Sabtu, 23 Jumadil Awwal 1446 H / 26 Oktober 2019 08:56 wib
6.133 views
Benarkah yang Kita Butuhkan SDM Siap Kerja?
Oleh:
Eva Arlini, SE, Anggota Komunitas Revowriter
NAMA-NAMA menteri kabinet terbaru sudah diumumkan pasca pelantikan Presiden dan wakil Presiden RI masa tugas 2019 - 2024. Salah satu wajah baru dalam jajaran menteri adalah Nadiem Makarim. Beliau termasuk menteri yang paling disorot media. Masih muda, berusia sekitar 35 tahun, tampan dan berlatarbelakang pebisnis. Beliau didaulat oleh presiden untuk menduduki jabatan Menteru Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud).
Saat memperkenalkan Nadiem sebagai Mendikbud, Presiden Jokowi berkata bahwa Nadiem bertanggung jawab untuk membantu meningkatkan sumber daya manusia (SDM). "Kita akan membuat terobosan yang signifikan dalam pengembangan SDM yang menyiapkan SDM siap kerja, siap usaha yang link and match antara pendidikan dan industri ada di wilayah Mas Nadiem," ucap Jokowi.
Di sisi lain, pidato pertama Mendikbud, Nadiem Makarim terdengar ‘unik’. Saat ditanya mengenai rencana kerja beliau dalam seratus hari pertama, beliau menjawab tidak ada. Beliau memilih untuk menjadi pendengar bagi kalangan pejabat senior yang ada di dunia pendidikan. Beliau bilang mau belajar terlebih dahulu. Meski baru dalam dunia pendidikan, beliau mengaku sebagai ‘murid’ yang pintar. Beliau berjanji akan cepat belajar.
Viralnya usaha Gojek milik Nadiem membuktikan kalau ia pebisnis handal. Tak berlebihan jika di pundak Nadiem dibebankan harapan terwujudnya SDM siap kerja. Namun merujuk pada pidato pertama Nadiem, sepertinya dia paham bahwa bertanggungjawab terhadap pendidikan di Indonesia bukan sekedar menghasilkan SDM siap kerja. Sehingga ia memilih untuk belajar terlebih dulu dengan para senior mengenai dunia baru yang akan digelutinya. Bicara target sistem pendidikan adalah soal terbentuknya manusia utuh yang bermanfaat bagi diri pribadi, orang lain dan terpenting adalah agama.
Sebagaimana amanah undang – undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal, bahwa tujuan utama sistem pendidikan Indonesia adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini senada dengan nasihat Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil kepada Nadiem, "Saya ingatkan satu hal bahwa pendidikan bukan hanya urusan mencari pekerjaan. Pendidikan menaikkan peradaban kita terhadap tantangan masa depan. Dua itu harus berimbang,"
Bayangkan bila para peserta didik hanya berorientasi pada dunia kerja, atau paling maksimal menjadi pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), bagaimana negeri kita bisa mandiri? Bukankah sudah kita ketahui bersama kodisi kekayaan alam kita tercinta yang sebahagian besarnya dikuasasi pemilik modal asing. Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Ketua Wantim MUI, Din Syamsuddin di MUI Pusat, “79 persen dunia minyak dan gas Indonesia dikuasai oleh asing. 43 persen Chevron sendiri. Itulah dulu kita gugat UU Migas. Saya ikut di depan. Melangsungkan jihad konstitusi”. (https://www.voa-islam.com/read/politik-indonesia/2018/03/23/56850/79-persen-asing-kuasai-sda-indonesia-43-perusahaan-ini-yang-menguasainya/)
Sistem kapitalis yang sedang diberlakukan menimbulkan kesenjangan ekonomi yang parah. Direktur Eksekutif Megawati Institute (MI) Arif Budimanta mengungkapkan, kekayaan nasional Indonesia masih dikuasai segelintir orang. 10% orang terkaya di Indonesia menguasai 74,8% kekayaan nasional.
"Kekayaan nasional terkonsentrasi di segelintir penduduk. proporsi total kekayaan yang di kuasai 1% rumah tangga terkaya menguasai 45,4% kekayaan nasional," tuturnya. https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3787540/arif-budimanta-1-orang-terkaya-ri-kuasai-45-kekayaan-nasional
Artinya, pekerjaan rumah (PR) perbaikan sistem pendidikan oleh Mendikbud harusnya tak hanya bertumpu untuk menghasilkan tenaga kerja yang siap mengabdi pada para pemilik modal. Sebab hal tersebut tidak akan menjadikan distribusi kesejahteraan merata untuk seluruh rakyat. Negara tidak akan maju dengan SDMnya yang bermental pekerja. Bukan mental pekerja yang kita butuhkan, tapi mental kemandirian.
Sebagaimana tujuan sistem pendidikan nasonal, kita butuh pribadi–pribadi yang mengagungkan Allah swt di atas manusia. Manusia yang bertakwa, tunduk patuh pada seluruh aturan Allah swt. Merekalah manusia-manusia yang berani membangun negerinya tanpa campur tangan asing. Merekalah manusia-manusia yang dapat mengembalikan peradaban gemilang, yaitu peradaban Islam. Wallahu a’lam bishawab.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!