Senin, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 29 Agutus 2016 18:50 wib
6.106 views
Dibalik Gagasan Perempuan Mandiri
Oleh: Eva Arlini, SE
(Tim Media Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia wilayah Sumut)
Alangkah indahnya sebuah keluarga yang tiap bagiannya menjalankan peran sesuai tuntunan Sang Pencipta Allah Swt. Ayah sang pemimppin sekaligus penentu kebijakan yang bijaksana, menafkahi keluarga secara ma’ruf dan mendidik anggota keluarga agar selalu dekat pada agama. Ibu sang manajer rumahtangga yang memastikan rumah menjadi tempat nyaman bagi keluarga, pendamping yang selalu setia berbagi kehangatan saat suami kembali dari lelahnya bekerja, pendidik pertama dan utama bagi anak, menjaga kepercayaan suami atas harta dan kehormatan dirinya. Anak-anak pun patuh pada kedua orangtua karena orangtua berhasil menanamkan ketaatan pada Allah swt dan RasulNya. Namun bagaimana bila yang terjadi sebaliknya.
Pernikahan tanpa bekal ilmu paling rentan mengalami keretakan. Fakta yang terjadi, dalam rumahtangga yang kering dari iman dan ilmu, perempuanlah yang sering menjadi korban. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan masalah yang saat ini banyak menimpa perempuan. Pelakunya adalah pasangan yang awalnya dipercaya dapat bersama membangun biduk rumahtangga, namun ternyata menghadiahkan duka lara lahir dan bathin. Data Catatan Akhir Tahun 2014 Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan menunjukkan peningkatan jumlah kasus terhadap perempuan sebanyak 20.000 kasus dibandingkan kasus tahun 2013, http://print.kompas.com/baca/2015/04/27. Dalam catatan tahunan Komnas Perempuan terungkap angka kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2015 jumlahnya meningkat 9 persen dari tahun 2014, (cnnindonesia.com, 08/03/2016).
Sebagian perempuan memandang masalah KDRT terjadi karena isteri sepenuhnya bergantung pada suami dalam urusan finansial. Asumsinya, ketergantungan tersebutlah yang membuat istri terpaksa mengikuti semua keputusan suami dalam rumahtangga, yang akhirnya membuat suami cenderung semena-mena hingga berujung tindak kekerasan. Dari persoalan tersebut muncullah gagasan “Perempuan Mandiri Secara Ekonomi”. Artinya, istri harus mampu menghasilkan uang sendiri, agar tidak ‘lemah’ dihadapan suami. Berbagai komunitas perempuan pebisnis mengkampanyekan ide tersebut, sebagaimana salah satu komunitas penulis dan bisnis skala nasional yang mengambil momen peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia dengan mengadakan agenda seminar bertajuk perempuan sebagai “Pahlawan Keluarga”.
Gagasan tersebut sejalan dengan program pemerintah tentang pemberdayaan perempuan. Bagi pemerintah, selain bermanfaat bagi diri sendiri, perempuan mandiri secara ekonomi juga bermanfaat bagi perekonomian negara. Tingkat pendapatan perempuan yang tinggi, biasanya berbanding lurus dengan peningkatan konsumsi, sehingga dapat berkontribusi bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Pandangan wanita ‘dijajah’ pria bersumber dari pengalaman pahit para perempuan di barat dalam hubungannya dengan pria. Sebuah gerakan perempuan Amerika Serikat yang berdiri tahun 1967 dengan nama Women´s Liberation Workshop dan lebih dikenal dengan singkatan "Women´s Lib mengamati bahwa peran kaum perempuan dalam hubungannya dengan kaum laki-laki dalam masyarakat kapitalis terutama Amerika Serikat tidak lebih seperti hubungan yang dijajah dan penjajah. Sejak berdirinya berbagai gerakan feminisme di barat yang dipelopori oleh Betty Friedan, ide kesetaraan gender terus meluas seiring menguatkan hegemoni barat hingga ke negeri-negeri Islam. Kaum muslimpun dengan mudah menerima setiap ide yang berasal dari barat termasuk paham kesetaraan gender, terlebih sejak institusi pelindung mereka yaitu Khilafah Turki Utsmani runtuh di tangan Inggris dan antek-anteknya.
Ide kesetaraan gender semakin mulus merasuk kesetiap sendi pemikiran para muslimah, manakala fakta menunjukkan berbagai kasus KDRT, perceraian, ataupun keberadaan para perempuan lajang yang menjadi tumpuan hidup keluarga seolah memang mengharuskan perempuan untuk bekerja. Seolah berbagai permasalahan ekonomi dan sosial yang sebenarnya efek dari penerapan sistem kapitalis ini, harus diatasi dengan cara mendorong perempuan agar mandiri secara ekonomi. Kenyataannya, sejak ide kesetaraan gender digaungkan, ia tak pernah bisa menjadi solusi. Kondisi para perempuan hingga kini tetap memprihatinkan. Pelecehan seksual di tempat kerja, pemerkosaan para buruh perempuan, menjadi korban perdagagan manusia, hubungan yang dingin dalam keluarga hingga kehancuran moral generasi karena ibu sibuk bekerja kerap terjadi.
Alangkah sempurnanya Islam dalam mengatur kehidupan, sehingga ketika kita kembali menerapkan syariah Islam secara kaffah maka dengan sendirinya posisi perempuan menjadi aman dan nyaman. Islam memandang perempuan sebagai harta yang sangat berharga. Ditangannyalah dipertaruhkan nasib bangsa. Sebab ia menjadi ‘produsen’ tempat menempa generasi yang kelak menjadi pemimpin. Kemunculan generasi emas Islam dimasa kejayaannya seperti Umar bin Abdul Aziz yang menjadi Khalifah diusia muda dan berhasil mengentaskan kemiskinan rakyatnya, Imam Syafi’i sang pencinta ilmu yang amat bermanfaat bagi umat Islam karena ilmu fikih yang dihasilkannya, Muhammad al Fatih sang pembebas Konstantinopel yang membuka kesempatan bagi banyak manusia untuk merasakan indahnya Islam, semua tidak lepas dari peran ibu. Ibu para generasi emas Islam dulunya mendedikasikan waktu sepenuhnya untuk keluarga, mendidik anak-anak dengan al Qur’an dan as sunnah. Bayangkan bila mereka membagi waktu dengan pekerjaan di luar rumah, tentu kualitas hasil didikan mereka pun tidak akan maksimal.
Begitu pentingnya peran perempuan, sehingga aturan Islam sangat memuliakan mereka. Mulai dari hukum Islam tentang kewajiban bagi wali atau suami untuk menafkahi kaum perempuan, kewajiban suami untuk berbuat baik kepada istri, kewajiban negara memberi pelayanan pendidikan bagi rakyatnya agar memiliki kepribadian Islam hingga kewajiban negara untuk memudahkan para lelaki memenuhi nafkah dan lain sebagainya. Islam tidak melarang perempuan bekerja, selama mereka mematuhi rambu-rambu syariah. Tetapi demi mewujudkan keluarga yang berkualitas rabbani sebagaimana yang disinggung di paragraf awal tulisan ini, dibutuhkan perhatian suami istri untuk menjalankan perannya secara maksimal. Dan hal itu tentu sulit terjadi bila istri harus berbagi perhatian dengan pekerjaan di luar rumah.
Maka apakah layak kita mencari solusi selain Islam, sementara Islam berasal dari Allah Swt yang Maha Tahu apa yang terbaik bagi kita hamba-hambaNya? Apakah pantas kita merujuk pada cara pandang barat bila yang terbaik bagi kehidupan kita adalah menjalankan syariahNya? Wama taufiqi illa billah. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!