Rabu, 26 Jumadil Awwal 1446 H / 13 Februari 2019 07:14 wib
4.667 views
Impian Rakyat Tol Gratis, Mungkinkah?
Oleh:
Lailatul Hidayah, mahasiswi Universitas Jember
PADA era pemerintahan Presiden Jokowi pembangunan infrastrktur berupa jalan tol dianggap sebagai sebuah prestasi yang membanggakan, tak tangung-tanggung pada era ini terdapat pembangunann tol sepanjang 1854,5 km yang beroperasi pada tahun 2014-2019 (www.detik.com, 30/09/17). Hal tersebut juga mendapat apresiasi dari Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi.
Beliau pada saat menghadiri silaturrahmi Jokowi dengan Paguyuban Pengusaha Jawa Tengah, meminta masyarakat untuk tidak menggunakan jalan tol jika tidak mendukung pasangan Joko Widodo-Ma'aruf Amin di Pilpres 2019. (regional.kompas.com, 02/02/19). Hal ini tentu membuat kita bertanya-tanya, apakah pembangunan jalan tol merupakan prestasi yang harus dibanggakan?
Antara Kedzaliman dan NeoImperialisme
Prestasi pembangunan jalan tol tersebut terdapat pro kontra. Proyek ini mendapat kritikan dari berbagai pihak. Indonesia Traffic Watch (ITW) sangat mendesak kepada pemerintah untuk meninjau kembali dan mempertimbangkan proyek tersebut. Proyek itu tidak prorakyat, tetapi membebani rakyat.
Pada dasarnya proses pembangunan tersebut memikirkan bisnis semata dan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pemilik modal. (koran-sindo.com, 17/05/16). Fakta tersebut juga diperkuat dengan mahalnya tarif jalan tol. Pengusaha logistik membenarkan bahwa alasan para supir truk untuk mengalihkan lajunya kembali ke Jalur Pantura daripada Tol Trans-Jawa karena tarif yang mahal. "Kan truk itu totalnya sampai Rp 1,5 juta itu ke Surabaya, kalau ukuran truknya makin besar lagi bisa sampai Rp 2 juta, mahal bener itu," kata Zaldy Ketua Asosiasi Logistik Indonesia seperti (detikFinance.com, 28/1/19).
Pak Jokowi bangga dari Jakarta sampai Solo 6 jam maka bersatulah Indonesia karena jalan tol, berbeda dengan pernyataan dari pengamat politik Rocky Gerung yang berpendapat bahwa jalan tol tersebut membawa kerugian bagi masyarakat dan tidak meningkatkan ekonomi masyarakat. Faktanya selama pak Jokowi jalan selama 6 jam, ratusan warung Tegal tidak disinggahi oleh Paspampres dengan rombongan mereka yang berjumlah 200 orang, selain itu banyak para pengusaha daerah yang mengalami penurunan, karena pengusaha daerah tersebut menjadi tidak dihampiri oleh para pengunjung lantaran adanya jalan tol (www.TribunJateng.com, 06/02/19).
Dan masih banyak fakta lain yang menunjukkan bahwa pembangunan jalan tol ini sesungguhnya tidak terlalu menguntungkan rakyat, merampas hak yang harus diterima oleh rakyat berupa infrastruktur yang mensejahterakan rakyat. Kesejahteraan semu bagi rakyat dan kesejahteraan nyata bagi pemodal Asing. Jika dulu kita dijajah secara fisik, namun sekarang kita dijajah dengan penjajahan gaya baru (neoImperialisme) yaitu privatisasi fasilitas umum dan Sumber Daya Alam yang harusnya digunakan sebesar-besarnya untuk hajat hidup orang banyak.
Hakikat Infrastruktur dalam Islam
Islam hadir bukan hanya mengatur tentang ibadah mahdhah, seperti sholat, puasa, dan zakat saja. Akan tetapi semenjak Rasulullah mendirikan Negara Islam di Madinah, kemudian meluas sekian abad hingga luasnya mencakup hampir 2/3 dunia. Aturan yang diterapkan (Islam), lumayan menarik untuk dipelajari dan sangat direkomendasikan untuk diterapkan. Begitupun hal nya tentang pembangunan jalan tol ini.
Dalam Islam, hakekat infrastruktur adalah layanan publik yang disediakan negara untuk kemudahan akses transportasi dalam mengangkut produksi maupun penumpang, gratis tanpa berbayar.
Dan sungguh aneh ketika Pemerintah saat ini bangga melakukan pembangunan tol besar-besaran, sementara untuk menikmati fasilitas tersebut rakyat harus membayar dengan tarif yang mahal, kemudian pemerintah bangga menganggap bahwa ini adalah sebuah bentuk prestasi. Dalam hal ini, kepala negara merupakan pelayan urusan rakyat yang memang sudah menjadi kewajibannya melayani rakyat, bukan berbisnis dengan rakyat.
Syaikh Abdul Qadim Zallum kemudian memaparkan secara lebih sistematis dalam kitabnya, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah. Dipaparkan bahwa Islam membagi konsep kepemilikan secara jelas: kepemilikan individu (private property); kepemilikan publik (collective property); dan kepemilikan negara (state property). Sementara jalan tol termasuk ke dalam kepemilikan publik. Kepemilikan publik adalah seluruh kekayaan yang telah ditetapkan kepemilikannya oleh Allah bagi kaum Muslim sehingga kekayaan tersebut menjadi milik bersama kaum Muslim. Individu-individu dibolehkan mengambil manfaat dari kekayaan tersebut, namun terlarang memilikinya secara pribadi. Berbeda dengan sistem Kapitalis yang berasaskan manfaat keuntungan materi hari ini, dimana pemodal asing bebas melakukan privatisasi.
Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur dalam Islam
Rakyat sangat mengimpikan jalan tol yang gratis. Namun, bagaimana impian tersebut bisa terwujud? Dalam kitab Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah, Syaikh Abdul Qadim Zallum menjelaskan bahwa ada 3 strategi yang bisa dilakukan oleh negara untuk membiayai pembangunan ini, yaitu:
1. Meminjam kepada negara asing, termasuk lembaga keuangan global
Meminjam kepada negara asing atau lembaga keuangan global tersebut jelas keliru, karena peminjaman tersebut masih menerapkan riba yang jelas diharamkan sebagaimana dalam (QS. Al-Baqarah: 278), persyaratan-persayaratan yang mengikat yang ini juga tidak dibolehkan sebagaimana (QS. An-Nisa’:141) dan peminjaman tersebut merupakan ancaman serius bagi kaum muslim karena mereka dapat mencengkram negri kaum muslim dengan hutang yang diberikannya, oleh karena itu khalifah melarang strategi tersebut. Jika negara kita saat ini memakai strategi ini, maka wajar hutang riba negara semakin meningkat, penggunaan fasilitas tol juga berbayar mahal, dan keberkahan hidup juga dipertanyakan. Sebab kita tahu bahwasannya Allah sangat melarang riba dan melarang peminjaman uang disertai perjanjian-perjanjian yang merugikan rakyat.
2. Memproteksi beberapa kategori kepemilikan publik seperti minyak, gas dan tambang
Tindakan memproteksi kepemilikan publik tersebut merupakan pilihan yang dibolehkan sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud “Tidak ada hak untuk memprooteksi, kecuali milik Allah dan Rasul-Nya”, hal tersebut juga pernah diterapkan pada saat Rasulullah menjadi kepala negara dan negara juga berhak memproteksinya yang di khususkan untuk biaya jihad, fakir miskin dan kemaslahhan publik. Berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia hari ini, Kapitalisme bercokol, kepemilikan negara dan publik banyak yang diprivatisasi atau diinvestasikan kepada pemodal Asing. Padahal, jika harta kepemilikan negara dan kepemilikan umum dikelola oleh negara maka keuntungan yang diperoleh sangat besar yang bisa digunakan untuk pembangunan infrastruktur, rakyat juga sejahtera karena dengan adanya jalan tol bisa mempercepat akses ke suatu daerah dengan tanpa berbayar.
3. Mengambil pajak dari umat/rakyat.
Strategi ini hanya diperbolehkan pada saat tidak ada kas di baitul mal yang dapat digunakan dan itupun hanya di gunakan untuk prasarana publik saja, selain itu juga diambil dari kaum muslim, laki-laki dan mampu, selain dari itu tidak diperbolehkan. Berbeda dengan hari ini, dimana pemberlakuan pajak diperuntukkan bagi siapa saja.
Demikian solusi yang diberikan oleh Islam untuk mewujudkan jalan tol gratis. Impian rakyat dan impian ini tidak akan pernah terwujud, selama kita masih bergantung pada sistem kapitalisme yang menjauhkan rakyat dari kesejahteraan hakiki. Wallahu A’lam.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!