Sabtu, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 11 November 2017 19:55 wib
6.725 views
Kepercayaan Masuk ke Kolom KTP, Muhammadiyah: Otoritas MK seperti Otoritas Tuhan
JAKARTA (voa-islam.com)- Kekhawatiran PP Muhamamdiyah terhadap keputusan MK yang otomatis masuknya aliran kepercayaan penghayatan ke dalam kolom KTP disebabkan lembaga tersebut diduga tidak mendialogkannya terlebih dahulu ke beberapa ormas Islam dan lainnya.
“Masalahnya adalah kalau salah pandang itu bersikap akademis tidak membawa implikasi dalam keputusan-keputusan negara itu masing mending. Kita masih berdialog. Tetapi saat membawa implikasi keputusan terhadap public, dan mengikat kepada seluruh negara, bahkan menjadi hukum positif di negara ini memang akan menjadi bermasalah.
Ini juga mungkin problem ketatanegaraan kita ya, Pak Zul,” ucap Haedar Nasir, Jum’at (10/11/2017), di PP Muhammadiyah, Jakarta. Hal ini diduga kuat karena setelah kita amandeman.
“Dan ini untuk perbandingan saja, kita mengkontruksi bahkan mendelegitimasi dan devaluasi posisi MPR menjadi ad hoc,” sambungnya. Padahal dulu MPR dan DPR bersikap yang kemudian lahirlah reformasi. Kalau mereka saat itu berkonspirasi, tidak akan terjadi reformasi seperti sekarang ini, yang konstitusional.
Tapi apa yang terjadi, kita malah runtuhkan asumsi proses politik kedaulatan yang kaya seperti itu. “Namun sekarang ada lembaga yang otoritasnya menjelma sama seperti otoritas tuhan, yakni MK. Padahal isinya hanya sembilan orang. Dengan rasa hormat dan profesi masing-masing, sehebat-hebatnya sembilan orang dibanding 560 orang itu lain, lebih-lebih, maaf-maaf kami tahu persis bagaimana yang disebut oleh Weber sebagai social action atau tindakan sosial, orang itu bergerak tidak akan jauh dari suyektifitas juga tafisir yang dia miliki dan relasi dia dengan apa,” tambahnya.
Dalam situasi sekarang ini menurut Haedar tidak ada atau sulit sekali bebas dari kecenderungan tafsir subyektifitas dan relasi sosial politik. Sembilan orang ini, ia katakan pertaruhannya luar biasa untuk ambil keputusan-keputusan yang menentukan hajat bangsa. “Ini perlu menjadikan hukum ketatanegaraan kita dan politik kita yang akan datang agar sembilan orang ini tidak menentukan banyak yang diurus merah putih dan hitam putihnya Indonesia.
Dengan tetap kita akui ini sebagau intitusi resmi dan orangnya adalah orangnya profesioanal. tapi kelemahan tetap ada. sebagaimana asumsi yang tadi, yakni 560 orang saja kita berkontruksi devaluasi, bagaimana dengan yang sembilan orang,” tutupnya harap. (Robi/voa-islam.com)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!