Senin, 23 Jumadil Awwal 1446 H / 1 Desember 2014 16:00 wib
30.091 views
Mengulik Sastra Islam
By: Husni Mubarok
Sobat muda voa-islam.com,…
Sastra adalah satu elemen seni yang tak akan terpisahkan dari peradaban manusia. Sastra mampu menyampaikan nilai-nilai kehidupan yang dinamis dengan lihai dan indah. Tanpa menggurui, tapi mengena dan tepat sasaran. Sastra juga mempunyai nilai-nilai yang tak pernah dimiliki oleh elemen seni lainnya. Bahkan mampu menciptakan jejak dan pengaruh dalam lintasan zaman yang dilaluinya.
Tak terkecuali dengan sastra yang mengusung nilai religiuitas sebagai acuan nilai-nilai yang dikandungnya. Dalam artian sastra Islam. Perlu kita sadari, bahwa sastra islami masih kalah booming dengan sastra-sastra non-islami, baik di tataran local maupun international.
Sepertinya setiap kita tak ada yang tak mengenal serial novel Harry Potter plus dengan film-filmnya yang menuai sukses di pasaran. Bahkan kekayaan JK. Rowling –sang pengarang karakter penyihir tampan berkacamata itu- melebihi kekayaan ratu inggris. Dan berderet-deret juga genre sastra sejenis semacam trilogy the twilight, the lord of the ring, dan sebagainya. Mereka –para sastrawan barat—yang notabene sekuler mampu meraup keuntungan besar sekaligus menancapkan pengaruh yang begitu luas, tak terkecuali di kalangan generasi muslim. Generasi kita begitu terkagum-kagum dengan tokoh tokoh yang mereka ciptakan dalam sastra fantasi mereka.
Oke, ini mungkin menyangkut sastra fantasi. Tapi tak menutup kemungkinan ada di kemudian hari sastra fantasi islami dengan petualangan yang tak kalah seru atau minimal sebanding dengan boomingnya Harry Potter. Bisa saja tokoh karakternya memakai nama-nama islam. Menyusupkan pesan-pesan keislaman yang kental tapi tetap bersifat menghibur dan tidak menggurui. Toh mereka juga sukses menyusupkan symbol-simbol agama mereka. JK. Rowling sukses menyusupkan symbol-simbol Nasrani dalam serial Harry Potternya. begitu juga The Lord of The Ring yang membawa pesan dan legenda yang tak jauh dari nilai-nilai jewis alias yahudi.
Sastra Islam tentunya akan sulit menjadi best seller dalam tataran internasional. Secara konsumen sastra lebih kebanyakan sekuler dibanding jumlah populasi orang muslim itu sendiri. Factor lainnya mungkin karena kemandekan para sastarawan Islam. Kita, para sastrawan muslim –perlu kita akui- tidak sekreatif dan seinovatif para sastrawan sekuler. Lihat saja buktinya. Buku-buku mereka yang diterjemahkan di negeri kita mengisi hampir sepertiga rak-rak toko buku di tanah air. Mulai dari genre roman, fiktif fantasi, science fantasi, dektektif, spionase dan lain sebagainya. Mari kita telisik karya-karya sastrawan kita. Buku-buku mereka tak pernah beranjak dan hanya berputar-putar dalam satu genre saja. Kebanyakan fiksi atau sastra islami kita hanya terbatas pada genre roman saja. Tak pernah kita menemukan fiksi detektif versi Islam, fiksi spionase versi Islam atau bahkan fantasi versi Islam. Jadinya hanya kalangan-kalangan tertentu yang menyukai roman, karena tidak semua kalangan menyukai cerita roman.
Fenomena Sastra Islam Pasca Ayat-ayat Cinta
Masih ingat dengan boomingnya novel karya Habiburrahman el Shirazy? ya, Ayat-Ayat Cinta begitu fenomenal di tanah air kita mulai awal tahun 2008 lalu. Diyakini, baik oleh para sastrawan dan ahli sastra maupun masyarakat kita –khususnya para penyuka sastra—bahwa AAC adalah roman orisinil yang sarat dan kental dengan nilai-nilai islam yang begitu kentara. Booming pula.
Setelah AAC diterbitkan dan menuai sukses besar dalam tataran nasional. Kemudian menyusul novel-novel Kang Abik (panggilan akrab habiburrahman el shirazy)- yang lainnya. Sebut saja Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2 (KCB) Dalam mihab cinta, Cinta suci zahrana dan Bumi cinta. Empat dari lima novel itu berhasil diadaptasi menjadi film dan sukses di pasaran.
Setelah itu maka seakan-akan penulis-penulis kita ikut latah. Mereka ikut ngiler dengan kesuksesan AAC dan mereka ingin menuai kesuksesan yang sama dengan jalan pintas yang boleh dibilang tak pantas untuk orang-orang yang masih bisa memegan prinsip orisinilitas karya. Maka menjamurlah penulis-penulis amatiran dengan nama ber-el-el ria. memiripkan nama dngan pengarang AAC. Begitu pun dengan judul-judul bukunya, tak akan jauh dari kata cinta. Cuma ditambahkan awalannya dengan istilah-istilah islam. Plus dengan ilustrai dan desain yang tak jauh beda dengan novel Ayat-Ayat Cinta.
Bagus sih, Cuma hal ini jelas-jelas sangat terkesan murahan dan mencederai kreatifitas itu sendiri. Efeknya orang-orang akan jenuh dengan sastra Islam, orang akan menganggap sastra Islam terlalu monoton dan membosankan. Apalagi sastra kita hanya mengandalkan cerita roman. Seperti yang pernah saya singgung di awal. [PurWD/voa-islam.com]
malam yang dingin dan damai
Indihiang, 29 Nopember 2014
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!