Sabtu, 23 Jumadil Awwal 1446 H / 9 November 2013 08:39 wib
9.366 views
Syarifuddin Suding : Poso Hanya Menjadi Proyek Aparat
Jakarrta (voa-islam.com) Poso hanyalah wilayah terpencil di Sulawesi Tengah. Tapi, manfaatnya besar bagi aparat keamanan. Poso bisa mendatangkan proyek anggaran, kenaikan pangkat, poluritas, dan bahkan mengalihkan isu nasional.
Umat Islam selalu menjadi objek, dan hanya diberi lebel terduga “teroris” sudah dibunuh dengan cara yang sadis. Kasusnya tidak pernah dibuktikan dengan bukti-bukti yang faktual alias nyata. Dengan lebel “teroris” semua sudah menyatakan, “amiin”. Seakan aktivis Islam yang sudah mendapatkan lebel “teroris” itu sah dimusnahkan, karena dianggap menjadi ancaman.
Sedihnya, tak ada umat Islam atau organisasi Islam yang mempersoalkan atau melakukan advokasi terhadap mereka yang sudah tewas ditembak oleh aparat keamanan itu. Semua bungkam. Sehingga, aparat keamanan semakin sewenang-wenang terhadap aktivis Islam yang dengan ikhlas menegakkan Syariah Islam.
Belum lagi, akibat tewasnya aktifis Islam itu, mereka meninggalkan keluarga, seperti istri, dan anak-anak. Sudah berapa banyak aktifis Islam yang tewas ditembak mati oleh aparat keamanan? Ratusan. Siapa yang bertanggungjawab terhadap keluarg, mereka? Bagaimana masa depan istri dan anak mereka? Sungguh sangat menyedihkan. Padahal, hak hidup itu, merupakan hak dasar manusia, dan tidak boleh dengan alasan apapun, menghilangkan nyawa mereka.
Adalah anggota Komisi III DPR RI, Syarifuddin Suding, mendesak aparat kepolisian menghentikan cara-cara represif dalam penanganan kasus Poso, Sulawesi Tengah. Poso jangan dijadikan lahan proyek anggaran pengamanan, mencari populeritas untuk kenaikan pangkat, dan pengalih isu nasional.
“Cara-cara represif justru akan melahirkan dendam dan ini akan membuat proses regenerasi lebih cepat terjadi. Keluarga atau kerabat, dan mereka yang tidak mendukung bisa jadi mendukung, jika melihat ada keluarganya yang ditembak mati atau disiksa. Kami sudah banyak mendapat pengaduan soal korban salah tangkap, akhirnya disiksa, tetapi kemudian tidak terbukti bersalah. Ini melahirkan dendam yang akan berdampak perlawanan pada polisi”, ujar Syarifuddin, Ketua Fraksi Partai Hanura, Jum’at, 8/11/2013.
Beberapa waktu yang lalu, Santoso salah satu terduga teroris, dan pimpinan kelompok radikal, menggugah video di Youtube, menyerukan perlawanan pada institusi kepolisian, terutama Densus 88.
Berdasarkan berbagai informasi yang dikumpulkan oleh media, sejumlah penanganan dan penangkapan orang-orang yang terduga teroris atau kelompok radikal, Densus 88, langsung menembak mati pelaku. Sebagai contoh penggerebekan di Desa Kalora tahun 2012, yang ditembak di Kelurahan Kanyaman. Lalu, pada Juni 2013, Densus 88, menembak mati Nurdin, di Kelurahan Kayhamanya, dan ini terjadi di daerah-daerah lain.
Suding, menilai ada kesengajaan pembiaran atas kasus kekerasan di Poso. Jika pendekatan represif ditiadakan dan koordinasi antar instansi lebih solid, Poso bisa lebih mudah ditangani, ujar Suding. Memang, nampaknya Poso, hanyalah menjadi kambing hitam, dan dipertahankan, bahkan mungkin diciptakan oleh aparat sendiri, sebagai bagian dari objek untuk mendapatkan anggaran keamanan.
Beberapa waktu lalu, sejumlah tokoh masyarakat Poso juga menghimbau dikedepankan pendekatan kemanusiaan, bukan sekedar pendekatan keamanan dan dan kekerasan. “Pendekatan kekerasan hanya membuat warga menjadi trauma”, ujar Yus Mangun, tokoh masyarakat Poso.
Kasus terorisme di Indonesia di blowup oleh aparat sendiri, dan sengaja diciptakan kondisi yang membuat gambaran adanya ancaman yang sangat serius oleh terorisme di Indonesia. Undang-undang Anti Terorisme di zaman Megawati, tahun 2000, sampai sekarang masih menjadi payung hukum, dan alat yang efektif memberangus, dan bahkan melakukan penghilangan nyawa seseorang yang menjadi terduga teroris.
Mereka yang sudah mendapatkan lebel sebagai pelaku "teroris" oleh aparat keamanan sudah tidak memiliki hak hidup, karena sudah dianggap menjadi ancaman terhadap keamanan nengara. Karena itu, jalan yang paling mudah menghilangkan nyawa mereka. Inilah yang terjadi saat ini. Siapapun yang sudah diberikan lebel sebagai "teroris" dapat diberlakukan apa saja, dan tanpa memiliki hak membela diri.
Satu-satunya peristiwa pemboman yang besar hanya terjadi di Legian-Kuta, Bali, tahun 2005, dan menewaskan ratusan orang, sebagian warga asing. Apakah memang benar pelakunya adalah orang-orang yang sudah dijatuhi hukuman mati, seperti Amrozi dan lainnya?
Apakah Amrozi cs itu, benar-benar memiliki kemampuan membuat bom yang begitu dahsyat? Seharusnya dibukikan kemampuan Amrozi cs. Atau mungkin Amrozi hanyalah menjadi kambing hitam, atau ada kekuatan lainnya, yang bertindak melakukan pemboman di Legian, Kuta Bali, dan tujuannya membenarkan dugaan bahwa di Indonesia ada ancaman teroris, dan kemudian harus ada Undang-Undang Antri Teroris?
Tindakan pemerintah Indonesia itu, bersamaan dengan kebijakan global Amerika, usai pemboman Gedung WTC, di Manhattan, New York, 11 September 2001, dan kemudian Presiden Amerika George Bush, menyatakan perang secara global terhadap ancaman terorisme. Amerika melakukan invasi ke Afghanistan dan mengusir pemeritahan Taliban yang dipimpin Mullah Omar.
Negara-negara sekutu Amerika diajak melakukan perang melawan terorisme. Dengan mengerahkan seluruh aparat keamananya melakukan tindakan preventif atau repressif. Presiden George Walker Bush, sangat terkenal dengan doktrin memerangi terorisme itu.
"Bersama kami atau menjadi musuh Amerika", tegas Bush. Siapapun yang tidak mau bersama dengan Amerika dalam kebijakan memerangi terorisme secara global, maka dianggap menjadi musuh Amerika. Praktek perang global terhadap terorisme itu, sampai sekarang masih berlansung secar global.
Peristiwa yang baru diungkapkan oleh Edward Snowden, seorang anggota NSA (National Security Agency), mengemukakan bahwa Amerika melalui badan seperti NSA, CIA, dan badan intlijen lainnya, melakukan penyadapan terhadap jutaan penduduk diberbagai negara. Miliaran pembicaraan setiap hari disadap oleh aparat keamanan Amerika, tujuannya mengantisipasi serangan terorisme.
Amerika tidak cukup melakukan invasi militer ke Afghanistan menjatuhkan pemerintahan Taliban, tetapi George Bush, juga melakukan invasi militer ke Irak, dan menjatuhkan Presiden Sadddam Husien, dan menghukum mati Saddam, dan kemudian menduduki Irak.
Invasi ke Irak menyisakan penderitaan yang sangat hebat, ratusan ribu orang yang tewas, dan jutaan rakyat Irak yang meninggalkan negaranya. Konflik di Irak sesudah Amerika Irak tak berhenti, sampai hari ini.
Sebuah pengakuan Presiden George Bush menjelang akhir kekuasaannya, mengatakan bahwa invasi ke Irak, salah. Bush mengakui bahwa invasi militer ke Irak itu, hanya berdasarkan laporan rekaan yang dibuat oleh badan intelijen Amerka, CIA.
Tetapi, Irak sudah terlanjur luluh-lantak, sama seperti Afghanistan, dan Amerika meninggalkan kedua negara itu, tanpa mendapatkan apapun. Kecuali luka yang sangat dalam bagi kedua bangsa itu.
Amerika Serikat akibat melakukan invasi ke Afghanistan dan Irak, sekarang bangkrut, dan ekonominya porak-poranda, persis seperti yang dialami oleh Uni Soviet. Soviet gagal mengusai Afghanistan, dan Soviet berkeping-keping, dan hanya menyisakan Rusia.
Mereka dengan kekerasan tak dapat menundukkan Gerakan Islam, dan sekarang membentang dari Tanduk Afrika, Afrika Utara, Timur Tengah, sampai ke Asia Tenggara.
Dengan kekerasan tidak selamanya dapat menjadi solusi. Kekerasan hanya melahirkan dendam, dan pembalasan, serta menimbulkan kekacauan yang sangat sistemik. Cara-cara aparat kepolisian yang dengan sangat keras terhadap aktivis Islam, harus dinilai kembali. Apakah cara itu menjadi sebuah solusi? Wallahu'alam.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!