Jum'at, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 19 Juli 2019 13:02 wib
5.062 views
Lagi, Menyoal MOS Berujung Maut
Oleh:
Aishaa Rahma
Pegiat Sekolah Bunda Sholiha, Malang, Jawa Timur
FENOMENA kekerasan saat ini telah mewarnai hampir seluruh aspek kehidupan sosial kita, baik politik, budaya, bahkan hingga pendidikan. Kekerasan juga banyak dilakukan atau diambil sebagai jalan pintas dalam upaya menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi, seperti konflik Pilkada, sidang DPR, kegiatan orientasi siswa atau mahasiswa yang diadakan di awal tahun akademik, menegakkan disiplin di sekolah (atau institusi lain).
KDRT bahkan telah diatur dalam sebuah undang-undang. Ini menunjukkan bahwa masalah kekerasan yang terjadi di sekitar kita merupakan sebuah masalah yang sangat serius. Bahkan KDRT menempati posisi teratas dalam kasus-kasus kekerasan di masyarakat.
Kali ini yang cukup marak adalah kasus kekerasan dalam dunia pendidikan. Di saat Masa Orientasi Siswa (MOS) atau mahasiswa, bisa saja berujung maut. Kekerasan atau 'bullying' di sekolah sering dilegitimasi dengan alasan menegakkan disiplin di kalangan siswa atau mahasiswa. Oleh karena itu, kekerasan dapat dikatakan telah menjadi sebuah budaya dan seolah-olah menjadi mekanisme yang 'dilegalkan".
Namun banyak pihak yang menyatakan bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan oknum di sekolah tidak lebih hanya sebagai wujud kekesalan atau pelampiasan kemarahan oknum tersebut pada orang lain. Yakni dapat berupa siswa, teman, atau bahkan anak. banyak alasan yang menyatakan pelaku tindak kekerasan di sekolah. Baik itu karena si anak bandel, tidak mengerjakan PR, ribut di kelas, membuat onar, bolos, tidak dapat mengerjakan tugas, tidak disiplin dan segudang alasan lainnya.
Melalui merdeka.com, seorang siswa SMK Taruna di Palembang berinisial DBJ (14) tewas saat mengikuti masa orientasi siswa (MOS). Dugaan itu muncul lantaran ditemukan luka lebam di kaki. Keluarga pun memutuskan melapor ke polisi dan meminta autopsi terhadap jenazah korban di Rumah Sakit Bhayangkara Palembang. Kabar meninggalnya korban diketahui keluarga setelah pihak sekolah menghubungi melalui telpon, Sabtu (14/7/2019).
Selain satu orang tewas, masa orientasi siswa (MOS) SMA Semi Militer Plus Taruna Indonesia Palembang juga menyebabkan seorang pelajar kritis. Polisi menetapkan satu tersangka yang diduga melakukan penganiayaan kepada korban. Korban yang tengah kritis adalah WJ (14). Dia kini menjalani perawatan di Rumah Sakit Charitas Palembang. Sebelumnya, korban dirawat di RS Karya Asih karena mengidap usus terlilit diduga karena dianiaya selama MOS.
Dilansir juga oleh Tribunnews.com. Siswa Senior Akademi Teknik Keselamatan Penerbangan (ATKP) Makassar, Muhammad Rusdi (21) menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Senin (24/6), atas kasus tewasnya juniornya Aldama Putra Pongkala (19). Dia didakwa pasal berlapis. Pasalnya, Aldama yang merupakan putra tunggal Pelda Daniel Pongkala, anggota TNI yang berdinas di Angkatan Udara tersebut, harus berujung pada kematian hanya karena datang ke kampus tidak kenakan helm. Aldama, taruna tingkat I di ATKP Makassar itu meninggal dunia di kampusnya, Minggu, 3 Februari lalu. Keterangan dari salah satu Pembantu Direktur (Pudir) ATKP Makassar yang bernama Irfan ke orang tua Aldama kalau putranya itu meninggal setelah terjatuh di kamar mandi.
Masih dari dunia pendidikan yang kembali tercoreng karena meninggalnya seorang pelajar setelah mengikuti MOS. Seperti Fikri Dolasmantya Surya, mahasiswa Institut Teknologi Nasional Malang, meninggal pada 12 Oktober 2013. Fikri, pihak ITN Malang menjatuhkan skors dua semester kepada tiga tersangka pelonco mahasiswa baru. Ketiganya adalah ketua pelaksana kegiatan PA, koordinator acara seksi ND, dan koordinator keamanan HM. (okezone.com)
Berbagai ulasan di atas yang bahkan masih banyak belum terungkap, memberikan sebuah uraian mengenai fenomena kekerasan yang banyak dikenal masyarakat dan menjadi puat perhatian dari berbagai kalangan. Kekerasan fisik serta kekerasan psikologis hanyalah bentuk kekerasan yang wujudnya mudah dikenali dan dampaknya juga mudah untuk diamati.
Namun banyak pihak yang tidak menyadari akan adanya bentuk kekerasan lainnya yang bisa terjadi di sekolah setiap hari. Bentuk kekerasan tersebut adalah "kekerasan simbolik". Bentuk kekerasan ini hampir tidak pernah menjadi pokok perhatian berbagai pihak. Padahal juga memiliki dampak cukup besar , terutama bagi masyarakat secara makro.
Paradigma Pendidikan dan Revolusi Mental
Pendidikan di Indonesia sebenarnya bertujuan membentuk peserta didik yang beriman , bertakwa dan berakhlak mulia. Kalimat ini manis didengar, susah untuk dicapai. Karena rincian sistem dan prakteknya justru jauh dari nilai-nilai keimanan dan ketakwaan. Apalagi soal akhlak mulia, seperti bersikap sopan dan tidak kasar kepada sesama manusia, atau kepada junior apalagi guru. Semua hanya diajarkan sebatas teori. Bagaimana mungkin bisa membentuk manusia berkarakter dan berakhlak mulia??
Revolusi mental yang digadang-gadang Jokowi ketika Pilpres 2014 pun tak memperlihatkan hasil memuaskan. Revolusi mental yang diartikan Jokowi sebagai mengembalikan karakter orisinil bangsa, yang dijabarkan sebagai berkarakter santun, berbudi pekerti, ramah dan bergotong royong. Terminologi “revolusi” menurutnya adalah refleksi tajam bahwa karakter bangsa harus dikembalikan pada aslinya. Capres petahana di 2019 ini merasa sangat yakin bahwa lewat pendidikan yang berkualitas dan merata, serta penegakan hukum tanpa pandang bulu lah yang bisa mencapainya. (kompas.com) . Setelah hampir 5 tahun menjabat, apa kabar revolusi mental?
Ternyata kasus kekerasan seolah tak berhenti menghiasi berita media. Nyawa anak manusia seolah tak berharga. Padahal pendidikan adalah salah satu lingkungan untuk menempa generasi agar menjadi seseorang dengan kepribadian terbaik. Apa yang salah?
Sudah menjadi rahasia umum, nilai agama (Islam) telah tersingkir dari sistem kehidupan di negri ini, termasuk mengatur masalah sistem pendidikan nasional. Kapitalisme sekuler telah merasuk dan menjadikan asas manfaat sebagai tumpuan, sehingga pendidikan lebih menitik beratkan pada materi ajar yang bisa memberikan manfaat material semata untuk keperluan dunia usaha.
Pendidikan akhirnya lebih fokus kepada penguasaan sains teknologi dan keterampilan. Prestasi dan keberhasilan pendidikan diukur dari nilai-nilai akademis, tanpa memperhatikan bagaimana akhlak, karakter, kepribadian (prilaku) anak didik. Kalau pun ada dalam kurikulum –sekali lagi- kalau itu Cuma diajarkan sebatas teori, apa gunanya? Itulah yang terlihat jelas ketika merebak kasus-kasus kriminal seperti perkelahian, tawuran bahkan pembunuhan yang telah biasa terjadi di kalangan pelajar.
Sungguh lingkungan sekolah, tokoh masyarakat, LSM, polisi dan media memiliki peranan yang sangat besar dalam usaha mengurangi angka kejadian kekerasan dalam dunia pendidikan. Termasuk pihak yang paling banyak bersama anak yaitu orangtua. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak pihak yang menganggap tindakan kekerasan yang selama ini dilakukan adalah bagian dari pendidikan itu sendiri. Mereka menganggap kekerasan sebagai bentuk kedisiplinan pada siswa.
Guru di sekolah pun ternyata lebih banyak mementingkan materi pelajaran yang harus diberikan pada murid-murid. Padahal kondisi siswa dalam menerima pelajaran, baik secara fisik maupun psikis penting juga untuk dipahami. Demikian pula hal itu perlu diperhatikan oleh para orangtua. Karena pada umumnya, orang tua hanya memprioritaskan masalah akademis. Dibanding masalah lain yang bisa saja dihadapi anaknya di sekolah. Hal ini pula yang menyebabkan orangtua seringkali terlambat dalam mengenali kondisi psikis anaknya yang mungkin pernah menjadi korban kekerasan maupun yang menjadi pelaku kekerasan.
Ditambah dengan keberadaan media yang ada saat ini sepertinya belum cukup menyentuh secara mendalam perihal kekerasan dalam dunia pendidikan. Hal ini turut menyebabkan masyarakat kurang menyadari secara mendalam dampak buruk dari tindakan kekerasan di sekolah. Media televisi yang diharapkan menjadi salah satu sarana pendidikan bagi masyarakat justru seringkali menayangkan tindakan tindakan kekerasan di lingkungan sekolah. Melalui sinetron sinetron yang ada. Bahkan berita kriminal pun (diduga kuat) bisa menginspirasi pelaku kekerasan bagaimana modus tindak kriminal. Tayangan semodel ini haruslah ditinjau ulang penayangannya.
Masih banyak praktek-praktek kekerasan fisik psikologis yang dilakukan oleh senior kepada anak-anak baru yang secara tidak langsung diamini oleh institusi sekolah. Pemberian sanksi fisik dan sebagainya menjadi bagian yang dianggap wajar dan lumrah dilakukan dalam praktek MOS di sekolah. Begitulah gambaran praktek pendidikan di negeri ini, lantas bagaimana menyikapi tindak kekerasan terstruktur berdalih orientasi tersebut ?
Perbuatan-perbuatan anarkis yang ada di sekolah dan dunia pendidikan pada umumnya, sungguh wajib dihilangkan. Sebab sekecil apapun pelangaran yang dilakukan oleh peserta orientasi maka panitia bahkan sekolah tidak berhak untuk memberikan sanksi yang sifatnya di luar sanksi administratif. Karena sekolah bukanlah instansi penegak hukum, sekolah adalah instansi pendidikan.
Sekolah atau penyelenggara tidak bisa mengambil alih kewenangan negara dalam memberikan sanksi atas pelanggaran, kecuali sekedar untuk ta’dib (mendidik). Ada baiknya disepakati sanksi apa yang tepat dilakukan, dan ada baiknya menjauhkan sanksi fisik (kekerasan). Tapi bisa disuruh menulis atau mengkliping berita, jadi jauh lebih bermanfaat bagi siswa. Dibanding dimarahi dan dipukul yang kadang menghadirkan dendam pada senior atau guru. Orientasi lingkungan sekolah harusnya diwarnai motivasi agar siswa bersemangat menuntut ilmu, bukan menunjukkan superioritas senior atas junior. Sungguh harus segera diperbaiki oleh semua yang berwenang.
Mengubah Paradigma Pendidikan
Kasus Ospek yang mengedepankan kekerasan seharusnya tidak perlu terjadi, sebab hal tersebut mutlak kewenangan sekolah untuk menindaklanjuti apakah MOS tersebut perlu atau bahkan justru merusak. Mendikbud Muhadjir Effendy menegaskan agar tidak ada lagi senioritas, apalagi membuat teror kepada siswa baru di sekolah. (detik.com, 16/7). Tapi cukupkah seruan ini menghentikan dan mencegah kasus terulang? Tak ada yang bisa menjamin.
Berbeda dengan sistem pendidikan dalam Islam. Sebagai sebuah sistem kehidupan, menjadikan aqidah (iman) sebagai asas semua sub sistem pengaturan masyarakat. Termasuk mengatur sistem pendidikan generasi. Dienul Islam berusaha mempengaruhi arah pendidikan untuk melahirkan generasi yang berkepribadian kuat, yaitu kepribadian Islam.
Pendidikan model ini menjadikan aqidah Islam sebagai tolok ukur pola pikir dan kecendrungan jiwanya, sehingga orang yang terdidik akan menyesuaikan life style-nya dengan Islam. Karena konsepnya sederhana , ilmu untuk amal. Atau dengan kata lain apa yang dipelajari dalam kurikulum pendidikan mempengaruhi peserta didik secara praktis. Konsep ilmu untuk diamalkan secara praktis karena ada dua hal yang dipakai pendidik dalam mempengaruhi kepribadian para siswanya, yaitu : rekonstruksi dan konstruksi. Rekontruksi adalah membongkar persepsi pemikiran yang salah secara menyeluruh (revolusioner) sampai ke akarnya, kemudian dibangun kembali konstruksi pemikiran yang benar, kokoh dan kuat. Sehingga mampu berpengaruh dalam amalnya. Sedangkan konstruksi bermakna menyusun suatu persepsi pemikiran yang kokoh dengan mengoptimalkan unsur-unsur kekuatan berfikir yang akan mendorong dia untuk beramal dengan benar.
Sehingga tak terlalu sulit untuk membentuk karakter terbaik pada anak didik, karena sejak dini telah ter-kontruksi dengan kuat bentukan kepribadiannya. Akhlak mulia seperti menjalin ukhuwah, saling menghormati dan santun pada sesama, juga tak anarkis bukan sesuatu yang dihapal. Ketika Rasulullah bersabda : “Tidak beriman seseorang diantara kalian hingga ia (dapat) mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”. (HR. Bukhari). Maka anak didik akan melihat contoh penerapan oleh pendidik dan terus dibiasakan mengamalkan.
Bagaimana dengan sanksi fisik, bolehkah dalam Islam? Sebenarnya sanksi yang bertujuan mendidik dibolehkan dalam Islam. Sebagaimana Allah berfirman terkait kewajiban sholat : “Suruhlah anak-anakmu mengerjakan sholat pada usia 7 tahun dan pukullah pada usia 10 tahun, bila mereka tidak sholat . Dan pisahkan tempat tidurnya (laki-laki dan perempuan)” (HR. Al Hakim dan Abu Dawud).
Karena dalam tahapan usia di mana anak didik harus diajarkan kewajiban-kewajiban syariat (di bawah usia baligh ) maka ada latihan-latihan yang terus dilakukan agar tertanam kuat kepada kepribadiannya. Tidak hanya sholat, tapi semua kewajiban, termasuk adab dan akhlak mulia. Sehingga keluhuran, kejujuran dan kelurusan prilakunya bisa terbentuk dengan sempurna. Fase ini harus dilewati dengan pemberian nasehat, teguran, peringatan, bahkan pukulan (yang tidak membahayakan) jika dia membangkang (Tahapan Pendidikan Islam : 1996)
Sedangkan pada kasus kriminalitas yang pelakunya siswa yang sudah berusia atau di atas 15 tahun. Atau belum usia itu , namun sudah haid atau ihtilam (mimpi basah) maka sudah seharusnya pelanggaran ini mendapat sanksi hukum di pengadilan selayaknya seorang dewasa. Dalam sistem sanksi (uqubat) Islam penganiayaan terkena qishosh (jinayat). Apalagi jika sampai menyebabkan korban kehilangan nyawa, maka pelaku harus dibalas bunuh. Tapi seandainya keluarga korban memaafkan, maka wajib membayar diyat (tebusan) yang sesuai ketentuan syariat. (Sistem Sanksi Dalam Islam , Abdurahman Al Maliki, 1981).
Memang memutus mata rantai kekerasan sangat tidak mungkin hanya mengandalkan sub sistem pendidikan berdiri sendiri, tanpa dukungan sub sistem kehidupan yang lain. Termasuk di dalamnya sistem sanksi , ekonomi dan sosial yang sesuai syariah Islam. Itulah alasan kuat mengapa penting menerapkan Islam secara Kaffah, sistem Islam. Dan meninggalkan UU dan sistem pendidikan sekuler yang menyuburkan praktek kekerasan senior atas junior. Wallahu’alam bishawab.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!