungkin saja mereka perlu sedikit bergaul dan baca buku. Agar kelihatan "tampak sedikit cerdas dan masuk akal" ketika memproduksi hoak.
Sementara persekusi ada banyak fakta. Sandera kasat mata. Video ancaman beredar dimana-mana. Dan, tak ada tindakan hukum. Malah dibiarkan begitu saja. Semua ini jelas-jelas bukan hoax. Tapi, fakta ini diabaikan. Boleh jadi karena pertama, kebencian yang sudah sampai urat nadi. Pokoknya "gak suka ya gak suka'. Apapun, tetap "gak suka'. Kedua, die hard dan kelewat fanatik terhadap tokoh atau ormas. Hingga, hilang obyektifitas nalar. Akibatnya, sensi dan gampang tersinggung. Marah jika tokoh yang dikagumi dianggap salah.
Di sisi lain, ada sejumlah orang karena salah bicara, UU ITE langsung membidiknya. Pasal penghinaan menjeratnya. Segera, dan gak pakai lama. Inilah yang mungkin dianggap Aa' Gym, bahwa umat merasa tertekan. Ada ketidakadilan yang menggerakkan hati mereka untuk hadir di Monas.
Aa' Gym seperti mengajak rakyat untuk melihat ini dengan cermat dan obyektif. Mengetuk kesadaran, terutama kepada elit negeri ini yang sudah terlalu jauh mempolarisasi rakyat untuk saling menyerang dan memproduksi kegaduhan. Hanya demi mempertahankan sebuah kekuasaan.
Selain Aa' Gym, SBY juga ikut mengeluh. Kok mengeluh terus? Setiap orang punya gaya sendiri untuk berekspresi. Positif thinking saja. Di Twitter SBY menulis: "Saya pernah jadi calon presiden dua kali. Saya tidak pernah menyalahkan dan memaksa ketum partai-pertai pendukung untuk mengkampanyekan saya." Kata-kata SBY mengisyaratkan adanya tekanan kepada sejumlah ketua partai. Jika benar, berarti bukan hanya ulama dan umat yang merasa tertekan, tapi juga ketua-ketua partai.
Sama nasibnya seperti media televisi. Tertekan! Tahu dari mana? Reuni 212 tak ada TV yang meliput. Kecuali TV One. Apakah Reuninya gak menarik? Omong kosong! 10 juta manusia berkumpul dengan beragam dinamika dan heroisme yang unik dan langka kok gak menarik? Apakah lebih menarik bagi-bagi sepeda? Bisa aja!
Yang jelas, tidak banyak media TV yang meliput Reuni 212. Tepatnya, tidak berani meliput. Atau, tidak boleh meliput. Sebab, hadirnya 10 juta umat Islam ini berpotensi jadi ancaman buat istana. Pertama, ancaman elektabilitas. Diprediksi, elektabilitas Jokowi turun pasca Reuni 212. Jika prediksi ini nyata, maka posisi Jokowi makin terancam. Saat ini, jarak suara antara Jokowi dengan Prabowo semakin rapat.
Kedua, besarnya massa menjadi pesan kepada istana: Stop persekusi! Stop intimidasi! Dan, jangan main-main dengan pilpres. Jangan sampai pilpres ada kecurangan. Mereka yang hadir di Monas bertekad untuk menjadi saksi dan pengawas yang ikut mengontrol seluruh proses pemilu. Seperti saat Pilgub DKI 2017 lalu. Tidakkah ada Bawaslu? Kepercayaan umat kepada Bawaslu, bahkan juga KPU, sudah makin menipis.
Jika kecurangan tetap dipaksakan terjadi, maka ada dua kemungkinan. Pertama, akan lahir pemimpin yang tak berintegritas. Gak mutu! Karena kemenangannya dipaksakan. Bukan karena pilihan fair dar rakyat. Kedua, jika tidak terkendali, tak menutup kemungkinan people power akan terkonsolidasi. Dan ini tentu akan mengganggu proses demokrasi dalam pilpres.
Dengan besarnya massa yang hadir di Reuni 212, ada peluang mengulang peristiwa dua tahun lalu. Saat itu korbannya adalah Ahok yang dianggap kebijakannya tidak pro dan merugikan umat Islam. Reuni 212 kali ini tak menutup kemungkinan juga akan makan korban. Siapa korban berikutnya? Tunggu pilpres 2019. [PurWD/voa-islam.com]
Jakarta, 3/11/2018
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!