Ahad, 26 Jumadil Awwal 1446 H / 27 Januari 2019 16:01 wib
4.132 views
Polemik Baasyir: Blunder Tumpang Tindih Identitas Jokowi
Oleh:
Aditya Nurullahi Purnama, peneliti Lembaga Kajian Lingkar Studi Tjokro (LST) Semarang
KABAR pembebasan Abu Bakar Baasyir muncul pertama kali dalam salah satu unggahan Yusril Ihza Mahendra di akun twitternya, @yusrilihzamhd. Sebagaimana diketahui Yusril adalah salah satu pakar hukum terkemuka dan kini dipercaya sebagai penasihat hukum pasangan calon presiden Jokowi-Ma’ruf. Wacana ini sebenarnya sudah digulirkan oleh Presiden pada Maret 2018 atas pertimbangan kemanusiaan mengingat usia Baasyir yang kian renta. Namun wacana tersebut akhirnya kandas karena kendala aturan.
Wacana pembebasan Baasyir sebenarnya terjadi di waktu yang rentan, tahun pilpres. Hal yang wajar ketika kabar ini menjadi topik hangat untuk terus dibicarakan di ruang publik (public sphere) mengingat sense of criticism masyarakat Indonesia semakin terasah semenjak merebaknya wacana hoax dan nalar mereka yang mudah terangsang untuk mengintip motif dari setiap kegiatan paslon menjelang gelaran pilpres.
Menguatnya polemik isu ini di masyarakat kemudian ditanggapi oleh Yusril selaku penasihat hukum Jokowi-Ma’ruf. Menurutnya, motif pembebasan Baasyir yang berdekatan dengan pilpres sebenarnya mangacu pada hukum yang ada dan merupakan instruksi langsung dari Presiden atas pertimbangan kemanusiaan. Dalam konferensi persnya pun Yusril menambahkan bahwa pembebasan Baasyir ini sebagai wujud kecintaan Presiden terhadap ulama. (Republika, 21 Januari 2019).
Tidak lama berselang setelah wacana kabar pembebasan Baasyir menguat, muncul kabar terbaru dari Menkopolhukam, Wiranto. Melansir surat kabar Republika 22 Januari 2019, Wiranto menyampaikan bahwa keputusan pembebasan Baasyir belum final dan masih dalam tahap pertimbangan. Menurutnya ada aspek yang perlu dikaji lebih lanjut seperti perihal ideologi Pancasila, NKRI, hukum, dan lain-lain. Keputusan ini disampaikan Wiranto setelah Presiden memerintahkan pejabat terkait melakukan kajian lebih mendalam.
Terjadinya simpang siur informasi dari istana mencerminkan ketidakberesan pola komunikasi Presiden dengan lingkaran di sekelilingnya. Siaran pers yang kontradiktif antara penasihat hukum capres petahana Jokowi dan Menkopolhukam Wiranto, selaku pembantu Presiden Jokowi menimbulkan citra bahwa istana bersikap gegabah dalam menangani isu hukum. Pada satu sisi, penulis mengamati bahwa tumpang tindih identitas Jokowi sebagai Presiden dan calon presiden membuat ia sedikit ceroboh dalam mengambil keputusan. Pertama, Yusril sejatinya adalah penasihat hukum tim kampanye Jokowi-Ma’ruf, bukan penasihat Presiden Jokowi.
Pertimbangan untuk membebaskan Baasyir bisa dilihat sebagai saran politis yang disampaikan Yusril dalam rangka merebut hati kaum islamis dan meningkatkan potensi elektabilitas Jokowi. Saran politis ini bisa dilihat sebagai wujud kecemasan Yusril yang melihat ketidakmampuan istana dalam meredam gejolak kelompok Islamis. Misalnya adalah peristiwa Reuni Akbar 212 yang dihadiri ribuan warga di Bundaran Gladak Solo pada 13 Januari 2019. Acara yang digelar dalam bentuk tabligh akbar tersebut secara implisit mengirimkan pesan ke istana bahwa distribusi keresahan atas pemerintah dan spirit 212 yang sempat terkonsentrasi di Ibu kota nyatanya tetap menggema bahkan bunyinya telah sampai di jantung kota Solo yang merupakan tempat Presiden Jokowi berasal.
Celakanya, aksi tersebut juga tidak berjalan cukup lancar sesuai rencana panitia. Pasalnya pihak kepolisian terkesan menghalangi acara tersebut dengan alasan ketertiban sehingga acara tersebut hanya berlangsung terbatas dan sebentar saja. Pada sisi luar kota Solo bahkan terjadi aksi pencegatan sejumlah massa yang datang dari luar Solo. Mereka hendak hadir pada acara tersebut namun dihalau oleh pihak kepolisian dengan dalih keamanan dan ketertiban. Meskipun tindakan represi tersebut tidak tersiar di siaran berita arus utama, aksi penghalauan tersebut sempat viral di sosial media dan menuai reaksi yang beragam.
Kecemasan tidak berhenti disitu
Pada saat yang bersamaan kubu oposisi, Prabowo-Sandi sedang gencarnya melakukan gempuran kampanye di “kandang banteng” di Jawa Tengah beberapa hari terakhir. Bahkan kubu Prabowo-Sandi cukup berani mendirikan sekaligus dua pos pemenangan di Solo. Pos pemenangan pertama berlokasi di dekat kediaman Jokowi di Solo dan pos pemenangan kedua berlokasi bersebelahan dengan warung usaha Markobar milik putra Presiden Jokowi. Pendirian pos pemenangan yang berlokasi di basis lawan bisa dilihat sebagai pesan ofensif dari kubu oposisi dan wujud keseriusan mereka dalam merebut suara secara signifikan dari kubu lawan di kandang sendiri.
Penulis menilai bahwa dua peristiwa di atas bisa menjadi salah satu indikator atau bahan pertimbangan rasional yang digunakan Istana untuk melakukan normalisasi suasana panas di Solo. Berangkat dari dua premis di atas maka diperlukan langkah yang cukup rasional untuk segera diambil mengingat tersisa sekitar 3 bulan sebelum masa pencoblosan. Salah satunya adalah dengan memenangkan hati kelompok Islamis dengan membebaskan Baasyir yang dikenal sebagai figur ulama yang dihormati di Solo.
Menurut hemat penulis, melalui pembebasan Baasyir diharapkan tercipta sebuah narasi yang menyajikan bahwa Presiden Jokowi merupakan sosok yang mencintai Ulama dan menghormati kelompok Islamis meskipun narasi tersebut bersembunyi dibalik pesan “faktor kemanusiaan”. Namun jika premis yang coba dibangun adalah karena faktor kemanusiaan, mengapa hanya Baasyir saja yang dibebaskan mengingat tahanan yang sudah renta bukan hanya dia?
Berangkat dari opini tersebut bisa disimpulkan secara sederhana bahwa saran Yusril selaku penasihat hukum Tim Kampanye Nasional Jokowi –Ma’ruf adalah saran yang politis untuk tujuan yang politis.
Kembali pada isu tumpang tindih identitas Jokowi. Menurut Mafud MD, pakar hukum tata negara yang dilansir dari surat kabat antara 25 Januari 2019, menyatakan bahwa prosedur pembebasan Baasyir sudah keliru sejak awal. Hal tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 99/2012 yang mengatur tentang pembebasan bersyarat.
Menurutnya, pihak yang berhak melakukan pembebasan warga binaan adalah Menteri Hukum dan HAM dengan mendelegasikan kepada Dirjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, bukan melalui Yusril. Terlebih, posisi Yusril adalah sebagai penasihat Jokowi sebagai calon presiden, bukan penasihat Jokowi sebagai presiden apalagi pejabat Kementerian Hukum dan HAM. Selain itu mekanisme pembebasan warga binaan jika sesuai peraturan adalah dengan melalui pembinaan terlebih dahulu dan bersedia menyatakan komitmennya pada Pancasila dan UUD 1945 sedangkan dalam kasus ini Baasyir tetap bersikukuh untuk tidak menandatangani surat pernyataan setia pada Pancasila dan NKRI.
Dalam salah satu keterangan persnya di Istana Merdeka, Presiden Jokowi menyampaikan bahwa pembebasan bersyarat Baasyir tidak mungkin dilaksanakan jika menabrak mekanisme hukum yang berlaku. (Antara, 25 Januari 2019).
Meskipun Presiden Jokowi akhirnya secara implisit mengakui bahwa wacana pembebasan Baasyir dibatalkan karena terbentur aspek hukum, masyarakat telah menilai bahwa pemerintah terkesan mempemainkan persoalan hukum. Lebih fatalnya, penyikapan isu hukum Baasyir tersebut terkesan mempermainkan martabat seorang ulama melalui pemberian harapan palsu oleh negara. Sikap gegabah pemerintah ini tidak menutup kemungkinan akan mencederai perasaan kelompok Islamis sehingga menghasilkan sentimen yang meningkat terhadap pemerintah.
Jelas potensi ini merupakan preseden buruk bagi elektbilitas Jokowi yang semula hendak menampilkan kesan "bersahabat" dengan ulama dan kelompok Islamis. Selain itu masyarakat juga menilai bahwa sumber ketidakseriusan ini bahkan muncul dari figur Jokowi yang cenderung gegabah dalam menempatkan posisinya sebagai kontestan pilpres dan posisinya sebagai presiden. Tumpang tindih identitas akhirnya menghasilkan potret ketidakmampuan Jokowi dalam mengendalikan secara cermat dan tegas sistem yang bekerja di sekitarnya, tim kampanye maupun kabinet, sehingga berpotensi menjatuhkan reputasinya sebagai presiden dan elektabilitasnya sebagai kontestan pilpres nanti. Blunder lebih tepatnya.
Tumpang tindih identitas sejatinya bisa memberikan keuntungan dan kerugian bagi petahana. Kemampuan petahana untuk cerdas dan cermat memilah isu untuk kampanye dan isu kenegaraan sepatutnya menjadi kurikulum utama pembelajaran di tahun politik. Selain itu ketegasan sikap dan karakter yang kuat dari figur pemimpin adalah wujud kontrol untuk memastikan sistem yang bekerja di sekitar pemimpin telah, sedang, dan akan berjalan sesuai dengan arahan dan amanat konstitusi. Secara pragmatis, hal tersebut untuk memastikan reputasi dan elektabilitas dari figur terkait bisa berjalan selaras dan bersih dari kepentingan yang tumpang tindih.
Pemimpin yang memiliki integritas adalah figur yang mampu menempatkan dirinya sesuai dengan posisi. Mereka tidak akan memanfaatkan fasilitas publik untuk kepentingan pribadi. Sebagai Presiden ia harus mampu menjalankan apa yang sudah diamanatkan oleh konstitusi. Sebagai kontestan ia harus mampu bekerja sesuai koridor konstitusi dan etik.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!