Sabtu, 5 Rabiul Akhir 1446 H / 8 Juni 2024 06:01 wib
28.354 views
Haruskah Melihat ke Bawah agar Bersyukur?
Oleh: Ameena N
Nasehat “Lihat orang yang lebih di bawah kita agar kita menjadi orang yang bersyukur” dengan berbagai versi bahasa sudah menjadi hal yang sangat lumrah. Kita sangat familiar dengan kalimat tersebut walau pun perilaku kita belum sepenuhnya mengamalkan nasehat tersebut. Karena rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau memang.
Yang miskin iri dengan yang kaya, yang kaya juga iri dengan yang miskin. Yang miskin iri karena yang kaya punya mobil, yang kaya iri dengan yang miskin karena memiliki keluarga yang jauh lebih bahagia. Seringkali terjadi. Maka dari itu, melihat ke arah bawah ini tidak selalu tentang orang yang lebih miskin atau lebih rendah status sosialnya. Namun lebih kepada sesuatu yang tidak mereka miliki, namun kita punya itu. Seperti walau si kaya tidak memiliki hubungan keluarga yang baik, setidaknya mereka tidak merasakan panasnya terik matahari karena selalu dikelilingi oleh air conditioner. Begitu pula dengan yang miskin, dia mungkin harus berpanas-panasan setiap hari demi mengais rezeki, namun keluarganya harmonis setiap saat.
Rasulullah saw. bersabda,
“Lihatlah kepada orang-orang yang lebih rendah daripada kalian, dan janganlah kalian melihat kepada orang-orang yang berada di atas kalian, karena yang demikian itu lebih patut bagi kalian, supaya kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang telah dianugerahkan kepada kalian.” (Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh Al-Bukhari 6490, Muslim 2963 (9), dan ini lafazhnya; At-Tirmidzi 2513 dan Ibnu Majah 4142).
Itu merupakan contoh sederhana saja. Karena fakta di lapangan lebih bervariasi dan menyentuh hati. Namun yang baru-baru ini menjadi pertanyaan adalah, jika kita harus melihat ke bawah terlebih dahulu untuk bisa bersyukur, yang paling bawah sekali melihat ke mana?
Tidak selalu “di bawah” itu artinya kita melihat keadaan orang lain yang kita anggap di bawah kita dari segi ekonomi atau pun status sosial. Melihat ke bawah di sini bisa juga melihat keadaan kita yang dulu ketika masih di bawah. Dulu kita nggak bisa makan nasi pakai ayam, sekarang alhamdulillah bisa makan ayam setiap hari. Bahkan kalau pun makan ayamnya doang, nggak pakai nasi pun udah nggak ngerasa sayang lagi. Kita pun menjadi bersyukur kepada Allah karena hal itu.
Sebagaimana yang tadi kita contohnya sebelumnya, bahwa yang kaya bisa mengambil hikmah dari yang miskin, begitu pun sebaliknya, yang miskin bisa pula mengambil hikmah dari yang kaya. Jadi tidak melulu tentang yang kaya melihat yang miskin, lalu yang miskin melihat ke yang lebih miskin, dan begitu sampai terus ke bawah, bukan. Karena soal bawah dan atas itu relatif, dan bukan hak kita untuk menilai siapa yang harusnya disebut ‘yang bawah’ dan siapa yang layak di sebut ‘yang atas’.
Bersyukur itu sebenarnya mungkin tidak mudah, karena manusia cenderung angkuh akan apa yang Allah berikan padanya. Harta, kekayaan, keluarga, prestasi, ketenaran, kita seringkali kebablasan menganggap bahwa semua itu kita raih dengan usaha kita sendiri, tanpa ada peran Allah sama sekali. Karena bersyukur itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, maka dari itu Allah menjanjikan kenikmatan yang lebih banyak bagi orang yang bersyukur.
“Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterimakasih.” (Saba: 13)
“Dan (ingatlah) ketika Rabbmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (Ibrahim: 7)
Bersyukurlah, akui nikmat yang kita nikmati saat ini adalah dari Allah. Bersyukurlah, ucapkan rasa syukur kita lewat lisan, sebut nikmatNya, ucapkan berkali-kali bahwa semua nikmat tersebut adalah dari Allah. Bersyukurlah, cerminkan rasa syukur kita melalui aktivitas ibadah kita. Wallahua’lam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!