Selasa, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 19 Januari 2016 19:15 wib
214.483 views
Tatkala Suami-Istri Sedang Pisah Ranjang, Ini 10 Adab yang Harus Diperhatikan
Oleh: Abdullah Protonema
Sahabat VOA-Islam yang Shalih dan Shalihah...
Pisang ranjang bukan berarti perceraian. Akan tetapi, sebuah proses hukuman dari seorang suami agar bisa menyesali dan memahami kesalahan sang istri. Inilah yang banyak disalah artikan khalayak umum, sering kali kita dengar jikalau sepasang suami istri telah pisah ranjang berati telah cerai. Sungguh anggapan seperti itu adalah sebuah kesalahan.
Syariat Islam telah meletakkan sebuah metode yang benar untuk mengatasi terjadinya sikap perlawanan wanita dan kecenderungannya yang bengkok, sehingga seorang suami tidak boleh sewenang-wenang bertindak semaunya sendiri.
Inilah bentuk keadilan Islam terhadap umatnya, terlebih kepada istri, kehormatan wanita benar adanya dimuliakan meski dalam kondisi tercepit kesalahan. Allah berfirman dalam Al-Qur'an:
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS 4: 34).
Imam Qurtubi dalam menafsirkan ayat di atas, beliau mengatakan.
“Ayat di atas menunjukan kewajiban bagi kaum laki-laki untuk mendidik kaum wanita, kalau kaum wanita sudah bisa memelihara hak-hak kaum laki-laki, maka seorang laki-laki tidak berhak memperlakukan mereka secara buruk.” (Tafsir Qurtuby Juz 3/148).
Keluarga Muslim wajib mempertahankan keutuhan keluarga, seorang Muslim tidak boleh terburu nafsu menceraikan istrinya hanya karena sesuatu hal, karena bersatunya pasutri (psangan suami-istri) dalam ikatan nikah adalah sebuah akad yang di bangun atas nama Allah SWT.
Sehingga bila ada problema rumah tangga yang tak kunjung usai, wajiblah pasutri bersikap dewasa tidak sembarangan memutuskan sesuatu yang akan menghancurkan bahtera rumah tangga.
Namun bila ternyata Nusyuz (berakhlak buruk) seorang istri juga tiada kunjung berhenti maka seorang suami wajiblah menunaikan proses menuju perbaikan ahklak istri agar menjadi berakhlakul karimah.
Setelah dinasehati dengan berbagai cara juga tidak ada perubahan, sedangkan kebiasaan jelek istri juga tidak kunjung padam, barulah seorang suami dipersilahkan untuk menghukum sang istri dengan pisah ranjang.
Syaikh Isham Bin Muhamad As Syarif dalam kitabnya beliau mengatakan.
“Ini termasuk cara paling efektif untuk memberi hukuman, karena dengan keangkuhannya, eksitensi dirinya, dan dengan daya tariknya terhadap kaum lelaki, ia merasa bahwa ia pasti mampu menutupi segala kekurangannya. Namun saat seorang lelaki justru berpaling darinya, sementara si wanita dalam kondisi amat mengairahkan hasrat suaminya, maka ia tak mampu lagi menggunakan sihirnya. Mentalnya yang dipenuhi segala khayal itu akan jatuh dengan sendirinya, sehingga akan kembali menyerah dan tunduk terhadap perintah perintah suaminya.”
Ada yang harus dipahami bagi pasutri, bahwa pisah ranjang itu dilaksanakan perlu dijatuhkan agar seorang istri mampu berfikir jernih dan bisa kembali kepada tabiat seorang istri, yaitu taat pada suami bukan malah sebagai ajang peruncing masalah.
Sehingga di saat suami menjatuhkan hukuman pisah ranjang, wajiblah suami berusaha untuk ada perbaikan menata kembali agar baik adanya, bukan malah dibiarkan sehingga si istri tidak ada efek jera dan malah menjadi-jadi tak karuan.
Apalagi pisah ranjang menjadi ajang buka-bukaan aib ke semua personel keluarga, sungguh ini adalah sebuah kesalahan dalam menjalani proses pisah ranjang.
Maka dari itu agar pisah ranjang yang sedang dijalani pasutri itu bisa mengambil hikmah maka haruslah dalam menjalani pisah ranjang mengindahkan akhlak dan adab yang ada.
1. Pisah ranjang hanya dilakukan untuk pisah tempat tidur saja bukan pisah rumah.
2. Seorang suami hanya menggunakan cara ini bila cara pertama gagal, yaitu proses nasehat.
3. Cara ini digunakan bila dikhawatirkan sang istri membangkang.
4. Hukum pisah ranjang ditinggalkan bila seorang seorang istri sudah meninggalkan akhlak buruknya, sudah bertaubat dan kembali taat kepada suaminya.
5. Lama pisah ranjang tidak boleh lebih dari satu bulan setelah wanita melakukan pembangkangan, sebagaimana batasan waktu yang dijelaskan oleh para ulama. Kecuali kalau suami meyakini bahwa tambahan waktu di atas satu bulan akan membawa kebaikan bagi sitrinya, namun jangan sampai lebih dari empat bulan.
6. Selama proses pisah ranjang sebaiknya pasutri sama-sama bermujanat pada Allah SWT untuk meminta bimbingan yang terbaik.
7. Meminta nasehat para ulama yang sholeh serta perbanyak kebaikan.
8. Tetap menunaikan kewajiban sebagai orang tua, tidak boleh dengan alasan sedang ada masalah kemudian anak diterlantarkan.
9. Kewajiban seorang suami untuk menafkahi secara lahir yaitu uang belanja dan kebutuhan lainya tetap harus dipenuhi, karena masih berstatus sebagai seorang suami-istri yang sah.
10. Ambil hikmah dari setiap peristiwa agar lebih bertakwa pada Allah SWT.
Demikian beberpa hal yang harus diperhatikan agar pisah ranjang benar-benar bermaslahat dan menjadi kebaikan untuk pasutri yang sedang terlanda masalah. Wallahualambi sowab. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!