Kamis, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 6 November 2014 09:51 wib
17.774 views
Kolaborasi Kaum Nasionalis, NU, dan Profesional Muslim di Pemerintahan Jokowi
JAKARTA (voa-islam.com) - Benarkah zaman kabinet ‘kaki empat’ Soekarno di masa lalu, kini berulang kembali di era Jokowi? Soekarno di zaman NASAKOM (Nasionalis, agama, dan komunis),membentuk apa yang disebut kabinet ‘kaki empat’, yang mencerminkan kekuatan riil politik yang berdasar ideologi waktu itu.
Kabinet yang mencerminkan mewakili aliran ideologi yang ada, seperti ‘nasionalis, agama dan komunis’. Soekarno berobsesi ingin membangun pemerintahan yang berdasar diatas realitas politik, sesuai dengan basis ideologi yang ada.
Hanya waktu itu, Partai Masyumi yang mewakili kalangan Islam, menolak. Posisi Masyumi itu digantikan oleh NU, yang diwakili oleh Idham Chalid.
Ada cerita menarik dari Kiai Idham Chalid saat memanasnya stuasi politik, yaitu ketika Bung Karno membuat kebijakan yang mengejutkan, NASAKOM (nasional, agama, dan komunis).
Kemudian untuk mendinginkan suasana yang tegang, tiba-tiba dia melontarkan pendapat, ”Kita menerima ide NASAKOM, karena NASAKOM juga ada dalam Alquran", ujarnya. Kiai Idham Chalid, menambahkannya, bahwa iblis juga ada dalam al-Qur'an.
Partai Masyumi yang mewakili dari golongan Islam modernis, sejak awal bersikap tegas terhadap Presiden Soekarno, dan tidak mau mendukung kebijakannya, yang ingin menyatukan berbagai kepentingan ideologi, terutama komunis, yang dikenal dengan NASAKOM.
Kalangan para pemim Partai Masyumi menolak Kabinet ‘kaki empat’, karena tidak suka tehadap PKI, yang berhaluan komunis-atheis.
Sekalipun demikian, obsesi Soekarno tetap dapat diwujudkan dengan dukungan dari kalangan NU, yang diwakili oleh Idham Chalid. Sikap moderasi kalangan NU itu, selanjutnya menjadi bagian dari sebuah kekuasaan Soekarno.
NU tidak menunjukan sikap konfrontatifnya terhadap Soekarno. Ini menggambarkan bagaimana kalangan nasionalis tetap dapat ‘bersahabat’ dengan kalangan Islam yang diwakili oleh NU.
Sejarah hububungan antara golongan Nasionalis yang dipimpin oleh Soekarno dengan kalangan NU yang dipimpin oleh Idham Chalid, terus berlanjut sampai hari ini.
Hal ini nampak sekali dalam hubungan antara Mega dengan Abdurrahman Wahid. Abdurrahman Wahid menjadi presiden dan Megawati menjadi wakil presiden.
Mungkin ada ‘kekecewaan’ antara Mega terhadap Abdurrahman Wahid, tapi bukan terhadap Abdurrahman Wahid, tidak sampai menjadi sebuah ledakan politik. Hubungan antara Mega dan Abdurrahman Wahid dengan tetap berlangsung. Mega menyapa akrab terhadap Abdurrrahman Wahid dengan panggilan ‘Mas Dur’.
Sekarang di era pemerintahan Jokowi, kalangan NU lebih percaya kepada Mega dan PDIP, ketimbang kepada Koalisi Merah Putih. Kalangan NU benar-benar mendapatkan posisi yang diinginkan, dan dihormati oleh Mega dan Jokowi.
Ini tergambar dengan representasi tokoh-tokoh NU, di PKB dan PPP, dan masuk dalam kabinet Jokowi.
Sekalipun, sang ‘maestro’ PKB, yaitu Muhaimin Iskandar tidak masuk kabinet, karena ada berbagai pertimbangan. Tapi ada empat orang tokoh NU, yang masuk didalam Kabinet Kerja Presiden Jokowi.
Seperti Chofifah, Imam Nachrowi, Dhakiri, Warwan Ja’far, dan Lukman Saefuddin. Lukman Saefuddin yang mewakili PPP, ‘social originnya’ juga berasal dari NU.
Mungkin akan menjadi lengkap, jika nantinya Jokowi memilih Wakil Ketua Umum PKB, yaitu As’ad Said Ali, menjadi Kepala BIN (Badan Intelijen Negara). Sekarang, As’at adalah tokoh NU, berkarir di lembaga intelijen, dan di masa Jendral Hendropriyono menjadi Kepala BIN, As’at menjadi wakilnya.
Hubungan antara Hendropriyono dengan As’at boleh dibilang ‘very close’. Karena, keduanya menjadi tokoh penting di dunia intelijen di Indonesia. Menjadi kepala dan wakil BIN (Badan Intelijen Negara).
Termasuk masuknya As’at menjadi Wakil Ketua Umum PB NU merupakan ‘nasehat’ dari Hendropriyono. Dengan misi menangkal pengaruh ‘Wahabi’ di Indonesia.
NU dan tokoh-tokohnya menjadi ‘pilar’ kekuasaan Presiden Jokowi, termasuk mereka memiliki hubungan yang dekat Mega. Barangkali baru pertamakali ini, NU memiliki peran politik yang penting dalam kekuasaan atau pemerintahan. Sepanjang sejarah, termasuk di era Soeharto.
Selama ini, kalangan NU hanya menjadi ‘pelengkap’ setiap kekuasaan. Tapi, sekarang generasi baru NU, berada di tengah pusat kekuasaan, dan berperan.
Sementara itu, Jusuf Kalla, yang pernah berkecimpung di HMI, dan berlatar belakang NU, pernah menjadi Ketua Umum Golkar, dan wakil presiden tetap menjadi ‘play maker’ yang sangat penting. Jusuf Kalla mempunyai hubungan yang dekat dengan Mega.
Ini terbukti Mega memilih Jusuf Kalla menjadi wakil Jokowi, bukan tokoh lain. ‘Trio’ kekuasaan yang ada sekarang ini, yaitu Mega, Jokowi dan Jusuf Kalla, adalah sebuah ‘power center’, yang akan terus mengendalikan kekuasaan di Indonesia, setidaknya lima tahun ke depan.
Jusuf Kalla, berlatar belakang di HMI, dan beristrikan orang ‘Minang’, lebih dekat dengan Muhammadiyah, sekalipun, Jusuf Kalla tetap memiliki hubungan dengan tokoh-tokoh NU. Disini Jusuf Kalla memilih tim ekonomi tokoh-tokoh yang berlatar belakang dari kalangan akademisi dan aktifis Islam.
Seperti Sofyan Djalil yang berasal dari Aceh dan pernah aktif di PII (Pelajar Islam Indonesia) yang diangkat menjadi Menko Ekuin. Masuknya mantan Direktur PINDAD, Sudirman Said, yang sekarang ramai menjadi perdebatan, sejatinya sudah melalui ‘clearence’ dari Jendral Hendropriyono kepada Mega, bahwa Sudirman Said, sudah keluar dari PKS.
Banyak tokoh yang mewakili dari kalangan Muslim yang profesional masuk dalam kabinet Jokowi, termasuk Menteri Pendidikan, Menteri Pertanian, dan sejumlah menteri lainnya. Ini tak terlepas dari pengaruh dari Jusuf Kalla.
Setidaknya, menurut dari berbagai sumber yang menganalisa tokoh-tokoh yang masuk dalam gerbong Kabinet Kerja Jokowi itu, ada 40 persen dari kalangan Muslim. Ini belum pernah terjadi dalam sejarah sebelumnya.
Inilah barangkali yang membuat ‘oppose’ dari sebagian kalangan kader-kader PDIP, dan relawan yang menjadi pendukung Jokowi. Karena itu, ketika Jokowi mengumumkan Kabinet Kerja, langsung reaksi pasar, termasuk bursa saham, negatif terhadap kabinet baru Jokowi.
Dari kalangan kader-kader PDIP yang mewakili kalangan nasionalis setidaknya ada tokoh-tokoh muda, seperti Puan Maharani, yang akan menjadi ‘sucsessor’ Mega, diberi pos yang sangat strategis, sebagai Menko. Ada Tjahjo Kumolo sebagai Mendagri, yang akan mengendalikan politik dalam negeri.
Di masa depan, nampaknya model kolaborasi antara kaum Nasionalis, Islam (NU), dan profesional Muslim, yang memiliki integritas, terus berlangsung. Tidak dapat dipungkiri, Islam politik yang sekarang tumbuh, bersamaan datangnya generasi baru, terus akan mengalmi proses mobilitas vertikal, tanpa bisa dibendung oleh siapapun.
Namun, keterlibatan mereka dalam kekuasaan di pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla ini, bukan hanya 'spekulasi' politik, tapi benar-benar batu ujian. Dapatkan mereka itu melaksanakan amanah yang mereka pikul? Jika gagal eksperiman kolaborasi kaum Nasionalis, NU, dan profesional Muslim, pasti akan lahir kekecewaan baru.
Karena, seperti sudah menjadi kehendak sejarah, dan akan terus muncul generasi baru Muslim. Akumulasi generasi baru yang sekarang ini, tumbuh bersamaan dengan pendidikan yang mereka peroleh, dan banyaknya kalangan Muslim yang secara ekonomi baik.
Mereka kalangan Muslim terdidik yang pulang dari Eropa, Amerika, Jepang, dan Timur Tengah, nantinya akan mengisi seluruh pos penting dalam kehidupan nasional Indonesia. Suka atau tidak suka.
Begitu banyak jumlahnya mereka para profesional Muslim yang sekarang ‘mudik’ ke Indonesia. Mereka sudah berada di eselon dua dan tiga, dan bahkan di eselon satu.
Sejatinya nasib Islam bukan ditentukan oleh banyaknya tokoh yang masuk dalam pemerintahan atau berada dalam kekuasaan.
Nasib Islam sangat ditentukan oleh komitmen dan usaha-usaha Muslimin dalam mendakwahkan Islam ini kepada seluruh manusia. Sampai semua manusia menerima Islam sebagai sistem hildup.
Kemudian manusia hidup secara total dibawah naungan al-Qur’an, dan hanya beribadah kepada Allah semata. Itulah yang pasti. Wallahu’alam.
mashadi1211@gmail.com
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!