Senin, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 23 Juli 2018 13:15 wib
4.250 views
Tikus Politik Kembali Beraksi, Tuntaskan Dengan Sistem Islam
Oleh: Ulfiatul Khomariah
(Freelance Writer, Pemerhati Masalah Sosial dan Politik)
“Selamat! Anda masuk di kawasan negeri para koruptor!” Mungkin ungkapan seperti ini sangat cocok jika ditujukan kepada negeri darurat korupsi bernama Indonesia. Negeri yang terkenal kaya karena melimpahnya sumber daya alamnya, namun miskin penduduknya.
Tak bisa di pungkiri, tindak pidana korupsi di Indonesia merupakan penyakit klasik yang tidak kunjung terobati. Meskipun upaya-upaya pemberantasannya sudah di lakukan dengan berbagai cara, namun pada faktanya korupsi di Indonesia malah semakin menggurita.
Masih hangat dalam ingatan drama Indonesia tahun lalu, kelucuan papa Setnov sempat menguras emosi publik dengan jurus tiang listriknya. Meskipun sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi KTP Elektronik, namun proses hukum masih berbelit untuk memenjarakannya.
Tak ada efek jera. Ibaratkan mati satu tumbuh seribu, hal ini juga berlaku bagi para koruptor. Jika tahun 2017 lalu ada papa Setnov, maka tahun 2018 ini ada Zumi Zola. Ia lahir sebagai tikus baru dalam perpolitikan yang kini menyandang status tersangka di KPK berkaitan dengan kasus gratifikasi dan suap ke anggota DPRD Jambi.
"KPK menemukan bukti permulaan yang cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi pemberian hadiah atau janji terkait pengesahan RAPBD Provinsi Jambi tahun anggaran 2017 dan 2018. Terkait hal tersebut, KPK meningkatkan kembali satu perkara ke penyidikan dengan tersangka ZZ (Zumi Zola)," kata Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa (10/7/2018). (news.detik.com)
Hal ini menjadi bukti nyata betapa lemahnya hukum di Indonesia dalam menangani masalah korupsi. Lebih ajaibnya lagi, para koruptor bahkan berani melakukan teror terhadap para aparat penyidik. Mulai dari bom molotov hingga air keras, semua pernah terjadi. Namun mirisnya, tak satu pun pelaku teror yang terungkap ke publik. Tentu hal ini menjadi tanda tanya besar dalam benak kita, sebenarnya ada apa di negeri Indonesia ini?
Kapitalisme Akar Korupsi
Perlu kita ketahui, masalah korupsi tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga terjadi di banyak negara lainnya. Tertinggi di Somalia, Eropa, bahkan di negara pengekspor ideologi kapitalisme, Amerika Serikatpun masih menjadi PR besar.
Presiden mereka Donald Trump bahkan terjerat 3500 kasus hukum. USA Today melaporkan kasus hukum yang melilit Donald Trump meliputi kasus pribadi dan perusahaan-perusahaannya yang terjadi sejak 31 tahun yang lalu. Trum terlibat dalam 1.900 kasus sebagai penggugat, tergugat 1.450 kasus, dan sisanya kasus pailit atau yang merujuknya sebagai pihak ketiga. 1.700 diantaranya kasus bisnis kasino, selain tuntutan hukum properti yang bernilai jutaan dolar. Meski begitu, di 2016 Trump tetaplah lolos menjabat orang nomer satu di negeri Paman Sam itu.
Negara maju seperti Amerika Serikat sekalipun, dengan sistem ekonomi kapitalis-liberal yang dijalankannya, tidak pernah bebas dari korupsi. Apalagi negeri yang kesejahteraannya masih morat-marit, menghambat laju korupsi dipastikan akan sangat sulit. Pemerintahan yang bersih dan akuntabel memang sukar diwujudkan dalam sistem kapitalisme. Ketamakan yang menjadi watak dasar sistem ini mendorong munculnya para koruptor.
Ideologi kapitalisme yang bernafaskan sekularisme telah menghilangkan nilai-nilai ketakwaan dari politik dan pemerintahan. Akibatnya, tidak ada kontrol internal yang tercipta menyatu dalam diri politisi, pejabat, aparatur, dan pegawai. Akhirnya, semua hanya bersandar pada kontrol eksternal, dan pengawasan dari atasan, inspektorat dan aparat hukum. Masalahnya, mereka semuanya tidak jauh beda bahkan sama saja.
Ditambah lagi sistem demokrasi yang mahal menjadi salah satu sumber masalah korupsi. Butuh biaya besar untuk menjadi politisi, kepala daerah maupun presiden. Untuk menjadi kepala daerah saja butuh puluhan bahkan ratusan miliar, tidak akan tertutupi dari gaji dan tunjangan selama menjabat. Untuk balik modal, terjadilah cara-cara ‘legal tapi curang’ atau ‘curang tapi legal’, seperti proses tender yang sudah diatur, dsb yang sudah menjadi rahasia umum. Cara tersingkat adalah dengan penyelewengan dan korupsi.
Sedangkan penegakan hukum terhadap koruptor tidak menciptakan efek jera dan gentar. Sistem hukum terlalu berbelit untuk membuktikan kasus korupsi dan banyak celah bagi koruptor untuk lolos. Sanksi bagi koruptor juga terlalu ringan, jangankan mencegah orang melakukan korupsi, bahkan para koruptor sekalipun tidak jera untuk melakukan korup lagi.
Hal ini menunjukkan betapa lemahnya penegakan hukum di Indonesia dalam menangani masalah korupsi. Korupsi bebas dari negeri ini hanya akan menjadi sebatas mimpi. Koruptor akan terus beranak-pinak di negeri ini selama kapitalisme dan seperangkat demokrasinya tidak diganti. Maka dari itu butuh sistem yang benar-benar sudah terbukti mampu menangani masalah korupsi. Sebab sistem yang ada saat ini (kapitalisme-demokrasi), baik diakui atau tidak, justru menjadi faktor muncul dan langgengnya korupsi.
Islam Punya Solusi
Bebas dari korupsi tentunya hanya bisa tercapai jika pemberantasan korupsi dilakukan menggunakan sistem Islam. Dalam sistem Islam, salah satu pilar penting dalam mencegah korupsi ialah di tempuh dengan menggunakan sistem pengawasan yang bagus.
Pertama, pengawasan yang dilakukan oleh individu. Kedua, pengawasan dari kelompok, dan ketiga, pengawasan oleh negara. Dengan sistem pengawasan ekstra ketat seperti ini tentu akan membuat peluang terjadinya korupsi menjadi semakin kecil, karena sangat sedikit ruang untuk melakukan korupsi.
Begitupun sistem politik Islam termasuk dalam hal pemilihan pejabat dan kepala daerah, tidak mahal. Sebab kepemimpinan Islam tidak tunggal, pengangkatan dan pencopotan pejabat negara menjadi kewenangan Khalifah. Sehingga, tidak akan muncul persekongkokolan mengembalikan modal dan keuntungan kepada cukong politik. Juga tidak muncul ketamakan melakukan korupsi untuk balik modal.
Sanksi bagi para pelaku koruptor pun mampu memberikan efek pencegahan dan menjerakan serta bertindak sebagai penebus dosa (al-jawabir). Sebagai bagian dari ta’zir, bentuk dan kadar sanksi atas tindak korupsi diserahkan kepada ijtihad Khalifah atau qadhi (hakim).
Bisa disita seperti yang dilakukan Umar, atau tasyhir (diekspos), penjara, hingga hukuman mati dengan mempertimbangkan dampak, kerugian bagi negara dan dhararnya bagi masyarakat. Hal inilah yang tidak dimiliki oleh sistem yang diterapkan sekarang.
Itulah strategi Islam dalam pemberantasan korupsi, ini memang harus diterapkan secara menyeluruh, tidak sebagian-bagian demi sempurnanya kemaslahatan yang diinginkan. Karenanya, bersegeralah Indonesia untuk menerapkan Islam secara kaffah.
Karena Islam adalah sistem yang paling tepat untuk menyelesaikan karut marut pemberantasan korupsi yang sudah kronis di negeri ini. Wallahu a’lam bish-shawwab. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!