Rabu, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 27 Juni 2018 22:38 wib
7.191 views
Memenangkan Islam Melalui Demokrasi, Mungkinkah?
Oleh : Wardah Abeedah
Gelombang kesadaran politik kaum muslimin akhir-akhir ini semakin meningkat. Kerinduan akan pemimpin muslim yang hakiki, sekaligus bisa hidup di bawah naungan Islam menyerebak di seluruh penjuru nusantara. Hal ini bisa kita saksikan melalui diskusi dan dialog yang ramai diperbincangkan baik di dunia maya ataupun nyata. Tema utama membidik seputar politik Islam.
Para ulama tak lagi malu-malu menyampaikan orasi politik dalam ceramah dan tausiyahnya. Mimbar-mimbar tak lagi melulu membahas ibadah mahdah semata seperti shalat dan ibadah sunnah semata. Akun media sosial para ustadz dan ulama tak lagi hanya diramaikan postingan soal manajemen hati dan siraman kalbu. Mereka menuntun umat untuk menyikapi berbagai persoalan kehidupan baik itu ekonomi, social dan politik dengan Islam. Termasuk dalam persoalan pemilihan kepala daerah yang serentak digelar di negeri ini.
Efeknya, umat sadar untuk ingin hidup di bawah syariat Islam dan dipimpin oleh Imam yang akan menerapkan Islam. Mereka membayangkan cita-citanya akan terwujud dengan pesta demokrasi. Pilkada serentak yang ada, bahkan dijadikan barometer untuk kesuksesan pilpres tahun mendatang. Sebuah harapan besar akan berakhirnya rezim yang represif terhadap Islam, dan berganti dengan kemenangan Islam dan tegaknya syariat di bumi pertiwi. Pertanyaannya, akankah ekspektasi mulia umat yang tinggi terhadap demokrasi ini bisa terwujud?
Untuk menjawabnya, mari kita cermati ulasan berikut:
1. Demokrasi bukan sistem Islam. Demokrasi atau dalam Bahasa Arab disebut ‘ad-Dimuqratiyah’ merupakan istilah asing yang tak memiliki akar dalam Bahasa Arab. Ia merupakan bahasa serapan karena memang bukan merupakan bagian dari ajaran Islam. Syaikh Dr. Muhammad Syakir al-Syariif penulis buku Haqiiqatud Diimuqraathiyyah mengungkapkan, bahwa setiap kata yang bukan berasal dari bahasa arab, ketika kita ingin memahami pengertiannya, maka kita harus memahami makna dan mengetahui hakikat pengertiannya dengan mengembalikannya pada pemahaman asal kata tersebut di tempat kemunculannya.
Secara terminologi (ishtilaahi), demokrasi secara lugas ialah sistem pemerintahan yang secara konseptual memiliki prinsip dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Rakyat yang berdaulat, rakyatlah yang berkuasa dan berhak mengatur dirinya sendiri. Makna kata ‘Kedaulatan’ itu sendiri ialah “sesuatu yang mengendalikan dan melaksanakan aspirasi”. Dikenal istilah vox populi vox dei (suara rakyat suara Tuhan).
Secara definisi ataupun hakikat demokrasi, jelas demokrasi berbeda jauh dengan konsep syura atau musyawarah dalam Islam. Demokrasi pertama kali muncul di negeri Yunani yang kemudian di masa abad pertengahan diterapkan di Eropa demi mengurangi dan menghapus keabsolutan kerajaan Kristen Eropa yang diktator dan dzalim.
Di masa modern kini, demokrasi menjadi sistem pemerintahan di bawah ideologi Kapitalisme. Dengan demokrasi, Barat menyebarkan ideologi Kapitalismenya dan menguasai dunia secara ekonomi dan politik termasuk di Indonesia. Di AS ada sebuah semboyan Demokrasi yang terkenal : “The Golden Rule of Democracy is Those who have Golds are Ruler” (aturan emas dari Demokrasi ialah siapa yang memiliki emas (uang), dialah penguasa). Presiden AS ke 43, George W. Bush sendiri dalam pidato kenegaraan, menyatakan: “Jika kita mau melindungi Negara kita dalam jangka panjang, hal yang terbaik yang dilakukan ialah menyebarkan kebebasan dan Demokrasi”. Sebelumnya, Bush menekankan pentingnya Demokratisasi Timur Tengah.
Dalam demokrasi, pemimpin dan legislator yang membuat hukum memang dipilih oleh rakyat. Tapi pada faktanya banyak sekali kebijakan mereka yang tak mewakili suara rakyat. Undang-Undang tentang SDA, ESDM misalnya. Begitupun saat rakyat menolak kenaikan BBM, atau ketika rakyat menginginkan kontrak Freeport dihentikan, pemerintah dan DPR tak mewakili suara rakyat. Mengenai keberpihakan terhadap Islam, pemerintah sering tak seiya sekata dengan rakyat.
Soal Perppu Ormas, UU yang membolehkan kafir menjadi pemimpin, penutupan situs-situs Islam, penolakan kriminalisasi pelaku LGBT yang merupakan dosa besar dalam Islam juga mendapat banyak pertentangan di tengah rakyat Indonesia yang merupakan Negara dengan penduduk muslim terbesar dunia. Kerja, kerja dan kerja yang mereka lakukan selama 72 tahun lebih Indonesia menerapkan demokrasi, belum mampu menjadikan Indonesia menerapkan syariat Islam. Justru melalui demokrasi, pemimpin kafir atau pemimpin muslim yang anti Islam sangat boleh berkuasa jika suara terbanyak memilihnya.
Dari sejarah kemunculannya yang berasal dari Barat yang sejak lama memusuhi Islam, bagaimana kita akan berharap demokrasi akan memenangkan Islam? Mungkinkah Pesta demokrasi yang ada akan menjadikan pemimpin pilihan menerapkan syariat Islam?
2. Fakta kemenangan partai Islam dunia
Beberapa kelompok menjadikan demokrasi sebagai jalan perjuangan memenangkan Islam. Di Aljazair, terdapat partai FIS (Front Islamique du Salut, Front Keselamatan Islam) yang dikenal dengan Partai Islam dan berpihak pada Islam. Pada Januari 1992, melalui jalan demokrasi, pada Pemilu 1991 FIS meraih 54% suara dan mendapat 188 kursi di parlemen atau menguasai 81% kursi. Pada Pemilu putaran kedua, FIS pun dinyatakan menang telak. Namun militer mengambil alih kekuasaan dan membatalkan hasil pemilu yang dimenangkan oleh FIS Para pemimpin dan anggota kunci partai yang baru berdiri pada 1989 ini segera digiring ke Gurun Sahara dan diinterogasi secara kejam.
Tahun 2006 juga menjadi kemenangan pemilu bagi HAMAS, yang dikenal sebagai partai politik Islam yang cukup militant dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina. HAMAS meraih 76 dari 132 kursi parlemen (lebih dari 57 persen). Adapun Partai Fatah meraih 43 kursi dan partai-partai lain meraih 13 kursi. Meski kemenangan HAMAS diperoleh dari jalan demokrasi, namun Namun ternyata, kursi kepresidenan masih dikuasai oleh Fatah melalui Mahmud Abbas.
Di Mesir, Muhammad Mursi memenangkan Pilpres pada tahun 2012. Muhammad Mursi yang merupakan pentolan kelompok Ikhwanul Muslimin melalui partai FJP ( Partai Kebebasan dan Keadilan) terpilih sebagai presiden dengan perolehan suara 51,7 persen atau 13,4 juta suara. Setahun berkuasa, Mursi ditumbangkan oleh junta militer Mesir yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Abdul Fattah al-Sisi menteri pertahanan dan produksi kemiliteran atas arahan Barat. Lebih dari itu, para pemimpin Ikhwanul Muslimin pun ditangkap dan dipenjara.
Dari fakta sejarah di atas, bisa disimpulkan bahwa pesta demokrasi tak bisa dijadikan jalan kebangkitan Islam. Pada Arab Spring, kejatuhan para dictator di Timur Tengah justru terjadi karena perjuangan umat Islam diluar parlemen. Begitu pula kejatuhan Orde Baru yang dipimpin Presiden Suharto selama 32 tahun.
3. Kemenangan Islam teradahulu Rasulullah pernah ditawari kekuasaan oleh Kauam Quraisy dengan syarat meninggalkan dakwahnya. Namun beliau SAW menolaknya. Ibnu Hisyam dalam kitab sirahnya menuturkan,
“Berbagai upaya tak henti dilakukan oleh kaum Quraisy agar Rasulullah saw menghentikan dakwahnya. Mereka berembuk untuk mencari cara lain. Hasilnya: mereka mengirim utusan untuk membujuk Rasulullah saw dengan mengajukan sebuah tawaran menarik. Akan tetapi, Muhammad saw tetap bergeming.
“Aku tidak ada urusan dengan apa yang kalian katakan. Apa yang aku bawa bukan untuk meminta harta dan kekuasaan kalian,” ujar Nabi saw.
“Allah telah mengutusku sebagai Rasul, Dia menurunkan Kitab kepadaku, dan memerintahkanku untuk menjadi orang yang memberikan kabar gembira dan kabar tentang ancaman,” nabi Muhammad saw melanjutkan perkataannya.
“Aku sampaikan risalah Rabb-ku dan aku mcmberikan nasihat kepada kalian. Jika kalian menerima, kalian akan beruntung dunia dan akhirat. Jika tidak, aku akan bersabar hingga Allah yang memutuskan perkaraku dengan kalian,” tegas Rasulullah saw.”
Rasulullah menolaknya karena kekuasaan yang ditawarkan bukan kekuasaan untuk menerapkan Islam. Berbeda dengan nusrah (pertolongan) berupa kekuasaan yang diberikan oleh kaum Anshar pada Bai’at Aqabah kedua. Nushrah yang mereka berikan kepada Nabi saw. tanpa syarat, apalagi syarat yang menyalahi hukum syara’. Mereka menyerahkan nushrah dan kekuasaan karena ketundukan pada hukum Allah. Ini terjadi secara alamiah setelah berbagai thariqah perjuangan kemenangan Islam beliau tempuh.
Mulai membina kelompok dakwah, kemudian bersama kelompoknya, sang Rasul berinteraksi di tengah masyarakat untuk mengubah pemahaman, standard dan keridhoan masyarakat dari yang bukan Islam menjadi pemahaman Islam, menjadikan Islam sebagai standard dalam setiap aktivitas dan qana’at (keridhoan) ummat hanya jika diatur dengan syariat. Setelah itu terwujud di Madinah terutama di kalangan Anshar, kekuasaan itu menjadikan Rasulullah SAW memimpin Negara Madinah dengan Islam, dengan hukum Allah semata. Kemenangan Islam itu terus berlanjut hingga berbagai futuhat (pembebasan) yang dilakukan para khalifah sepeninggal beliau menjadikan Islam berkuasa dan menggemilangkan dunia di hampir dua pertiga permukaan bumi.
Demokrasi memang bisa dijadikan alat untuk mencapai kekuasaan. Tapi demokrasi tak akan membiarkan Islam berkuasa dan menang. Lalu masihkah, kita akan berharap pada demokrasi? Padahal kemenangan Islam terdahulu justru diraih melalui jalan dakwah yang dituntun wahyu. Ketika saat ini kita ingin mengembalikan kejayaan Islam, maka wajib hukumnya mengambil metode Rasulullah dan para sahabatnya yang telah berhasil meraih kekuasaan yang memenangkan Islam, bukan denga demokrasi yang tak sesuai Islam. Wallahu a’lam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!