Sabtu, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 27 April 2013 05:18 wib
13.533 views
Moralitas Jenderal-Jenderal Polisi Tak Bisa Menjadi Tauladan?
Jakarta, 27/4/2013 (voa-islam.com )Tak kurang Presiden SBY, Menko Polhukam, Djoko Suyanto, Mantan Ketua MK, Jimly Assidddiqie, Mantan Ketua MK, Mahfud MD,dan sejumlah pakar hukum, menilai negatif sikap Komjen Susno Duadji yang menolak keputusan ekskusi oleh Kejaksaan. Ini menjadi preseden buruk bagi penegakkan hukum di Indonesia.
Polisi sebagai lembaga penegak hukum, sudah seharusnya memberikan tauladan kepada publik, bagaimana polisi harus taat hukum, sekalipun itu terkait dengan diri mereka sendiri. Tidak bersikap "mbalelo", dan menunjukkan ketidak taatannya, dan dengan berbagai dalih yang sangat bertentangan dengan rasa keadilan.
Terkait dengan ekskusi Komjen Susno Duadji ini, sekarang terjadi perdebatan dibidang hukum, tentang status Komjen Susno, yang menimbulkan kontroversi. Apakah Komjen Susno itu layak diekskusi atau tidak? Karena, tokoh Partai Bulan Bintang, Yusril Ihza Mahendra bersikeras menolak ekskusi terhadap Komjen Susno dinilainya cacad dan batal demi hukum.
Tetapi, menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie menilai, perdebatan soal eksuksi yang dilakukan kejaksaan terhadap mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Komjen Pol Susno Duadji sudah mengaburkan substansi persoalan.
Menurut Jimly, argumentasi yang dilontarkan Yusril Ihza Mahendra, advokat yang juga Ketua Dewan Syuro Partai Bulan Bintang, menunjukkan dia tengah bermain dengan logika orang.
"Sudahlah, itu semua hanya permainan dia (Yusril) yang bermain dengan logika semua orang. Faktanya kasasi itu ditolak. Jadi, siapa pun tidak bisa mengaburkan substansinya," ujar Jimly, saat dihubungi, Kamis (25/4/2013) malam.
Perbedaan pandangan atas suatu putusan hukum, menurutnya, sudah lazim terjadi. Namun, ia mengingatkan, ini bukan persoalan siapa yang benar dan salah.
"Ini persoalan negara. Keputusan Mahkamah Agung mewakili keadilan negara itu sendiri. Kalau negara sudah membuat keputusan melalui MA, tentunya kejaksaan sebagai pemegang otoritas untuk eksekusi bisa langsung melaksanakannya," imbuh Jimly.
Jimly berharap agar aparat kejaksaan bisa memberikan kepastian hukum yang adil. Apalagi, lanjutnya, pihak Susno sudah melancarkan ancaman pertumpahan darah. Wibawa lembaga peradilan pun diuji dalam peristiwa ini.
"Kalau perlu, lawan dengan pertumpahan darah juga, dia sudah mengancam negara seperti itu, artinya dia tidak hormat atas hukum. Negara itu harus sadis menegakkan keadilan, tidak bisa ragu-ragu," ujar Jimly.
Guru besar hukum tata negara ini mengaku prihatin dengan kondisi Susno yang awalnya menjadi whistle blower kasus korupsi di institusi kepolisian. Namun, katanya, rasa simpati itu harus dikesampingkan demi kepastian hukum.
"Kalau Susno masih merasa benar, silakan ambil langkah hukum selanjutnya. Tidak usah berdebat di luar," kata Jimly.
Perdebatan soal Pasal 197 KUHAP
Perdebatan soal sah tidaknya eksekusi yang dilakukan kejaksaan bermula dari penolakan pihak Susno. Susno dan kuasa hukumnya menilai, putusan kasasi MA tidak mencantumkan perintah penahanan. Oleh karena itu, pihak Susno berdalih, eksekusi tak bisa dilakukan. Tidak dicantumkannya perintah penahanan, dalam pandangan pihak Susno, membuat putusan itu batal demi hukum.
Mereka mengacu pada ketentuan Pasal 197 Ayat 2 yang menyatakan bahwa putusan batal demi hukum jika tidak memuat ketentuan Pasal 197 Ayat 1 KUHAP. Adapun Pasal 197 Ayat 1 huruf k menyatakan bahwa surat pemidanaan di antaranya harus memuat perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.
Pasal tersebut pernah diajukan uji materi oleh Parlin Riduansyah dengan Yusril sebagai kuasa hukumnya. Pemohon meminta agar mendalilkan bahwa Pasal 197 Ayat (1) huruf k juncto Pasal 197 Ayat (2) sepanjang frasa "batal demi hukum" UU 8/1981 bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 28D Ayat (1), dan 28G Ayat (1) UUD 1945 karena memuat rumusan yang menimbulkan ketidakpastian hukum.
Uji materi ini ditolak oleh MK melalui putusan yang dibacakan pada 22 November 2012. Dalam pendapatnya, MK menyatakan bahwa penafsiran tidak dimuatnya ketentuan Pasal 197 Ayat (1) huruf k dalam surat pemidanaan akan mengakibatkan putusan batal demi hukum, justru bertentangan dengan UUD 1945.
MK juga menyatakan, Pasal 197 Ayat (2) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat bila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 Ayat (1) huruf k mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Selain itu, MK memutuskan perubahan bunyi Pasal 197 Ayat (2) dengan menghapus bagian huruf k menjadi "Tidak dipenuhinya ketentuan dalam Ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum".
Penolakan Ekskusi
Kasus yang dihadapi Susno Duadji ini menimbulkan perdebatan yang sangat luas, dan sebagian besa pandangan publik, termasuk kalangan pemerintah, yang diwakili Presiden SBY dan Menko Polhukam Djoko Suyanto, menegaskan hendaknya Komjen Susno mentaati keputusan hukum, dan harus tunduk diekskusi.
Sejatinya, jika Susno Duadji dan Yusril, mematuhi keputusan Kejaksaan, justeru akan menimbulkan simpati, dan tidak membuat suasana semakin gaduh, yang sudah melibatkan unsur-unsur dalam masyarakat, seperti Partai Bulan Bintang. Ini sangat tidak kondusif bagi penegakkan hukum di Indonesia.
Dalam kontek ini dibutuhkan komitemen moralitas yang tinggi terhadap hukum, termasuk oleh Komjen Susno Duadji, dan menerima keputusan Kejaksaan yang sudah membuat keputusan. Bila Susno Duadji tetap menolak diekskusi akan menimbulkan situasi yang berlarut-larut, dan membuat situasi tidak menentu, dan tanpa ada kepastian hukum di Indonesia.
Bahkan, Ketua Institut Setara Hendardi, menegaskan sekalipun akan runtuh keadilan harus ditegakkan', ujarnya. Artinya, tidak ada seorang pun warga negara yang kebal dari proses hukum. Semua warga negara harus tunduk kepada hukum. Tidak terkecuali Komjen Susno Dudji.
Sekarang, polisi benar-benar sedang dalam ujian yang sangat berat, di mana sejumlah jenderal polisi telah menjadi tersangka kasus korupsi. Diantaranya, mantan Kabareskrim Komjen Suyitno Landung, Irjen Polisi Djoko Susilo, dan sekarang Komjen Susno Duadji.
Belum lagi, terkait laporan PPATK tentang "rekening gendung", yang dimiliki 15 orang perwira polisi, yang sampai sekarang ini belum disentuh. Sudah seharusnya para penegak hukum di Indonesia, terutama polisi, dan para jenderalnya memberikan tauladan, guna memulihkan kepercayaan publik, bahwa polisi masih dapat dipercaya. Wallahu'alam.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!