Rabu, 26 Jumadil Awwal 1446 H / 11 April 2018 00:05 wib
7.464 views
Cerbung Kisah di Garis Depan: Hilyah
Assalamu'alaikum Muslimah salihah, sahabat voa-islam yang dirahmati Allah. Mulai hari ini akan ada cerbung alias cerita bersambung di rubrik muslimah. Waktu tayangnya insya Allah tiap Rabu dan Sabtu.
Jadi biar berimbang ya antara artikel dengan tulisan fiksi yang lebih sastrawi. Bagus untuk mengasah imajinasi dan melembutkan hati dengan membaca karya fiksi islami. Oke silakan nikmati saja sajian bagian pertama dari cerbung ini.
Selamat membaca.
Salam :)
---------------------
Kisah di Garis Depan: Hilyah
Oleh: Fillah
Pintu tengah dibuka pelan, seorang wanita tergesa-gesa membawa nampan kue basah dan gelas air mineral. Sekilas mata kami beradu, ia menyipit. Mungkin bibirnya mengulas senyum, pipinya menggembul membuat matanya menyipit. Aku mengangguk canggung. Diam-diam aku merutuki diri sendiri yang begitu lancang duduk di sini sebelum ia muncul.
Ia bergegas melewatiku, langkahnya besar-besar, gamis hitam panjangnya sedikit mengganggu. Aku pikir dia malu harus berjalan ke depan membawa nampan dihadapan ajnabi, atau mungkin suara tangis bayi di dalam rumah membuat konsentrasinya buyar. Lima langkah setelah melewatiku, ia terjatuh.
Pranggg
...
Nampannya ikut terlepas. Aku lihat satu dua kue basah jatuh, gelas air mineral berhamburan. Ia berlutut kaget seraya cepat-cepat memungut kue dan gelas air mineral.
Sedikit ceroboh, mungkin ia grogi pertama kali berjumpa denganku.
"Maaf."
Ia berucap pelan seraya menatapku.
"Sebentar ya," katanya lagi. Aku hanya mengangguk-angguk.
Setelah mengantar nampan untuk para lelaki di depan, ia duduk dan mengucap salam.
"Maafkan sedikit keriuhan ini. Sudah lama ya menunggu?"
"Ah gapapa, baru saja sampai," aku menggeleng pelan. Ia mengulurkan tangan, menggenggam erat.
"Kenalkan, Hilyah." Aku menjabat tangannya, "Atikaa."
Hilyah. Aku suka namanya. Seperti melafalkan kerinduan yang disekat begitu jauh. Mengucap namanya, buatku seperti menghembuskan nafas kelegaan. Mungkin sifatnya meneduhkan, aku bisa melihatnya dari mata yang menyiratkan senyuman hangat. Jika awal perkenalan seringkali seperti basa-basi, ia tidak. Aku menyukai perkenalan ini.
Aku membenci setiap awal perkenalan. Bertemu orang-orang baru yang harus aku selami satu persatu pikirannya. Harus pula menyeimbangkan gagasan agar tetap satu frekuensi saat berbicara. Seringkali aku memilih diam, bicara dengan kosa kata paling sopan yang aku miliki atau bolak balik mengetik ucapan saat chatting agar tidak jatuh dalam citra orang memalukan yang kelak akan selalu dikenang.
Tapi yang ini tidak. Hilyah berbeda.
Kami sama-sama diam setelah saling menyebutkan nama. Hilyah menyodorkan sebuah gelas mineral, mempersilahkan agar aku meminumnya. Lagi-lagi aku mengangguk canggung. Oh ibu.. aku ingin jadi gadis kecil saja, bisa bersembunyi dibalik punggungmu saat aku terjebak dalam situasi seperti ini. Atau mungkin jadi bocah pencari perhatian tanpa rasa malu, tanpa penghakiman karena toh setiap anak kecil selalu dimaafkan, bukan? Walau entah seberapa memalukan kelakuannya.
Pintu tengah dibuka kembali, seorang wanita paruh baya menggendong bayi cantik, bajunya merah dengan rok rumbai-rumbai. Dibelakangnya, dua anak kecil tertawa riang mendorong sepeda.
Hilyah mengenalkan wanita paruh baya itu sebagai ibu mertua. Aku menyalami tangannya, sedang ia merangkulku dalam pelukannya. Ah ibu.. Setiap wanita yang sudah menjadi ibu, sering kurasa mengalirkan cinta dalam pelukannya.
Bayi cantik berbaju merah itu sudah dipangku Hilyah. Matanya bulat dengan hidung tinggi dan rambut hitam pekat. Besar nanti ia pasti benar-benar jadi gadis cantik yang menawan. "Ini namanya Sumayyah. Beri Ammah senyum manis ya sayang" katanya lembut. Aku mengelus pipinya, menggemaskan dengan wangi minyak telon. "Sholih, sini sebentar nak. Salam pada Ammah. Ini Isy Kariiman dan ini Syahiidan"
Dua bocah laki-laki yang tadi mengekor dibelakang sepeda mencium tanganku. Lalu tertawa memamerkan giginya yang hampir punah. Aku ikut tertawa menunjuk giginya. Mereka meringis malu. "Korban permen" kata Hilyah sambil tertawa.
"Oh ya! Selamat. Kemarin sebenarnya kami ingin datang, tapi Kariim dan Syahiid panas tinggi. Barakallahu laki, wa baraka ‘alayka wa jama’a baynakuma fii khayr. Aku penasaran bagaimana kisahnya kamu dan Mas Haqi bisa bertemu" Tangannya mengulurkan sebuah kado segi empat.
-----***-------****-----
Suami Hilyah dan suamiku berkawan baik. Berasal dari kota yang sama, kota dengan lambang cangkir teh. Mereka teman nongkrong, teman bicara, teman ideologi dan ia satu-satunya teman yang nekad datang ke pernikahan kami setelah nyasar selama 6 jam. Mereka pernah sama-sama menahan lapar sehari penuh ditengah kota yang orang-orang bilang surga makanan. Tidak ada makanan halal, sedang street food begitu menggoda. Jam 10 malam mereka berseru gembira bertemu pedagang nasi goreng dari Jawa. Meminta agar dibuatkan makanan tanpa daging dan arak. Mereka menyuap nasi sambil berlinang air mata.
Petang ini, kami akan bersama dalam satu perjalanan. Anak-anak sudah hilir mudik melongok kedalam kendaraan sambil mengoceh kapan akan berangkat. Hilyah bilang ia tidak akan ikut, "aku ingin tahu seberapa tangguh suamiku mampu pergi dengan dua anak berisik tanpa ibunya" katanya seraya tertawa. Tapi dua anaknya protes, "Ummi dan Sumayyah harus ikut!" Syahiid sudah siap dengan airmata sedang Kariim tidak berhenti memprovokasi adiknya.
"Kalau ummi tidak ikut, siapa yang akan menggendong aku ke kamar mandi supaya tidak ngompol?"
"Ada Baba, nak. Bukannya tiga hari ini kau tidur dengan Baba dan everything it's okey, right?" Hilyah mencoba membujuk Kariim yang terus merajuk.
"Tapi Baba tidak bisa membuat susu seenak Ummi"
"Bisa. Baba bisa buat susu lebih enak dari ummi"
Syahiid hanya menonton pembicaraan ibunya dan Kariim dengan tampang sedih. Pipinya melorot ke bawah sedang bibirnya menggerucut.
"Tidak bisa, Ummi. Pokoknya Ummi harus ikut dengan Baba. Syahiid, kita harus pergi dengan Ummi dan Sumayyah. Iya kan?" Kariim meminta persetujuan adiknya. Syahiid mengangguk-angguk sedih. Air matanya sudah turun deras. Ia merintih sedih.
"Ya ya. Baiklah" Hilyah mengalah. Dua bocah itu memekik gembira. Ajaibnya air mata Syahiid sudah tidak menetes lagi. Misi anak-anak selalu sukses dengan dramanya.
#Bersambung
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!