Jum'at, 29 Jumadil Akhir 1446 H / 19 Januari 2024 17:23 wib
33.227 views
Memilih Pemimpin Secara Emosional, Jangan Sampai Menyesal
Oleh: Aily Natasya
Usai debat calon presiden yang dilaksanakan pada Minggu, 7 Januari 2024 yang mengangkat tema pertahanan, Keamanan, Geopolitik, dan Hubungan Internasional, mendapatkan banyak sekali reaksi simpati dari publik akibat kegagalan Pak Prabowo dalam menguasai debat. Alih-alih mengkritik beliau karena kurang serius dalam menanggapi persoalan yang sedang dibahas, publik malah merasa kasihan terhadap beliau.
Publik menganggap bahwa beliau (Pak Prabowo) diserang habis-habisan oleh Pak Anies dan Pak Ganjar. Sontak para pendukung beliau pun beramai-ramai merekam tangisan mereka dan mengunggahnya ke sosial media sebagai bentuk simpati mereka terhadap Pak Prabowo.
Terlihat mengharukan namun aslinya memalukan. Sebuah hal yang kekanak-kanakan untuk seorang calon presiden untuk ditangisi seperti itu hanya karena debat. Debatnya masih dengan orang dalam negeri, untuk diskusi, bukan negosiasi.
Ya, bayangkan, tugas pemimpin negara itu banyak sekali. Apalagi untuk Indonesia yang masih banyak hal-hal yang harus diperbaiki. Karena banyak yang harus diperbaiki, maka akan banyak tantangan yang harus dihadapi oleh beliau nantinya. Serangan negara lain, serangan orang dalam negeri seperti koruptor, rakyat yang menuntut perbaikan dan keadilan, dan masih banyak lagi hal rumit lainnya. Diserang oleh dua kandidat calon presiden adalah hal yang sangat kecil.
Jadilah pemilih, bukan pendukung
Apa perbedaan dari istilah tersebut? Bedanya adalah dari segi perspektif. Seorang pemilih hanya akan memilih, namun tidak akan mendukung. Dia tidak akan mendukung sesuatu yang melanggar prinsip dan ideologinya. Seorang pemilih pun akan mudah berganti memilih calon lain jika ada calon lain yang ternyata lebih baik. Sebaliknya, seorang pendukung akan terus menjadi mendukung calon yang dipilihnya. Tak peduli jika nanti di tengah jalan ternyata calon yang didukungnya saat itu ternyata sudah bertentangan dengan ideologi dan prinsipnya.
Jadi, tingkat loyalitasnya berbeda. Pemilih tidak memiliki loyalitas kecuali pada apa-apa yang masih sejalan dengan prinsip dan ideologinya dalam memilih calon presiden. Sedangkan pendukung, mereka tidak peduli akan hal itu. Apa pun akan dia lakukan demi mendukung calonnya, dan bertekad tidak akan melirik ke calon lain. Di matanya, walau ada masalah, dia akan terus mendukung calonnya.
Dari kedua kategori tersebut, dapat kita pahami mana yang pakai perasaan dan mana yang pakai rasionalitas. Karena dalam memproses informasi, rasionalitas adalah hal yang paling utama. Dan untuk memutuskan siapa pilihan kita, maka butuh informasi sekaligus menganalisa informasi tersebut. Informasi rekam jejak dari ketiga calon, informasi visi misi, informasi partai, informasi hasil kinerja, dan lain-lain.
Walaupun pemerintahan Indonesia sudah cacat sistemnya, setidaknya kita sudah berusaha sebaik mungkin untuk memilih pemimpin yang baik. Walau juga, pemimpin yang baik seringnya dilengserkan karena dianggap tidak menguntungkan bagi pejabat-pejabat di dalamnya. Di dalam dunia demokrasi, kejujuran dan keadilan adalah dua hal yang sangat mewah. Hampir mustahil untuk diberantas.
Maka dari itu, semoga Indonesia segera pulih dari kecacatan sistem ini dan segera menegakkan sistem yang sempurna. Sistem yang tidak membuat manusia lain dirugikan hanya karena ingin menguntungkan nafsu pemimpin dalam mencari keuntungan duniawi.
Jadi, mari kita bijak dalam memilih dengan tidak mengandalkan emosional dan sentimental, melainkan menggunakan rasionalitas dengan penuh analisa. Wallahua’lam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!