Selasa, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 22 Oktober 2019 17:43 wib
4.258 views
YLBHI Soroti Pidato Pelantikan Jokowi
JAKARTA (voa-islam.com)—Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyoroti pidato pelantikan Presiden Joko Widodo pada Ahad (21/10/2019) di Gedung DPR/MPR Senayan, Jakarta.
Dalam keterangan tertulisnya, YLBHI mempertanyakan hilangnya visi negara hukum dan demokrasi pada pidato Jokowi. YLBHI mencatat pada lima tahun terakhir, pelanggaran HAM terus meningkat.
“Penegakan hukum justru menjadi alat kriminalisasi untuk membungkam warga yang kritis serta berjuang akan ruang hidupnya. Hukum juga menjadi sarana melanggengkan impunitas ketika tak ada satupun perkara pelanggaran HAM masa lalu diproses oleh kejaksaan Agung, serta penegakkan hukum juga terus diskriminatif kepada kelompok keyakinan minoritas,” tulis YLBHI, Senin (21/10/2019).
Pidato Jokowi ini perlu dicermati karena menggambarkan bagaimana Presiden akan menjalankan roda pemerintahan selama 5 tahun kedepan. “Presiden nampak hanya konsen terhadap pembangunan ekonomi dengan berorientasi pada hasil, dan dengan tegas menyatakan tidak penting untuk melihat proses,” tegas YLBHI.
Menurut YLBHI, statemen itu sangat berbahaya, karena dengan hanya mencapai tujuan, jika dilakukan degan cara menindas rakyat dan melanggar hak-hak warga negara yang sepenuhnya dijamin konstitusi. Pidato Jokowi menempatkan manusia-manusia Indonesia tak lebih dari sumber daya, dan tidak dipandang sebagai manusia seutuhnya.
“Sebagai sebuah bangsa kita semestinya berproses belajar bersama, tumbuh bersama dan dewasa bersama. Setia kepada proses, karena hal tersebut akan memandu kita untuk selalu berada dalam koridor demokrasi, konstitusi dan pemenuhan hak asasi manusia,” ungkap YLBHI.
Lebih lanjut, YLBHI melihat membangun sektor manufaktur dan jasa dikaitkan dengan mendorong SDM pekerja keras serta pembangunan infrastruktur, jelas-jelas memberi ruang yang besar terhadap investor. Untuk melahirkan SDM pekerja keras yang sesuai dengan selera pasar, hal itu akan beriringan dengan skema pendidikan nasional. Sama halnya dengan zaman penjajahan atau era kolonial dimana sekolah bagi bangsa pribumi adalah untuk mencetak tukang yang nantinya akan bekerja dan menghamba kepada kepentingan investasi.
“Infrastruktur ekonomi terus dibangun sementara infrastruktur demokrasi terus digembosi. Sistem politik mengabdi kepada kepentingan oligarki dan abai terhadap hak-hak rakyat. Sebagaimana halnya saat ini begitu demokrasi di dalam ruang tidak lagi memberi harapan, parlemen tak lagi sensitif dalam mendengar desakan rakyat, maka parlemen jalanan menjadi pilihan,” kata YLBHI.
“Aksi-aksi yang disambut represifitas aparat bahkan telah mengakibatkan 5 orang anak muda kehilangan nyawa. Hal itu pertanda bagaimana infrastruktur demokrasi kita “Sakit”. Bahkan lebih sakit lagi ketika tidak ada satupun ungkapan belasungkawa dari pemimpin negeri ini,” lanjutnya.
YLBHI memandang omnibus law dalam penekanan investasi dan infrastruktur seperti yang dinyatakan Presiden dalam pidato pelantikannya berpotensi melemahkan perlindungan lingkungan, dan mempermudah perampasan ruang hidup masyarakat dengan alasan diperlukan untuk investasi dan infrastruktur. Terlebih Perpres pengadaan tanah, UU PSDN dan RUU Pertanahan sudah berada pada jalur yang sama yaitu mempermudah perampasan hak-hak rakyat dengan mengkriminalisasi rakyat yg menolak menyerahkan asetnya apabila hendak digunakan untuk pembangunan dan komponen cadangan
“Catatan terakhir, membangun ekonomi tanpa membangun demokrasi ekonomi sesuai dengan mandat Pasal 33 UUD 1945 adalah merupakan cara agar sistem ekonomi kapitalis, leluasa dibangun oleh oligarki. Hal itu akan berdampak terhadap kebijakan di segala bidang serta regulasi,” jelas YLBHI.*[Syaf/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!