Sabtu, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 28 September 2019 22:36 wib
3.870 views
Mampukah Demokrasi Menjawab Aspirasi Mahasiswa?
Oleh: Khamsiyatil Fajriyah
Mahasiswa sudah turun untuk mengoreksi penguasa, anak STM pun 'turun tangan' mendukung kakak-kakak mereka. Semua dalam rangka menggugat beberapa rancangan undang-undang yang sudah dan akan disahkan oleh DPR. Di antara rancangan undang-undang yang digugat, RUU Pertanahan, RUU Tenaga Kerja, RKUHP, dan sejumlah RUU lainnya, RKUHP dan revisi Undang-undang KPK yang menjadi gugatan utama.
Khusus untuk revisi Undang-undang KPK, mahasiswa menuntut presiden mengeluarkan Perppu untuk membatalkannya. Aksi gabungan yang dilakukan tidak hanya di kota-kota besar, tetapi juga di kota kecil di seluruh Indonesia, menunjukkan bahwa rakyat sudah tidak bisa mendiamkan semua kezaliman yang menimpa mereka. Dan sekarang hanya menunggu, mampukah demokrasi menjawab semua tuntutan itu?
Aspirasi dalam Demokrasi
Aksi belum selesai, pemerintah melalui Menristekdikti sudah menunjukkan antipatinya menerima koreksi dari mahasiswa dengan mengancam rektor dan dosen yang mengarahkan mahasiswanya melakukan aksi dengan sanksi keras. Padahal banyak pihak yang gembira dengan 'keluarnya' mahasiswa dari kampus untuk menyuarakan aspirasi rakyat. Antipati terhadap kritik juga ditunjukkan oleh aparat keamanan dengan memberi nama aksi sebagai tindakan anarkis. Senada seirama dengan itu, menkopolhukam menganggap bahwa aksi tidak perlu dilakukan dan menyarankan agar mahasiswa cukup menggelar forum diskusi dan dialog untuk memberi masukan kepada pemerintah.
Tidak cukup melarang mahasiswa menyuarakan aspirasinya, stigma negatif dan tuduhan disematkan untuk aksi mahasiswa kali ini. Dari tuduhan ditunggangi, perusuh, melawan konstitusi karena mosi tidak percaya kepada pemerintah, hingga tuduhan bahwa mereka akan menduduki gedung DPR untuk menggagalkan pelantikan DPR. Tindakan tidak akomodatif terhadap aspirasi juga dilakukan dengan menangkap 200 orang peserta aksi yang dianggap melakukan kerusuhan.
Tertutupnya telinga penguasa terlihat dari 'kengototannya' sedari awal aksi dilakukan. Salah satunya adalah dengan pernyataan presiden yang tidak akan mengeluarkan Perppu. Walaupun di akhirnya, pada pertemuan dengan tokoh bangsa di tanggal 26 September 2019, presiden sebagai pihak yang berwenang mengeluarkan perppu, akan mempertimbangkan mengeluarkan perppu. Itupun hanya sebagai opsi,selain legislasi review dan yudisial review untuk membatalkan revisi undang-undang KPK.
Tertutupnya celah mendengarkan aspirasi rakyat oleh penguasa dalam sistem demokrasi adalah suatu hal yang biasa. Bila diberi kritik dan masukan, maka penguasa akan berdalih bahwa mereka melakukan itu atas amanat rakyat. Di atas segalanya, mereka berpegang teguh sudah mewakili rakyat, karena telah dipilih oleh rakyat.
Robert Michels (1959) menamakannya sebagai kedaulatan penerima mandat atas pemberi mandat, dan inilah kondisi politik oligarki. Dan ini terjadi bukan karena malpraktik demokrasi, tetapi pasti akan terjadi dalam perjalanan sistem politik demokrasi. Seperti apa yang dinyatakan oleh Adam Przeworski dalam bukunya, Sustainable Democracy (1999) bahwa demokrasi yang sempurna sekalipun secara prosedural tetap menyisakan oligarki; kuasa si kaya atas si miskin.
Aspirasi rakyat hanya laku ketika rakyat memberi suara di pemilu, yaitu pesta demokrasi yang sudah berlalu. Bila demokrasi yang berjargon suara rakyat suara tuhan, tak mampu menyerap aspirasi rakyat, kepada sistem politik apa rakyat berharap?
Kemuliaan Aspirasi dalam Islam
Selama ini, kita berpikir bahwa hanya demokrasi yang menghormati aspirasi rakyat, sementara sistem politik lainnya otoriter, mengabaikan suara rakyat. Padahal dalam sistem politik Islam pengaturan menyampaikan aspirasi kepada penguasa telah jelas bahkan telah dicontohkan sejak Rasulullah Muhammad SAW menjadi kepala negara dan dilanjutkan oleh para khalifah sesudah beliau.
Dalam sistem politik Islam, kepala negara hanya menerapkan syariat Islam yang digali dari Al Qur'an dan hadits Rasulullah SAW. Maka, masyarakat pada saat itu akan memberi masukan untuk hal-hal yang tidak tercakup dalam wahyu Allah SWT, misalnya dalam masalah teknologi dan siasat. Tidaklah mengherankan Rasulullah SAW menerima masukan dari seorang sahabat untuk memusatkan pasukan di sekitar sumber air pada saat perang Badar, karena hal seperti ini termasuk dalam siasat.
Bila seorang Khalifah salah dalam menerapkan syariat, mekanismenya cukup mudah. Dikisahkan, Khalifah Umar bin Khattab menetapkan jumlah mahar bagi calon mempelai perempuan. Pada saat itu, seorang Shahabiyah 'Khaulah binti Tsa'labah menemui Umar secara langsung dan menasehatinya untuk mengubah kebijakannya yang salah. Karena hak mahar ada pada perempuan, dan itu adalah ketetapan dari Allah SWT yang diharamkan manusia mengubahnya, meskipun seorang Khalifah.
Bilapun tercatat dalam sejarah ada beberapa Khalifah yang represif kepada para penasehat, semua itu menunjukkan kesalahan dalam penerapan syariat Islam. Karena dalam sistem politik Islam, menyuarakan aspirasi tetaplah suatu hal yang mulia. Para pengoreksi penguasa adalah orang yang beramar ma'ruf nahi munkar di hadapan penguasa, bila dia berdiri di hadapan penguasa kemudian terbunuh, Allah SWT memberi predikat dan pahala yang sama dengan para pemimpin syuhada', Hamzah Radhiyallahu anhu. Selain itu dalam al Quran surat Al Imran ayat 104, Allah SWT memberi predikat bagi kelompok yang beramar ma'ruf nahi munkar, salah satunya kepada penguasa, sebagai kelompok yang menang. Semua itu menunjukkan kemuliaan ajaran Islam, diturunkan oleh Allah SWT untuk kemuliaan hidup manusia. Wallahu A'lam bi Ash-showab. (rf/voa-islam.com)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!