Selasa, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 31 Desember 2019 14:59 wib
5.012 views
Khilafah Materi Fikih atau Tarikh?
Oleh: Sherly Agustina M.Ag (Member Revowriter Cilegon)
Dilansir oleh Republika, Ketua Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (LP Ma'arif NU) KH Arifin Junaidi mengatakan, materi khilafah harus tetap diajarkan di madrasah agar generasi muda mengetahui tentang sejarah Islam.
Namun, menurut dia, NU tidak ingin materi khilafah itu justru diarahkan untuk tujuan penegakan sistem khilafah di Indonesia. (10/12/2109)
Rezim saat ini mengidal sekuler akut, hal ini tampak pada pernyataan tokoh NU, KH Arifin Junaidi. Pasalnya, ajaran Islam tentang khilafah dan jihad terus dipersoalkan.
KH Arifin Junaidi mengatakan, memang lebih tepat kalau itu di tarikh (sejarah), bukan di fikih. Saya nggak tahu kalau ditaruh di fikih apa urgensinya. Tapi kalau di tarikh memang supaya kita tahu sejarah," ujarnya. (Republika.co.id, 10/12/2019).
Beberapa waktu lalu menteri agama melalui Kemenag mengeluarkan kebijakan menghapus materi ajar khilafah dan jihad pada kurikulum pendidikan agama, khususnya pada pada pembahasan fikih. Karena menuai kontroversi dan penolakan dari berbagai pihak, maka materi khilafah dan jihad tetap ada akan tetapi pembahasannya masuk ke dalam sejarah (tarikh) bukan pada fikih.
Menurut wikipedia, fikih (bahasa Arab: الفقه, translit. al-fiqh) adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya.
Definisi menurut wikipedia pun jelas, bahwa fikih berkaitan dengan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan. Khilafah masuk dalam pembahasan fikih berarti khilafah adalah sebuah sistem di dalam Islam yang akan melaksanakan hukum secara total dalam semua aspek kehidupan, bukan sejarah semata yang mengajak umat Islam terutama generasi muda untuk mengenang dalam kegemilangan sejarah Islam.
Salah satu wujud keindahan dan kesempurnaan ajaran agama Islam adalah fikih. Di dalamnya setiap orang bisa membaca aturan-aturan yang praktis. Di Indonesia sendiri ulama yang konsern terhadap ilmu fikih dan menyusunnya dalam buku pertama kali yang berjudul "Fiqh Islam" adalah Sulaiman Rasjid bin Lasa. Terbit tahun 1951, karangan pria kelahiran Pekon Tengah, Liwa, tahun 1898, menjadi buku wajib di perguruan tinggi dan menengah di Indonesia serta Malaysia, sampai sekarang.
Kecintaannya pada Islam membawa Sulaiman Rasjid belajar ke Darul Funun El-Abbasiyah Padang Japang di Sumatera Barat dibawah asuhan Syekh Abbas Abdullah, setelah itu ia melanjutkan ke sekolah Mualim, sekolah guru, di Mesir (1926), dan melanjutkan ke Perguruan Tinggi Al-Azhar Kairo Mesir, Jurusan Takhashus Fiqh (Ilmu Hukum Islam) dan selesai 1935.
Sulaiman Rasjid bin Lasa mendalami bahasa Arab sebelum akhirnya menyusun kitab fikih. Dan bukanlah sekadar menyalin atau menerjemahkan hukum Islam ke dalam bahasa Indonesia. Sulaiman Rasjid harus “menaklukkan” kompleksitas bahasa Arab. Tata bahasa Arab pun sangat rasional dan saksama, tapi rumit, apalagi jika dibanding dengan bahasa Indonesia. Bahkan, bunyi suatu kata dapat mengakibatkan perbedaan arti yang sangat jauh. Namun, semua ini tidak membuat semangat Rasjid berkurang sedikit pun. Justru ia makin gigih memahami keunikan dan kekayaan bahasa Arab.
Penulis "Fiqih Islam" adalah seorang ulama yang mumpuni bukan sembarang ulama, seorang alim ulama yang membuat buku sesuai kapasitas yang dimilikinya. Bukan berdasarkan hawa nafsu semata, tapi dorongan keimanan beliau kepada Allah dan rasul-Nya.
Maka pantaskah mempersoalkan ilmu yang telah digali oleh seorang ulama yang masyhur seperti Sulaiman Rasjid? Di mana letak takzim umat Islam saat ini terhadap seorang ulama? Dimana saat ini tidak ada yang menandingi keilmuan, kerendahan hati, ketakwaan, dan cakrawala berfikirnya.
Ulama empat mazhab pun telah sepakat bahwa tegaknya Khilafah Islamiyah adalah janji Allah Swt kepada orang-orang Mukmin. Pasalnya, Al-Qur'an telah menyebutkan janji ini (tegaknya kekhilafahan Islam) dengan jelas dan gamblang. Allah SWT berfirman:
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
"Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih di antara kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa." (QS an-Nur [24]: 55).
Imam Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat di atas, menyatakan, “Inilah janji dari Allah Swt kepada Rasulullah Saw., bahwa Allah Swt akan menjadikan umat Nabi Muhammad Saw. sebagai khulafâ’ al-ardh; yakni pemimpin dan pelindung manusia. Dengan merekalah (para khalifah) akan terjadi perbaikan negeri dan seluruh hamba Allah akan tunduk kepada mereka.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr Ibn Katsîr, VI/77).
Imam ath-Thabari juga menyatakan, “Sungguh, Allah akan mewariskan bumi kaum musyrik dari kalangan Arab dan non-Arab kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih. Sungguh pula, Allah akan menjadikan mereka sebagai penguasa dan pengaturnya.” (Imam ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabari, XI/208).
Janji agung ini tidak hanya berlaku bagi orang-orang yang beriman dan beramal salih pada generasi Sahabat saja. Namun berlaku juga sepanjang masa bagi orang-orang Mukmin yang beramal salih.
Dari uraian para ulama di atas dapat disimpulkan bahwa tegaknya Khilafah Islamiyah adalah janji Allah SWT. Ini berarti bahwa Khilafah Islamiyah pasti akan ditegakkan atas izin Allah SWT. Seorang Muslim wajib mengimani bahwa Khilafah Islamiyah pasti akan tegak kembali.
Seorang Muslim tidak diperkenankan sama sekali menyatakan bahwa perjuangan menegakkan kembali Khilafah Islamiyah adalah perjuangan utopis, khayalan, mustahil, romantisme sejarah dan lain sebagainya. Pernyataan-pernyataan semacam itu merupakan bentuk pengingkaran dan keraguan terhadap janji Allah Swt. Siapa saja yang mengingkari dan meragukan janji Allah maka akidahnya telah rusak. Al-Qur'an telah menyatakan dengan jelas, bahwa janji Allah SWT pasti ditunaikan:
السَّمَاءُ مُنْفَطِرٌ بِهِ كَانَ وَعْدُهُ مَفْعُولا
"Langit pun menjadi pecah-belah pada hari itu karena Allah. Janji Allah pasti terlaksana." (QS al-Muzammil [73]: 18).
Lalu mengapa kita tidak bersegera melibatkan diri dalam perjuangan yang penuh keagungan dan keberkahan ini? Rezim malah sibuk menjadi antek musuh Islam yang terus menghalangi fajar kemenangan Islam dengan berdirinya khilafah sebentar lagi, insya Allah.
Perjuangan menegakkan kembali Khilafah Islamiyah merupakan perjuangan penuh keagungan dan keberkahan. Pasalnya, ini adalah perjuangan yang direstui, yang dinyatakan oleh para ulama mu’tabar, dan dinaungi oleh janji Allah Swt, dan keberhasilannya menjadi sebab tegaknya hukum-hukum Allah Swt secara syâmil, kâmil dan mutakâmil.
_Wallâh al-Muwaffiq ilâ Aqwam ath-Thâriq_
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!