Senin, 23 Jumadil Awwal 1446 H / 15 September 2014 14:19 wib
15.365 views
Perlukah Indonesia Miliki PLTN ?
Oleh: Abdul Halim
Ada berita cukup menarik yang dimuat di Harian Kompas edisi hari ini (Rabu, 10 September 2014) pada halaman 14, dengan judul : “PLTN, Jepang Tentukan Sikap Bulan Desember”. Dimana disitu diberitakan pemerintah Jepang paling lambat pada Desember 2014 harus sudah memutuskan akan terus menggunakan dan memperluas tenaga nuklir sebagai sumber energinya atau memilih sumber energi lain.
Pasalnya, sejak gempa bumi dahsyat yang disertai serbuan tsunami sehingga memicu kebocoran Pusat Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima (Maret 2011) sehingga menimbulkan radiasi nuklir dan menyebabkan diungsikannya 300.000 penduduk di sekitar lokasi bencana hingga dalam radius 20 kilometer, pemerintah telah menghentikan sementara segala kegiatan pembangunan PLTN di seluruh Jepang.
Padahal saat ini Jepang memiliki 48 PLTN (semula 54 PLTN), dimana 20 PLTN sedang dalam penelitian ulang. PLTN sebanyak itu mampu mensuplai 30 persen kebutuhan energi di Jepang. Sementara Jepang sendiri tidak memiliki sumber energi fosil seperti minyak bumi, gas dan batubara. Sementara energi geothermalnya sulit dieksplorasi karena adanya industri air panas (hotspring) yang meluas dan sangat menguntungkan di Jepang.
Berbeda dengan Jepang, Indonesia melalui Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) justru sedang gencar-gencarnya mengkampanyekan pembangunan proyek PLTN, apakah di Semenanjung Muria, Jawa Tengah ataukah Pulau Bangka, Bangka Belitung. Mengingat penolakan keras dari rakyat di Muria seperti Jepara dan Kudus yang didukung LSM seperti Walhi dan Skephi serta Green Peace, tampaknya Pulau Bangka akan menjadi pilihan terakhir untuk berdirinya tapak PLTN pertama di Indonesia.
"Nantinya, perusahaan, pihak swasta atau vendor yang akan membangun PLTN tidak perlu bersusah payah lagi karena kita sudah memberikan hasil studi kelayakan dari berbagai daerah," kata kepala BATAN, Djarot S Wisnubroto baru-baru ini.
Menurutnya, kesimpulan sementara studi tapak yang dilakukan BATAN di Pulau Bangka cukup layak untuk dibangun PLTN. Selain geografis daerah yang cukup stabil, juga mempertimbangkan permintaan energi (demand) di wilayah tersebut. Dikatakaannya, masa pembangunan PLTN sekitar 8 hingga 10 tahun Untuk investasi pembangunan PLTN berkapasitas 150 MW mencapai sekitar Rp 10 triliun.
Memang untuk membangun PLTN tidaklah mudah, harus melalui lima tahap perizinan, yakni site (lokasi/tapak), konstruksi, commissioning (uji coba), operasi dan decommissioning. "Selain dari Bapeten, perizinan dari Kementerian Lingkungan Hidup sebagai syarat utama pembangunan wajib didapatkan. Mengingat Indonesia terletak di ring of fire yang rentan dengan gempa, letusan gunung api dan serbuan tsunami seperti di Aceh (2004).
Resiko PLTN
Membangun PLTN memang memiliki resiko sangat besar. Selain berakibat kebocoran radioaktif seperti Chernobyl, Ukraina (1986), juga gempa bumi sangat mengancam proyek raksasa tersebut. Lebih baik dana pembangunan PLTN dialihkan ke rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda yang menghubungkan Pulau Jawa dan Sumatra sepanjang 33 kilometer, dimana diperkirakan menghabiskan biaya Rp 100 triliun, sehingga akan jauh lebih bermanfaat.
Selain kasus Chernobyl, kebocoran radioaktif juga pernah terjadi pada PLTN Three Mile Island AS dan PLTN Kashiwazaki Jepang pasca gempa bumi tahun 2007 dan terakhir di Fukushima, Jepang (2011). Dalam kasus di PLTN Kashiwazaki sebagai akibat gempa bumi dengan kekuatan 6,8 SR itu, maka ribuan penduduk di sekitar PLTN yang disebut sebagai terbesar di dunia itu menjadi resah bahkan ada yang mengungsi. Sehingga Badan Keamanan Industri dan Nuklir serta Komisi Keselamatan Nuklir Jepang sampai memerintahkan penutupan reaktor selama setahun sejak diketemukannya kebocoran iodine radioaktif dari pipa pembuangan yang menyebar ke laut Jepang lewat sungai di dekat PLTN Kashiwazaki.
Tidak dapat dibayangkan jika Pulau Jawa yang berpenduduk lebih dari 170 juta jiwa dan rawan gempa bumi serta memiliki banyak gunung berapi ini, menjadi lokasi PLTN Muria atau PLTN Bangka di Sumatera yang tidak jauh dari Pulau Jawa. Tidak hanya gempa vulkanik, tetapi gempa tektonik selalu mengancam Pulau Jawa, dimana di pantai selatan Samudera Hindia terdapat pertemuan dua lempeng besar, Indo Australia dan Eurasia. Meski Semenanjung Muria terletak di pantai utara Jawa, namun potensi tsunami jika sampai terjadi gempa besar bisa saja terjadi. Gempa bumi sebesar gempa Padang akan mampu menimbulkan kebocoran radioaktif PLTN Muria atau PLTN Bangka yang membahayakan jutaan penduduk Pulau Jawa dan Sumatera.
Mengenai PLTN Muria, memang selama ini tidak pernah diketemukan magma di sekitar Gunung Muria yang diperkirakan sudah tidak aktif lagi sejak ribuan tahun lalu, tetapi berbagai bukti menunjukkan gunung yang sudah tidak aktif bahkan mati masih sangat berbahaya. Terbukti keluarnya jutaan meter kubik Lumpur Lapindo di Sidoarjo sejak 29 Mei 2006 hingga sekarang ternyata berasal dari gunung berapi purba yang sudah mati jutaan tahun lalu, dimana itu dapat juga terjadi di sekitar Semenanjung Muria. Bahkan jika sampai terjadi gempa bumi yang menyebabkan rusaknya PLTN Muria, maka debu radioaktifnya akan menyebar tidak hanya di Pulau Jawa dan sekitarnya tetapi juga seluruh kawasan Asia Tenggara, Asia Selatan bahkan Australia, sehingga Indonesia akan menerima protes keras dari negara tetangga.
Memang diakui PLTN Muria yang rencananya memiliki 6 reaktor nuklir dengan masing-masing berdaya 600 MW atau totalnya 3600 MW, akan sedikit mampu mengurangi krisis energi listrik terutama Jaringan Jawa-Madura-Bali (Jamali). Pasalnya, selama ini PLN hanya mampu memenuhi 57 persen kebutuhan listrik nasional, dimana tingkat pertumbuhan kebutuhan listrik mencapai 10 persen pertahun sebagai dampak pertumbuhan industri semakin meningkat. Padahal total kapasitan listrik yang dimiliki PLN sekarang hanya 25.000 MW.
Menurut pakar ekologi Perancis, Andre Gorz, setiap pembangunan PLTN akan menghabiskan sebagian besar energi listrik yang dihasilkan oleh reaktor yang sudah bekerja. Dengan perbandingan tujuh reaktor nuklir yang sedang dibangun menghabiskan energi sebanyak yang dihasilkan empat reaktor nuklir yang sudah beroperasi, (Andre Gorz, Ecology as Politics, 1980).
Namun bagaimanapun, PLTN Muria atau PLTN Bangka akan lebih besar madhorotnya daripada manfaatnya. Selain bahaya penyebaran radioaktif jika sampai terjadi kebocoran akibat faktor manusia atau bencana alam, juga besarnya biaya pembangunannya, dampak kerusakan lingkungan hidup serta resiko keamanan dan politis dengan negara tetangga harus menjadi perhatian pemerintah. Terbukti Iran selama ini menuai protes keras dari IAEA, DK PBB dan negara-negara besar karena memiliki reaktor nuklir di Natanz dan Qom. Sebab Iran dituding berusaha membuat bom nuklir dengan dalih membangun PLTN.
Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana solusi mengatasi krisis energi listrik jika pembangunan PLTN Muria atau Bangka batal dilaksanakan.
Pertama, pemerintahan SBY telah merencanakan mega proyek listrik dengan membangun pembangkit baru dengan total 10.000 MW, yang diharapkan mampu mengatasi krisis energi listrik. Namun terbukti proyek tersebut hanya jalan di tempat hingga sekarang.
Kedua, sebenarnya negara kita sangat kaya dengan sumber energi yang lebih ramah lingkungan dan beresiko rendah dari bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan gas serta batubara, panas bumi (geothermal), biofuel, tenaga matahari, tanaman jarak pagar, kelapa sawit, energi angin, energi air laut dan sebagainya. Seharusnya berbagai sumber energi tersebut diberdayakan semaksimal mungkin sebelum membangun PLTN yang penuh resiko dan biayanya luar biasa besar itu.
Ketiga, meski telah keluar dari OPEC, sebenarnya Indonesia masih termasuk negara penghasil minyak bumi baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor jika UU Migas tahun 2002 direvisi, sehingga lebih menguntungkan Pertamina daripada perusahaan minyak asing yang beroperasi di Indonesia.
Dengan demikian, jika seluruh kekayaan energi nasional tersebut dieksplorasi dengan baik dan benar demi kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan Pasal 33 UUD 1945, niscaya kita tidak perlu memiliki PLTN Muria atau PLTN Bangka, dimana danannya menggunakan utang luar negeri yang saat ini sudah mencapai Rp 2.300 triliun atau hampir 220 miliar dollar AS.
Memang jika sebuah negara memiliki PLTN, maka negara tersebut akan masuk ke dalam jajaran segelintir negera elite nuklir dunia. Apa pembangunan PLTN Muria atau PLTN Bangka hanya demi mengejar gengsi agar Indonesia termasuk ke dalam jajaran negara elite nuklir dunia yang saat ini hanya beranggotakan 15 negara nuklir tersebut ?[voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!