Senin, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 2 September 2019 09:59 wib
5.512 views
Pindah Ibu Kota: untuk Kepentingan Siapa?
Oleh:
Rospala Hanisah Yukti Sari, S.Pd, M.Pd
Pemerhati Kebijakan Publik
INDONESIA merupakan negeri kaya SDA dan letak geopolitik serta geografis yang strategis telah menjadi incaran para kapitalis global. Ditambah dengan prediksi demografi Indonesia yang dikuasai oleh “kaum muda” diprediksi akan meningkat di Tahun 2024, diharapkan dapat menjadi ‘sasaran empuk’ sebagai ‘konsumen pasar’ mereka. Berbagai cara dilakukan untuk ‘memuluskan’ agenda para kapitalis global untuk menguasai perekonomian Indonesia termasuk ‘meletakkan’ antek-antek penguasa untuk membuat kebijakan yang sesuai dengan kepentingan hegemoni mereka. Salah satu kapitalis global yang berambisi menguasai perekonomian Indonesia adalah taipan China.
Ambisi Taipan China dalam menguasai perekonomian Indonesia segera terealisasi oleh penguasa yang telah terpilih pasca pilpres kemarin. Salah satu kompensasi dari pilpres kemarin adalah pemindahan Ibu kota. Pasca konferensi pers yang dilakukan oleh Presiden di Istana Negara pada hari Selasa, 27 Agustus 2019 kemarin, Presiden mengumumkan bahwa ibu kota negara akan dipindah dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur (Kompas.com, 2019).
Berbagai dalih dilontarkan kepada publik terkait pemindahan ibu kota untuk memberi kesan kepada publik bahwa memindahkan ibu kota adalah kebijakan yang tepat. Ada beberapa dalih yang diutarakan oleh Presiden diantaranya adalah beban Jakarta sudah terlalu berat karena pusat pemerintahan, pusat bisnis, pusat keuangan, pusat perdagangan dan pusat jasa, sehingga tidak bisa membiarkan terus menerus. Selain itu, Beban Jakarta dan Pulau Jawa semakin berat dalam hal kepadatan penduduk, kemacetan lalu lintas yang sudah terlanjur parah dan polusi udara dan air yang harus segera kita tangani (Kompas, 2019). Selain itu, menurut Presiden, “Jumlah penduduk pulau Jawa yang terlalu padat yaitu sebesar 54% dari total jumlah penduduk di Indonesia dan 58% PDB ekonomi Indonesia berada di Pulau Jawa (Kompas, 2019).
Alasan yang dikemukakan oleh penguasa terkait dengan Jakarta yang kurang aman dari bencana dan polusi udara yang semakin memprihatinkan, hanya menjadi alasan klasik. Menurut juru bicara WALHI, Zenzi Suhandi mengemukakan bahwa “Beban lingkungan yang ditanggung Kalimantan Timur itu justru sama besarnya dengan yang ditanggung Jakarta. Lubang-lubang tambang yang terus membunuh masyarakat, dan tidak adanya penegakan hukum bagi pemilik eks konsesi, ini yang harus dibenahi terlebih dahulu. Alih-alih mewariskan sejarah memindahkan ibu kota negara, Jokowi justru akan dikenang sebagai presiden yang menghindari masalah, bukannya bekerja dan menyelesaikannya” (niagaasia, 2019).
Potensi bencana di kalimantan juga cukup besar. Menurut Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, mengatakan secara geologi dan tektonik, di wilayah Kaltim terdapat 3 struktur sesar sumber gempa yaitu Sesar Maratua, Sesar Mangkalihat, dan Sesar Paternoster. BMKG mengatakan Sesar Maratua dan Sesar Mangkalihat masih aktif (BMKG, 2019). Dengan demikian, Kaltim bukan merupakan wilayah yang sepenuhnya aman dari potensi gempa bumi dan Tsunami. Belum lagi, ancaman kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang menjadi momok bencana tiap tahunnya.
Alasan yang dikemukakan oleh Presiden sesungguhnya merupakan upaya ‘cuci tangan’ dan merupakan bukti kegagalan penguasa dalam menyelesaikan persoalan di dalam negeri, khususnya di Jakarta. Di lain sisi, bahaya ancaman hutang luar negeri RI beserta bunga yang kian meroket hingga menembus angka Rp 5.135 Triliun (cnnindonesia, 2019) akan membenamkan negeri ini jatuh terpuruk dibawah ‘kendali’ asing, karena semakin memperkokoh arus neoliberalisme. Dengan demikian, mekanisme gali lubang tutup lubang pun dilakukan penguasa dalam menyelesaikan masalah hutang. Adapun dana yang dikeluarkan untuk membuat megaproyek dengan lahan seluas 40 ribu hektar mencapai Rp 466 T.
Untuk meredam hati publik dengan kebijakan ini, pemerintah menggunakan dana APBN relatif kecil dan menjual aset infrastruktur pemerintah di Jakarta. Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengungkapkan bahwa dari APBN hanya mendanai sekitar Rp 93,5 T atau sekitar 19,2% dari total dana yang dibutuhkan (katadata, 2019). Alternatif skema pembiayaan yang dirancang untuk megaproyek ini dengan mengajak pihak swasta, PKBU, BUMN sebagai investor dan kerjasama pemanfaatan aset untuk terlibat dalam megaproyek ini.
Sayangnya, masyarakat masih menganggap bahwa kebijakan ini dapat memberikan “angin segar” melalui pemerataan ekonomi di Indonesia. Padahal jika melibatkan hutang swasta, berarti makin mengukuhkan arus neoliberalisme ekonomi, karena penguasa tunduk kepada pemberi hutang dan secara langsung membawa negerinya sendiri menjadi ‘pelayan’ dibawah kontrol swasta.
Swasta yang terlibat dalam megaproyek pemindahan ibu kota tidak hanya swasta dalam negeri, tetapi juga swasta Asing. Menurut Pembina LPKAN (Lembaga Pengawas Kinerja Aparatur Negara) Wibisono bahwa Pasca hasil pilpres 2019 merupakan momentum dimana penguasa sibuk menandatangani Proyek OBOR (One Belt One Road) dengan Taipan China, sekaligus mengulas “Project New Jakarta 2025” dimana didalamnya termasuk Meikarta (Majalah CEO Indonesia, 2019). Ada upaya tersistematis dari Taipan Cina untuk menguasai Indonesia dari reklamasi, OBOR, pemindahan Ibu Kota, pembangunan New Jakarta 2025.
Sejak penguasa menyuguhi wacana pemindahan ibu kota, tersiar bahwa para Taipan China sibuk membuat peta “Project New Jakarta 2025” dimana Jabodetabok masuk ke dalam peta pencaplokan wilayah tersebut (Majalah CEO Indonesia, 2019). Alhasil, para Taipan China telah membuat Negara didalam Negara lewat New Jakarta 2025 yang membuat negeri ini tergadai dan pribumi pun bersiap untuk terpental di negeri sendiri.
Pemindahan ibu kota tanpa persiapan yang matang, justru akan membuka peluang kegagalan yang besar. Berbagai resiko pemindahan ibu kota akan mengancam negeri ini yaitu:
1) Resiko Spekulan Tanah, ketika membuka ibu kota pindah, otomatis membutuhkan lahan yang luas untuk membangun infrastruktur yang diperlukan dari gedung pusat pemerintahan, gedung-gedung kementrian, serta rumah dinas untuk pejabat dan ASN. Selain itu, JATAM memperkirakan adanya megaproyek berkedok pemindahan ibu kota yang hanya menguntungkan oligarki pemilik konsesi pertambangan batu bara dan penguasa lahan skala besar di Kalimantan Timur. Terdapat 1.190 IUP di Kalimantan Timur dan 625 izin di Kabupaten Kutai Kartanegara. Hanya di Kecamatan Samboja saja terdapat 90 Izin pertambangan, di Bukit Soeharto pun terdapat 44 Izin tambang, PT Singlurus Pratama sebuah perusahaan pertambangan yang konsesinya paling besar di sekitar Samboja dan ini akan sangat diuntungkan (niagaasia, 2019). Alhasil, muncul makelar tanah yang menjual tanah dengan harga yang tinggi dan mengakibatkan hutang semakin membengkak
2) Hutang Membengkak, Dengan hutang yang semakin membengkak, akan semakin mengukuhkan arus neoliberalisme di negeri ini, karena negara dikendalikan oleh swasta, sehingga negeri ini jatuh terjerembab menjadi ‘pelayan’ asing. Alhasil, kemandirian dan kewibawaan negara di mata para pemilik modal akan semakin ‘jatuh’. Kebijakan pun dikendalikan oleh swasta. Selain itu, hutang juga akan menyebabkan inflasi semakin tinggi, karena nilai rupiah dimata dolar akan semakin turun.
3) Inflasi Meningkat, Selain faktor hutang, Perpindahan sejumlah orang dalam satu waktu tertentu,akan membuka peluang bertambah mahalnya bahan pokok, karena persediaan barang yang sedikit dibanding dengan permintaan yang mengakibatkan barang menjadi mahal, sehingga terjadi peningkatan inflasi. Dengan demikian, menyebabkan ekonomi semakin terpuruk.
4) Ketimpangan Ekonomi, Sebagian penduduk yang mendiami calon ibu kota baru dan masih berada dalam ekonomi menengah ke bawah, akan sulit bersaing dengan para pendatang yang memiliki kekuatan dalam membangun ekonomi, sehingga akan terjadi ketimpangan ekonomi yang signifikan.
Itulah dampak dari penerapan sistem ekonomi liberal yang memberikan peluang bagi para kapitalis global untuk ‘berkarya’ di negeri kita. Alhasil. pribumi pun menjadi terpental di negeri sendiri.
Adapun peradaban Islam mencatat pernah melakukan pemindahan ibu kota sebanyak empat kali, dimana pemindahan yang terakhir terjadi dari Baghdad ke Turki. Pemindahan ibu kota pun berlangsung tanpa hutang, sehingga menutup terjadinya neoimperialisme berbasis hutang dan menutup celah bagi para kapitalisme-neoliberal untuk ‘berkarya’ di negeri kita. Pemindahan ibu kota di masa peradaban Islam, diperhatikan secara seksama dengan memperhatikan falsafah ideologi yang mendasari pembentukan ibu kota baru.
Adapun falsafah ideologi Islam adalah berpegang kepada kepentingan dakwah Islam dan kewajiban penguasa dalam memakmurkan rakyatnya, serta menjaga daerah perbatasan dari musuh. Selain itu, kebijakan ekonomi Islam yang berpegang teguh kepada pembagian kepemilikan, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara telah berhasil menyejahterakan umat.
Kebijakan pemerataan kemakmuran dan kemajuan di seluruh wilayah negara berdasar kepada kebutuhan setiap individu bukan berdasar kepada hasil kekayaan yang dihasilkan dalam proses pemerataan jumlah penduduk (MMC, 2019). Alhasil, pemerataan ekonomi di seluruh wilayah negara insya Allah akan tercapai dan kemakmuran dapat dirasakan di seluruh wilayah negara. Wallahu’alam.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!