Rabu, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 26 Februari 2020 19:05 wib
3.656 views
Darurat Kerukunan Umat Beragama
Oleh:
KH. Bukhori Yusuf, Lc., M.A
Anggota Komisi VIII DPR RI
TAHUN 2020 menjadi momentum bagi kita untuk membuka lembaran baru dalam menjalani kehidupan bernegara dengan semangat persatuan yang tengah pelan-pelan dibangun. Ketegangan politik yang terjadi pada tahun 2019 lalu setidaknya berhasil reda mengingat para elit yang dulu bertanding sengit kini duduk manis dalam jejeran bangku kabinet yang sama. Semangat kerukunan ini yang sepatutnya mampu menjadi preseden positif bagi masyarakat Indonesia dalam memaknai perbedaan dalam hal pandangan politik maupun agama yang terjadi di tengah mereka. Namun, upaya mewujudkan cita-cita kerukunan tersebut masih menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah dengan meninjau fakta sosial yang terjadi di lapangan beberapa hari terakhir ini.
Membuka awal tahun 2020 ini, publik dikejutkan dengan tindakan kekerasan berlatarbelakang agama yang mendera kehidupan umat beragama di republik ini. Kabar tindakan intoleransi yang terjadi di sejumlah tempat di Indonesia bagai kerikil bagi semangat kerukunan dalam mengawali tahun 2020 ini.
Kabar intoleransi pertama dibuka dengan peristiwa perusakan balai pertemuan umat Muslim di kawasan Perumahan Agape Griya, Desa Tumaluntung, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara pada Rabu (29/1/2020). Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun, balai tersebut selain berfungsi sebagai tempat pertemuan warga, juga turut difungsikan sebagai musala bagi warga beragama muslim yang tinggal di sekitar daerah tersebut. Hasil dari penyelidikan oleh aparat setempat, tindakan perusakan tersebut dilatarbelakangi oleh penolakan sebagian oknum warga sekitar terhadap perizinan pembangunan rumah ibadah di kawasan tersebut.
Selang beberapa hari setelahnya, peristiwa serupa kembali terjadi. Kali ini menimpa umat Kristiani di Tanjung Balai Karimun Kepulauan Riau. Sejumlah warga dari wilayah setempat melakukan pengepungan dan menolak kegiatan renovasi Gereja Santo Joseph pada hari Kamis (6/2/2020). Berdasarkan data yang berhasil dihimpun, pengepungan tersebut disebabkan oleh tindakan oknum yang memprovokasi untuk merenovasi kembali bangunan Gerejadi tengah proses sengketa di pengadilan berkaitan dengan izin pembangunan Gereja tersebut. Hal tersebut semakin diperkeruh dengan ujaran kebencian yang disampaikan salah seorang oknum warga terhadap kelompok agama tertentu melalui sosial media.
Berdasarkan Laporan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang dirilis Komnas HAM pada tahun 2016, pengaduan terkait jaminan akan hak beragama dan berkeyakinan menempati 5 besar dari isu terbanyak yang diadukan oleh masyarakat kepada Komnas HAM. Berdasarkan kategori isu, kasus pembatasan/ pelarangan/ perusakan tempat ibadah menempati posisi pertama dengan jumlah sebanyak 44 kasus. Diikuti oleh isu pembatasan/ pelarangan ibadah dan kegiatan keagamaan sebanyak 19 kasus. Perihal isu pendirian tempat ibadah terjadi peningkatan pengaduan dari tahun sebelumnya. Sebaliknya, perihal isu pelarangan kegiatan keagamaan terjadi penurunan. Secara persebaran wilayah, kasus intoleransi berlatarbelakang agama terjadi hampir merata di sebagian besar wilayah mulai dari wilayah Timur (Papua) hingga ke Barat (Aceh) Indonesia. Ditinjau dari jumlah laporan pengaduan per wilayah, Jawa Barat menempati posisi teratas sebanyak 21 kasus dan diikuti oleh DKI Jakarta sebanyak 19 kasus. Di wilayah Aceh sendiri terjadi 6 kasus sedangkan Papua menempati posisi paling rendah dengan laporan sedikitnya 1 kasus.
Selain itu, berdasarkan laporan hasil riset Wahid Institute pada tahun 2015 menyebutkan bahwa sebanyak 52% tindakan pelanggaran atas kebebasan beragama dan berkeyakinan dilakukan oleh aktor negara sedangkan sisanya, 48% dilakukan oleh aktor non-negara. Bahkan, jumlah pelanggaran tersebut dikatakan meningkat 20% dari tahun 2014. Masih menurut riset ini, disebutkan bahwa terdapat dua pelanggaran utama yang dilakukan oleh aktor negara maupun non-negara, yaitu pembatasan/ pelarangan/ penyegelan rumah ibadah dan ujaran kebencian.
Tindakan intoleransi tersebut tidak bisa terus dibiarkan mengingat hal tersebut bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, khususnya sila ke-1 dan ke-3. Selain bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, sikap intoleransi tersebut juga bertentangan dengan amanat konstitusi yaitu pasal 28 E ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi:
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya..”
Bahkan dalam ajaran Islam, setiap muslim wajib untuk menghormati dan menghargai entitas agama lain yang tercermin dalam surat Al Kafirun ayat 6 yang berbunyi:
“Bagimu agamamu, bagiku agamaku..”
Pancasila, konstitusi, dan agama berperan kerangka yuridis yang menjamin setiap individu untuk berhak memperoleh rasa aman dan damai dalam menjalankan praktik keagamaannya, terbebas dari persekusi, dan diskriminasi yang mengatasnamakan kelompok mayoritas apalagi negara. Bahkan, dalam amanah konstitusi yang lain disebutkan bahwa negara wajib hadir dalam mendorong terciptanya kemerdekaan masing-masing warga negara untuk memeluk agamanya yang dituangkan melalui pasal 29 ayat (2) UUD 1945.
Pendekatan Preventif Sebagai Alternatif
Dari paparan di atas, bisa kita pahami bahwa konstitusi, ideologi negara (Pancasila), dan agama adalah tiga komponen yang bekerja saling terkait dan melengkapi satu sama lain. Mereka bisa difungsikan sebagai landasan yuridis terpadu untuk melindungi hak asasi warga negara dalam menganut dan menjalankan ajaran agamanya. Selain berfungsi sebagai landasan yuridis, secara ketahanan nasional ketiga komponen tersebut memiliki fungsi ideologis sebagai sumber nilai/pedoman hidup warga negara dalam merespon paham-paham global yang destruktif seperti liberalisme, imperialisme, LGBT, dan berbagai paham lain yang secara nyata bertentangan dengan ajaran agama dan kepribadian bangsa.
Kita mengharapkan peristiwa serupa tidak kembali terjadi dalam waktu mendatang. Oleh karena itu, dibutuhkan solusi dengan pendekatan preventif dalam merespon potensi tindakan intoleransi di tengah kehidupan masyarakat Indonesia yang dinamis. Ada tiga poin yang penulis coba tawarkan.
Pertama, dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, negara perlu mendorong terciptanya cara pandang yang integral dan komprehensif bagi setiap perangkat negara maupun perangkat hukum dalam merespon isu keberagamaan di Indonesia. Sederhananya, cara ini bisa dimulai dengan menghilangkan cara pandang segmentatif, yaitu pemisahan antara urusan berbangsa bernegara dengan urusan agama. Sebab, secara fakta sosial, sejarah dan budaya, peradaban masyarakat Indonesia turut dibangun dari nilai (value), norma, dan hukum yang bersumber dari agama sehingga sebagai konsekuensinya, agama mempengaruhi cara pandang (worldview) mereka dalam menjalani kehidupan sosial. Kemampuan dan konsistensi negara dalam memelihara cara pandang yang integral dan komprehensif, yaitu usaha untuk menggunakan perangkat pengetahuan yang bersumber dari unsur konstitusi, Pancasila, dan agama dalam menyikapi isu di masyarakat, khususnya intoleransi, akan mengundang kekuatan dukungan (reinforcement) dari elemen masyarakat, baik dari kalangan nasionalis maupun agamis sehingga penanganan yang dilakukan atas permasalahan tersebut akan bekerja secara sistematis dan memiliki dampak berkelanjutan (sustainable). Oleh karenanya, kepala negara harus berkomitmen dalam membumikan cara pandang ini ke setiap perangkat negara, bahkan sampai lingkup terkecil, sebagai wujud keseriusan negara dalam melakukan tindakan preventif terhadap masalah intoleransi di akar rumput.
Kedua, Negara perlu bertindak tegas dalam merespon kasus intoleransi berlatarbelakang agama tanpa pandang bulu. Negara tidak boleh takut dalam memberikan hukuman atau sangsi terhadap oknum masyarakat yang mengatasnamakan ormas tertentu atau elemen lain yang terlibat dalam tindakan persekusi, perusakan tempat ibadah, dan pelarangan kegiatan keagamaan. Tindakan negara yang tegas dalam merespon masalah intoleransi tersebut adalah wujud usaha untuk mengirimkan pesan yang kuat bagi publik bahwa negara hadir di tengah umat beragama dan menjamin terpeliharanya kerukunan antar umat beragama.
Ketiga, tokoh agama dan simbol keagamaan perlu mendapatkan jaminan perlindungan. Para tokoh agama memiliki peran sentral dalam menciptakan suasana yang kondusif di tengah masyarakat dengan pengaruh yang dimiliki. Nilai figuritas tersebut menjadi aset yang perlu dipelihara, salah satunya dengan memberikan perlindungan bagi para tokoh agama dalam menjalankan tugas spiritualnya. Hal tersebut diperlukan untuk mencegah terjadinya tindakan persekusi ataupun bentuk kekerasan lain yang berpotensi memicu konflik horizontal di tengah masyarakat. Dalam konteks perlindungan simbol keagamaan, jika kita berkaca pada kasus yang terjadi di Minahasa Utara dan Tanjung Balai, hal yang menjadi objek sasaran kekerasan adalah simbol keagamaan yang dianggap suci bagi kelompok agama yang bersangkutan (dalam kasus tersebut rumah ibadah).
Simbol keagamaan meliputi kitab suci, rumah ibadah, citra atau objek apapun yang bernilai sakral bagi agama tertentu tidak boleh disikapi dengan serampangan oleh siapapun mengingat objek-objek tersebut bernilai sensitif. Dalam beberapa kasus intoleransi yang terjadi, seringkali yang menjadi sumber konflik adalah tindakan yang bersinggungan dengan simbol keagamaan tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan satu upaya sistematis yang perlu ditempuh dalam rangka melindungi dua komponen vital tersebut, tokoh agama dan simbol keagamaan, untuk mencegah peningkatan angka intoleransi di tengah upaya memelihara kerukunan umat beragama.
Sebagai penutup, republik ini dibangun dari pondasi yang heterogen. Perbedaan suku, pikiran, bangsa, ras, bahkan agama tidak dimaknai secara segmentatif oleh para founding fathers dalam upaya mereka mencapai cita-cita kolektif kala itu, yaitu negara yang merdeka. Oleh karena itu, tugas kita sebagai generasi penerus adalah dengan merawat cita-cita tersebut. Cara pandang kita yang mengedepankan titik temu ketimbang seteru serta komitmen yang kuat dari negara dan masyarakat untuk saling menghormati dan menghargai perbedaan adalah kunci untuk mengembalikan kerukunan umat beragama dalam kehidupan bernegara.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!